Resonansi Mbah di Negeri Tanpa Sesepuh
Pukul 20.15, Cak Nun berjalan kaki menuju panggung, dengan menyibak jamaah yang sudah duduk memenuhi jalan di depan pelataran Masjid.
Beberapa Ibu berdiri di pinggir, seraya menggendong anaknya yang masih bayi, dan menyapa Cak Nun, “Cak niki putune pun dangu pingin salim dan didoakan (Cak ini cucunya sudah lama ingin berjabat tangan didoakan)”. Dengan sabar dan penuh senyum, Cak Nun menerima salaman anak itu dan mengelus kepalanya. Betapa bangga dan bahagia ibu-ibu itu. Anak-anaknya telah disentuh oleh Cak Nun yang dianggap Mbah bagi mereka.
Merambat pelan dengan menerima orang-orang yang menyalaminya. Tak ada yang ditolak. Semuanya diterima, asalkan rapi dan tidak saling rebutan. Sampai akhirnya, Cak Nun di panggung. Dari panggung ini, Cak Nun memandang wajah-wajah jamaah yang berada di depannya, pun jamaah yang ada di kiri maupun kanan panggung di halaman Masjid. Meski tak terlihat oleh Beliau, serambi Masjid Walisongo ini yang berada di belakang panggung juga ditempati jamaah.
Seluruh jamaah itu semuanya telah duduk dengan penuh kesiapan hati dan pikiran. Sebelum Cak Nun tiba di panggung, mereka dipandu para vokalis KiaiKanjeng untuk melantunkan beberapa nomor pujian dan shalawatan yang terutama sekali untuk menunjukkan bahwa yang dilakukan para vokalis itu adalah memberi ruang untuk menghadirkan apa yang hidup dan mereka punya di dalam kesehari-harian mereka. (hm/adn)