Pintu Keterkabulan dari Allah
Malam ini Cak Nun dan KiaiKanjeng berada di Sidoarjo, tepatnya di Gedung Tani Jemundo Sidoarjo, untuk menjumpai masyarakat dan jamaah Maiyah dalam acara Sinau Bareng Cak Nun.
Gedung berlantai dua ini cukup besar, tetapi tetap saja tak mampu menampung banyaknya jamaah yang berdatangan. Sesudah gedung lantai dua tempat acara digelar cukup penuh, Cak Nun meminta hadirin yang tak bisa naik untuk tetap ikhlas berada di bawah, karena tempat memang benar-benar tak memungkinkan lagi. Di lantai bawah, layar-layar tivi telah disediakan untuk membantu hadirin tetap tersambung dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Setelah Cak Nun menyapa mereka secara langsung, mereka akhirnya bisa tertib, aman, dan nyaman mengikuti acara.
Sesudah semua jamaah duduk rapi dan siap, Cak Nun pelan-pelan memulai berbicara dengan kelembutan dan kematangan kepemimpinan. Banyak dari mereka yang mungkin baru kali pertama berjumpa dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Hadirin yang telah sedari tadi menunggu kehadiran Cak Nun diajak pelan-pelan menapak dan merasakan jalannya acara seperti apa nantinya. “Kalau pas nanti dirasa butuh lagu dan nyanyi, kita bunyikan musik, pas cocoknya lagu yang khusyuk, kita bawakan yang khusyuk, dan seterusnya. Jadi kita rasakan dan kita bangun bersama-sama,” tutur Cak Nun tidak memposisikan diri satu arah. Semua yang hadir dijadikan partisipan aktif, terutama aktif kepekaan rasanya.
Sebelum Cak Nun maju ke depan, KiaiKanjeng dengan dipimpin para vokalisnya sudah terlebih dahulu menyambung hati jamaah melalui beberapa nomor shalawat seperti Sidnan Nabi dan Sholli wa Sallim Daiman ‘alahmada. Jamaah tak ada kesulitan untuk mengikutinya. Khususnya jamaah ibu-ibu yang datang dari berbagai daerah di wilayah Sidoarjo dan sekitarnya, sebagian mengajak serta anak mereka, sangat aktif bareng-bareng bershalawat bersama para vokalis KiaiKanjeng.
Kenikmatan Maiyah atau Sinau Bareng Cak Nun ini sangat dirasakan, diserap, dan dikangeni tak hanya oleh jamaah Maiyah atau masyarakat. Kru bus yang membawa rombongan KiaiKanjeng dari Jogja menuju Sidoarjo pun ikut menyimak di lantai dua ini di dekat panggung. Ia sudah cukup istirahat, dan sekarang dia duduk khusyuk menikmati Sinau Bareng malam ini.
Cak Nun sendiri selalu membuka lebar-lebar hatinya, merasakan beragam pancaran mata dan aura pada wajah orang-orang yang duduk sangat banyak di depannya. “Siapa yang masih punya masalah?,” tanya Cak Nun penuh senyum. Rupanya sangat banyak yang mengacungkan jari. “Woh woh okeh tenan... Berarti podho butuh solusi kan?,” respons Cak Nun dan jamaah pun juga tersenyum-senyum sendiri. Tak ada pretensi Cak Nun memberikan solusi yang mereka butuhkan tetapi mereka diingatkan kembali akan dasar-dasar hidup. Diingatkan kembali bahwa mereka pasti sudah berjuang dan berusaha, dan sesudah itu ada yang namanya tawakkal. Yakni memasrahkan sesuatu kepada Allah sesudah batas maksimal dilakukan atau memasrahkan sesuatu yang berada di luar kemampuan diri. Dan Allah memberikan janji, siapa saja yang bertawakkal, Allah akan mencukupinya dan akan menjadi penyampai pada tercapainya cita-cita atau harapan pada urusan hamba-Nya.
Pertanyaan sederhana tadi juga jalan bagi tersambungnya kemurnian hati. Dan ketika kemudian mereka diajak berdo’a bersama, mereka dengan mudah masuk dalam kekhusyukan. Selain memberikan beberapa doa yang bisa mereka baca di rumah, khususya yang bermuatan permohonan akan keterjagaan dan diberikannya petunjuk dari Allah, Cak Nun mengajak mereka semuanya menundukkan kepala dan khidmat membaca surat al-Fatihah, tiga surat Qul, dan beberapa shalawat.
Di puncaknya, lantunan Hasbunallah meluncur dari bibir-bibir jamaah memenuhi ruangan gedung ini. Mereka dibimbing untuk sejenak transenden dan pada momen itu mereka diajak menyapa dan mengetuk pintu keterkabulan Allah.
