CakNun.com

Pesantren Kêbo, Indonesia Gudèl, Manusia Ahsanu Taqwim

Catatan Tadabburan Ponpes Al-Huda Boyolali 20 Agustus 2016
Redaksi
Waktu baca ± 10 menit

Persaudaraan Cak Nun dengan Pesantren Al Huda sudah terjalin sangat lama, tepatnya tujuh belas tahun. Gus Ato’illah Habib, pengasuh Al Huda, mencatat sejak tahun 1999, kali ini Cak Nun hadir untuk yang kesepuluh kali di pesantren ini, diberi kehormatan untuk ikut ngombyongi hari lahir pesantren.

Sabtu 20 Agustus 2016, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di Pondok Pesantren Al Huda di Dusun Doglo, Desa Candigatak, Kecamatan Cepoko, Kabupaten Boyolali. