Puncak Ketidakseimbangan
Sosok remang orang tua itu mencecar Markesot, tidak peduli Markesot sudah terbaring dan memejamkan mata.
“Sekarang ini, hari-hari ini, mungkin detik-detik ini, seluruh dunia, secara makro maupun mikro, dari sistem-sistem besar kekuasaan global hingga individu-individu per manusia, sedang berada di puncak ketidakseimbangan, yang seluruh ilmu dan kekuatan manusia sangat tidak mencukupi untuk mengatasinya. Apalagi kamu sendirian yang selama ini saya amati juga sedang mengalami ketidakseimbangan”
Markesot terbangkit dari baringnya mendengar kalimat yang terakhir itu.
“Maaf, saya selama ini mengalami ketidakseimbangan?”, ia bereaksi, antara kaget, tersinggung dan bingung.
“Kamu berjalan jauh, menyusuri dan melangkah di atas tanah yang tidak rata, itu pun jalanannya miring. Tanah yang tidak rata membuatmu terkadang terperosok, terloncat-loncat, tersandung, hampir terjungkal, sehingga terus-menerus kamu harus melakukan pekerjaan ekstra: yakni mencari dan menemukan kembali keseimbangan kaki dan seluruh badanmu”
Sosok itu memberondong Markesot, tanpa peduli apakah Markesot memperhatikannya atau tidak, bereaksi atau tidak, mempertanyakannya atau tidak.
“Jalanan yang kamu lalui juga miring. Kemiringannya terkadang sesuai dengan kemiringan tanah, kemudian tiba-tiba kemiringannya bertentangan dengan kemiringan tanah. Kamu harus tetap tegak pada garis gravitasi ketika berjalan di jalanan miring. Itu saja sudah membuatmu terkadang berhasil berdiri gravitatif, di saat lain gagal. Apalagi kemiringan jalan yang kamu lalui juga tidak menentu. Padahal kamu berpretensi untuk selalu menyimpulkan seberapa tidak rata tanah itu, berapa derajat kemiringan jalan yang di sini, yang di sana tadi atau yang di situ.”
“Belum lagi kamu juga merepotkan dirimu sendiri dengan bertanya kepada dirimu sendiri: tanah tidak rata ini hanya di wilayah sekitar sini saja, ataukah se-Negara, ataukah seluruh bumi? Dari misalnya ada seribu jalanan, berapa yang miring, berapa perbandingan derajat kemiringannya di suatu daerah dibanding daerah lain? Apakah semua jalanan di Negeri ini miring semua? Apakah jalanan miring di Negeri ini menjadi miring secara alamiah, ataukah ada yang sengaja membuatnya miring? Kalau ada yang membuatnya miring, atas niatan, kepentingan atau motivasi apa?”
“Kalau kamu yang merasa punya kuda-kuda kokoh saja setengah mati menegakkan badanmu dengan keseimbangan di atas kemiringan, bagaimana orang-orang lain? Bagaimana penduduk Negerimu? Bagaimana masyarakatmu? Seberapa mampu mereka menjaga atau menemukan kembali keseimbangan sesudah setiap kali dimiringkan dan diolengkan? Kalau seseorang berhasil tegak di atas kemiringan, sementara orang lain di sebelahnya atau yang berpapasan dengannya tidak berhasil menegakkan dirinya, pasti terjadi senggolan, atau mungkin bertubrukan atau saling menimpa. Dan itu pasti menjadi sumber konflik.”
“Seluruh bumi sedang terkondisikan sampai tingkat ekstrem kemiringannya. Setiap jalanan membuat oleng posisi siapa saja yang melangkah di atasnya. Kondisi tanah dan jalanan, belum lagi lalu lintas arah angin yang tidak menentu, seperti itu, membuat seluruh situasi menjadi berguncang-guncang. Manusia di muka bumi berjalan dengan oleng, penuh gesekan dan tabrakan, dan kini semuanya sedang berada di puncak ketidakseimbangan”
Setiap muncul kata ‘ketidakseimbangan’ Markesot merasa dipukul. Apalagi kalau orang tua yang tidak jelas itu menghubungkan ketidakseimbangan dengan dirinya.
“Saya mengikuti perjalanan jauh yang kamu lakukan akhir-akhir ini. Sebenarnya itu adalah perjalanan untuk menemukan kembali keseimbangan dari dirimu. Dan sampai saat ini kamu belum berhasil menemukan keseimbangan itu, serta belum berdiri tegak di atasnya. Jangankan keseimbangan menyeluruh pada dirimu. Keseimbangan jasadmu saja tidak semakin tercapai. Struktur tulang-belulangmu, susunan semesta otot dan syarafmu, garis dari pusat tengah atas kepalamu tidak menuju tengah antara kedua kakimu, meskipun terus kamu upayakan untuk menyatu-garis dengan pusat bumi.”
“Jangankan lagi keseimbangan jiwamu. Titik imbang antara intelektualitasmu dengan spiritualitasmu, dengan modulasi estetik dan akurasi keluaran mentalmu. Sedangkan di ruang berpikirmu saja setengah mati kamu berlaku seimbang. Kamu belum terbebas dari ketidakseimbangan lingkunganmu. Dari ketidakseimbangan peradaban berpikir ummat manusia dan bangsamu. Dari ketidakseimbangan wacana politik, ketidakseimbangan informasi, ketidakseimbangan data dan fakta, ketidakseimbangan ekosistem nilai dalam perhubungan antar kelompok-kelompok manusia dan bangsa. Ketidakseimbangan persepsi ilmu, ketidakseimbangan penglihatan politik, ketidakseimbangan penilaian kebenaran dan kebatilan, ketidakseimbangan kekuatan dan kekuasaan.”
“Dunia dan Negaramu sedang berada di puncak ketidakseimbangan nilai-nilai kehidupan. Dan kamu juga belum berhasil menjaga keseimbangan dalam dirimu sendiri”.