Puncak Ketidaksetiaan Kepada Rumah Allah
Mocopat Syafaat bulan Oktober 2016 semalam telah berlangsung dalam suasana yang khusyuk, khidmat, tetapi juga penuh kegembiraan, kemurnian, dan kehangatan. Pada bagian awal, begitu tiba di panggung, Cak Nun meminta semua jamaah untuk berdiri dan bersama-sama melantunkan Sohibu Baity.
Ada apa dengan Sohibu Baity? Mengapa kali ini dihadirkan di awal Mocopat Syafaat? Cak Nun menguraikan sesuatu dengan logika Sohibu Baity ini. Allah menciptakan segala sesuatu dapat dianalogikan dengan membikin rumah (bayt). Alam semesta, kebudayaan, dan bernegara itu adalah rumah Allah. Diri kita adalah rumah-rumah kecil di dalam rumah Allah itu. Tuan Rumahnya adalah Allah. Yang berlangsung saat ini adalah rumah itu tidak diakui. Ideologi-ideologi modern tidak mengakui rumah Allah, dan hanya dijadikan tempat berlindung kalau terjadi bahaya mengancam.
Selanjutnya, ada satu hal yang perlu diingat dalam kaitannya dengan penciptaan Allah atas alam semesta ini. Yakni adanya Rasulullah Muhammad Saw. Mengapa? Sebab Rasulullah Muhammad Saw inilah yang menjadi alasan Allah menciptakan alam semesta. Dan Rasulullah ada karena ada konteksnya dengan kita sebagai umat manusia. Itulah cinta segitiga. Aliran cinta itu berlangsung antara Allah, Rasulullah, dan kita semua. Itulah prinsip dan mekanisme yang berlangsung di dalam rumah Allah. Cak Nun berpesan agar jamaah Maiyah mengembangkan makna, aplikasi, dan tadabbur atas cinta segitiga ini dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan yang lebih luas.
Akan tetapi, yang terjadi hari-hari ini adalah puncak ketidaksetiaan manusia kepada rumah Allah, dan sudah berada pada tingkat bahaya atau darurat. Allah diusir dari rumahnya sedemikian rupa. Berlangsung penindasan di antara unsur-unsur di dalam rumah itu. Unsur-unsur atau bagian-bagian itu tidak harmonis dan tidak berada pada posisi masing-masing sesuai semestinya. Terjadi penguasaan atas sparepart rumah Allah. Penguasaan itu diselenggarakan salah satunya dengan adu domba dan pemecahbelahan. Dengan view yang lebih jelas lagi, pemecahbelahan dan penghancuran itu dilangsungkan kepada Islam dan Indonesia. Seluruh yang berlangsung itu targetnya adalah memecah belah umat Islam, merendahkan nilai-nilai Islam, dan menghancurkan bangsa Indonesia melalui pembodohan dan penjajahan.
Lalu Cak Nun mengingatkan para jamaah. Seluruh proses penghancuran rumah Allah yang bernama kebudayaan dan negara itu kemungkinan posisinya ada tiga. Pertama, adzab. Kedua, indzar. Dan ketiga, ujian. Jamaah diajak merenungkan, bagi siapakah penghancuran itu merupakan adzab, indar, dan ujian. Seraya menyadari penghancuran, pemecahbelahan, dan pembodohan yang menimpa umat Islam dan bangsa Indonesia itu, Cak Nun meminta jamaah untuk ingat, tidak lupa, tidak putus asa, dan meletakkan harapan melalui rohani ayat Allah dalam surat Al-Qashash ayat 5: Wa nuriidu an namunna ‘alal ladzinas tudh’ifu fil ardhi wa naj’aluhum aimmatan wa naj’alahumul waritsin. (hm/adn)