Proposal Wabal Pra-Neraka
Atau Markesot bikin proposal ke Allah, ditandatangani oleh Kiai Sudrun, agar Allah mempertegas ketentuan adzab-Nya kepada siapapun sesuai dengan kedurhakaan politik dan moral negara-negara manusia.
Agar Allah menunjukkan kekuasaan absolut-Nya untuk melemparkan wabal atau balasannya atas perbuatan siapapun saja. Perbuatan baik akan memperoleh wabal berkah. Perbuatan buruk akan mendapatkan wabal murka dan adzab.
Sudah lebih dari dua milenium, atau mungkin sejak Adam khalifah pertama, bahkan siapa tahu sejak sebelum ada keputusan Tuhan menciptakan Adam: sudah dituliskan ketentuan-ketentuan tentang berkah adzab dari Sang Maha Pencipta.
Di dalam setiap ruang kependidikan agama, anak-anak yang belum detail-fasih mengucapkan za’ dzal dho’ dlot sin syin shot tsa’ oleh orang-orang tua mereka sudah dibikin hafal hukum dasar bahwa “kalau engkau bersyukur, akan Kutambahi nikmat, kalau engkau kufur akan kutimpakan adzab”. Sangat sangat jelas.
Tidak sekali dua kali Tuhan melontarkan pernyataan: sesungguhnya Aku telah menyiapkan adzab yang menghinakan bagi mereka yang kufur. Disediakan minuman berupa air mendidih bagi mereka, disebabkan oleh kedurhakaan mereka. Telah pasti berlaku ketentuan adzab bagi siapa saja yang kufur. Adzab yang dahsyat, api yang menyala-nyala.
Atas sebagian orang telah ditetapkan adzab atasnya. Secara khusus ditetapkan juga adzab yang keras kepada siapa saja yang terlibat penyiaran berita-berita bohong di media massa media sosial dan segala jenis media informasi lainnya. Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.
Mereka akan mendapat giliran kebinasaan yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka. Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.
***
Markesot sering bergumam di dalam dirinya sendiri, “Kalau aku ternyata adalah bagian dari golongan yang juga pantas untuk ditimpa adzab, ya timpakanlah ya Allah”
Markesot sangat takut bahkan ngeri kepada adzab Tuhan, tetapi di sisi lain ada semacam kegembiraan kecil, bahwa hukuman juga berarti pembersihan. Kalau Markesot diadzab Allah, ditimpa wabal atau pembalasan Allah atas perbuatannya, pada posisi pra-neraka, itu adalah hal yang justru harus disyukuri, karena memerdekakannya dari dosa-dosa seiring dengan tahap-tahap pengikisan dosa-dosa itu oleh wabal-Nya.
Kalau Markesot mengajukan proposal Wabal pra-Neraka, ia bukan sedang membenci dan mengutuk suatu golongan manusia dan memohon Tuhan menghancurkan mereka. Pengajuan Markesot itu harus berarti bahwa ia sendiri siap menanggung logika sebab-akibatnya.
Semua dan setiap orang ingin dihindarkan dari adzab neraka dan ingin tergabung dalam golongan para kekasih Tuhan. Tetapi cinta Allah bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan proses penguasaan, melainkan ditempuh dengan perjuangan kebaikan dan kesetiaan.
Dan salah satu alasan atau sebab yang membuat Markesot ‘sangat bernafsu’ memohon wabal Allah sebenarnya adalah karena diam-diam kebanyakan manusia tidak takut-takut amat kepada neraka. Banyak pemeluk-pemeluk agama sangat serakah untuk minta masuk sorga, tapi perilaku dan keputusan sehari-hari mereka terutama dalam kehidupan bernegara mencerminkan bahwa aslinya mereka meremehkan neraka.