Persis seperti dikatakan Cak Nun di awal. Sesudah khusyuk dalam berdoa, kebutuhan berikutnya adalah ekspresi kegembiraan. Cak Nun lantas mengajak mereka menikmati dua nomor: One More Night-nya Maroon 5 oleh mas Doni dan dangdut Beban Kasih Asmara oleh Mas Imam Fatawi. Kedua vokalis ini sangat piawai dan atraktif. Suasana meriah. Sekali dua kali ajakan Mas Doni kepada jamaah untuk ikut bernyanyi makin menyatukan kebersamaan. Mas Doni ini salah satu vokalis KiaiKanjeng yang berbakat, tak hanya bernyanyi tapi juga memainkan alat musik. Bakat bernyanyinya sendiri sudah disadarinya sejak usia tiga tahun. Kala itu Donni anak-anak selalu menangis kalau lagu Garuda Pancasila usai dikumandangkan setelah acara berita nasional TVRI. Ia ingin lagu itu dinyanyikan lagi. Juga sejak ia merasa “mangkel” ketika nunggu acara Selecta Pop di TVRI ternyata masih harus diselingi acara Laporan Khusus. Bersama vokalis lain, Mas Donni dan mas Imam sangat baik berkontribusi menciptakan kehangatan dalam acara-acara Maiyahan bersama Cak Nun KiaiKanjeng, seperti malam ini.
Maiyahan malam ini terasa pula sebagai terpenuhinya kerinduan jamaah untuk bermaiyah, untuk sinau bareng Cak Nun, lengkap dengan aneka macam keindahan yang melekat padanya. Maiyahan sendiri berjalan mengalir tahap-tahap atau peralihannya sedemikian rupa sehingga sering kali tak terasa pergerakan waktu. Selain interaksi di dalamnya dihiasi oleh musik, lagu, irama, ketepatan dan ke-pas-an kapan suatu nomor dihadirkan, juga selalu ditandai oleh adanya keperluan akan pengolahan ilmu. Salah satunya melalui tanya jawab.
Seseorang menanyakan ihwal empat huruf yang sedang dibicarakan dan diperdebatkan banyak orang. Ringkas Cak Nun menjelaskan. Empat huruf tersebut bukan identitas, melainkan perilaku. Orang-orang atau kehendak politik yang ingin melegitimasinya itu tidak memiliki filsafat mengenai pengendalian. Tahunya hanya melampiaskan atau pelampiasan. Dan yang terpenting adalah bahwa manusia perlu menyesuaikan diri kepada kehendak Tuhan, bukan melampiaskan, baik dengan atas nama hak asasi manusia atau apapun. Cak Nun memberikan contoh-contoh konkret dari desa di masa lalu. Yu Sumi yang kelelaki-lakian atau Guk Urip yang melambai tapi mampu memanage diri dengan mengonsentrasikan hidupnya pada kerja, dan tak ada waktu dan pikiran buat melampiaskan nafsu seks.
Selain itu, Cak Nun mengingatkan kalau ada orang yang mengalami empat huruf tadi, mereka harus ditemani. Dan sesungguhnya kesalahan tidak terletak pada mereka, tetapi pada rekayasa yang sudah dicanangkan sejak Desember 2014 hingga nanti September 2017.
“Jangan terjebak pada rekayasa-rekayasa…” pesan Cak Nun. Kemudian secara ringkas dipaparkan kepada mereka situasi-situasi global dan kondisi sesungguhnya Indonesia dalam perspektif politik. Dalam konteks seperti ini, seperti terasa dan terlihat pada setiap kali Maiyahan, memang masyarakat membutuhkan pandangan atau wacana yang mandiri, tidak terjebak mainstream, dan memberikan alternatif yang lebih membebaskan.
Suplai energi itu pun tak hanya melalui ilmu, melainkan juga kehadiran Cak Nun KiaiKanjeng sendiri yang sejak awal telah menaburkan tenaga-tenaga kehidupan yang akan diserap oleh jamaah. Sampai pukul 00.15, tiba di penghujung, perjumpaan ini terasa singkat. Tapi acara harus segera dipuncaki. Jamaah diajak berdiri semua, melantunkan lagu nasional karya Habib Muttohar, dan selanjutnya Cak Nun memanjatkan doa: Allahummarzuqna ya Rozzaq, Allahummahdina ya Haadi, Allahummahfadhna ya Hafiidh.
Usai doa, jamaah yang kebanyakan para generasi muda ini berjabat tangan dengan Cak Nun. Sementara itu KiaiKanjeng mengiringinya dengan menghadirkan lagu Ojo Podho Nelongso dari Koes Plus. Pak Bobiet, Pak Is, Pak Bayu, dan kawan-kawan dengan penuh totalitas memainkan alat musik pelayanan sosialnya. Merekalah kelompok musik yang pulang paling belakangan sesudah para jamaah atau masyarakat yang dilayaninya selesai berjabat tangan dan kembali ke tempat masing-masing. Masih dari Koes Plus, Bukan Lautan Hanya Kolam Susu mengalun menemani ungkap cinta-rindu, rasa syukur, dan ta’dhim yang mengatmosfir setiap kali Maiyahan berakhir.