Pujangga Bumi yang Putus Asa
Ta’qidJika Allah sendiri yang dengan sangat mendalam berterus terang mengumumkan cinta-Nya kepada Baginda Nur Muhammad, siapakah di antara makhluk-makhluk-Nya yang tidak?
Markesot melayang-layang menyeberang dari keluasan memasuki kesempitan.
Ketika tadi Kiai Sudrun membentak dan mengusirnya, Markesot tak merasakan apa-apa. Tapi begitu ia merobek dinding keluasan dan memasuki kembali ruang sempit di mana Bumi bersemayam, ternyata tumbuh semacam rasa jengkel dan sedikit amarah di dalam jiwanya.
Markesot meluncur sangat cepat menuju jasadnya, dan rasanya begitu nanti menyatu dengan diri-Buminya, ia akan memekik sekeras-kerasnya, mungkin juga akan melompat-lompat, berguling-guling, menendang-nendang dan memukul-mukul sejadi-jadinya.
Akan tetapi mendadak ia urungkan gejolak jiwanya, ketika ia melihat apa yang sedang terjadi pada Saimon di bawah pohon itu, di pinggir sungai tepian hutan. Markesot melayang turun dengan bersembunyi dari getaran dan suara. Ia masuk ke jasadnya tanpa ada tanda atau gejala apa-apa. Karena jangan sampai Saimon mengetahuinya.
Saimon memang terlanjur terseret oleh melankoli Markesot. Untung Saimon tidak termasuk di dalam ruang kewenangan Kiai Sudrun.
Karena bersahabat sudah sangat lama, dan hubungan persaudaraan antara Saimon dengan Markesot sudah terlanjur dipenuhi rasa simpati dan kasih sayang, maka dalam sejumlah peristiwa mereka saling menyeret atau saling terseret.
Sunyi senyap tubuh Markesot yang bersila di bawah pohon, membuat Saimon akhirnya surut dan terserap memasuki sikap khusyu. Tulang punggung Markesot tegak lurus ke langit. Wajahnya menghadap tepat ke depan. Kedua tangannya rebah oleh gravitasi, seakan lunglai, tapi berjaga. Kedua matanya terpejam. Sangat jelas bahwa Markesot sedang tidak berada pada jasadnya.
Ribuan helai daun membisu. Udara sangat berhati-hati agar gerakannya sedemikian pelannya supaya tak mengusik kesenyapan. Cahaya menahan diri pada remang-remang. Hanya langit yang tak bisa menyembunyikan wajahnya. Bagai layar animasi. Sangat perlahan berubah-ubah warnanya.
Segalanya seakan-akan diam dan beku. Padahal sebaliknya. Bumi sedang menari gembira. Seluruh bulatan besar kecil di lingkup gelembung semesta, bahkan sela-sela di antara bintang-bintang, planet dan satelit, pun bebatuan liar yang melintas-lintas menerobos-nerobos bagai kanak-kanak yang sedang bermain — memuncak kegembiraannya.
An-Nuqmah, yang bersinggasana di atas gunung api raksasa, wajah kuning tembaganya berpendar-pendar memantulkan cahaya Baginda Nur Muhammad. Pendaran-pendaran warna wajahnya seakan sebuah koreografi, suatu komposisi tarian yang seribu koreografer Bumi tak sanggup menandinginya.
Jika Allah sendiri dengan sangat mendalam berterus terang mengumumkan cinta-Nya kepada Baginda Nur Muhammad, siapakah di antara makhluk-makhluk-Nya yang tidak? Siapakah yang bersedia bodoh untuk tidak menikmati puncak segala Cinta, sebagaimana Sang Maha Pencipta kepada masterpiece ciptaan-Nya?
Panglima Haffun, koordinator Hamilin wa Hafidhin di sekeliling Arasy, mengangkat tinggi-tinggi tasbih-nya, menaikkan volume suara tasbihat-nya, bahkan menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya, tanpa mengganggu keseimbangan dan ketenangan seluruh Arasy yang dikelilingi dan dikepungnya dengan cinta.
Sang Malaikat Airmata, Ad-Dam’u, Shohibud-Dam’ah, Dzu Dam’iyyah, menangis menjadi-jadi. Tangisnya menjadi nyanyian, mengiris-iris bagai biola, sesekali melengking bak seruling para Pujangga di Bumi yang putus asa. Adapun Baginda JIbril, bersama Sembilan Menteri Jagat Raya lainnya, berjajar di shaf pertama di belakang punggung Baginda Nur Muhammad.