Mereka concern kepada sorga karena sorga dianggap punya akses melimpah untuk memperoleh laba kekayaan dan kemewahan. Kekayaan yang dimaksud tentu saja kekayaan menurut konsep keduniaan mereka. Siapapun yang memperhatikan pola perilaku manusia di dalam mengurusi kehidupan bernegara dan perhubungan-perhubungan sosial mereka, akan menyimpulkan bahwa itu bukan tingkah laku makhluk Tuhan yang takut kepada neraka.
***
“Jadi”, gumam Markesot, “Perkenalkanlah karakter neraka itu, ya Allah, kepada hamba-hambaMu yang punya potensi besar untuk kelak Engkau campakkan ke dalamnya. Supaya mereka agak merasa ngeri sedikit”.
Masalahnya, jika ini tidak kurang ajar untuk menyebutnya masalah: ialah konsep tangguh dari Tuhan. Adzab pasti ditimpakan, tetapi ditangguhkan. Diulur sampai jangka waktu tertentu. Dan jangka waktu yang dimaksud itu berapa lama, merupakan rahasia Allah yang paling dirindukan oleh para pecinta-Nya untuk dikuakkan.
Allah berfirman, “beri tangguhlah orang-orang kafir itu barang sebentar”. Tuhan Maha Besar. Allahu Akbar. “…barang sebentar….” Barang sebentar. Siapakah para ahli kasyaf yang mungkin dikasih bocoran oleh Tuhan tentang berapa lama “barang sebentar” itu.
Kalau ada yang memperhatikan agak mendalam kenapa Markesot bersikeras dan begitu sungguh-sungguh melakukan perjalanan mencari Kiai Sudrun, antara lain dorongannya adalah “barang sebentar” itu. Meskipun Markesot siap-siap nanti Sudrun akan mentertawakannya dan menjawab:
“Apa kau yakin ada Malaikat, entah Baginda Jibril atau siapapun Malaikat lainnya yang dimurahi oleh Allah dan dikasih tahu tentang ‘barang sebentar’ itu? Kalau kamu bisa memastikan dan menginformasikan kepadaku Malaikat siapa yang mengetahui hal itu, maka ada kemungkinan saya menanyakan kepada beliau….”
Jawaban Kiai Sudrun itu nanti akan menghancurkan hati Markesot. Karena diam-diam memang terpikir olehnya untuk meminta Kiai Sudrun menanyakan kepada satu dua Malaikat yang paling dekat Tuhan, kenapa ada perubahan kebijakan sesudah lahir dan diutusnya Muhammad sebagai Duta Terakhir, khotamal-anbiya’.
Kenapa adzab-adzab tidak kontan lagi. Kenapa hukuman-hukuman ditunda. Kenapa pembalasan terhadap para pengingkar nilai-nilai Tuhan diulur-ulur. Kenapa ada klausul “amhilhum ruwaida”.
Bahkan begitu banyak pecinta Allah cepat dipanggil oleh-Nya. Kenapa begitu berurutan para penyetia tauhid tinimbalan, sementara manusia-manusia kacau balau akhlaqnya akalnya mentalnya malah ‘disuntik formalin’ sehingga awet hidup di dunia. Kenapa Allah terlalu membiarkan diri-Nya dilecehkan oleh banyak sekali golongan-golongan manusia.
Diremehkan, dianggap tidak ada. Tidak diagendakan dalam tahap-tahap tujuan hidup. Tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan, terutama yang besar-besar seperti program pembangunan oleh kebanyakan pemerintah yang secara terbalik-nilai menguasai negara dan menyandera rakyat yang memiliki negara.
Alhasil, Markesot ini ge-er meletakkan dirinya seolah-olah ia ditugasi untuk mengelola dan menjaga nasib Bangsa dan Negara di mana ia hidup. Ia juga kurang bersabar terhadap irama kehendak Tuhan. “dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh”
Jadi, Cak Sot, kenapa mempertanyakan policy tangguh-Nya, apa karena kurang yakin bahwa Allah itu Maha Tangguh?”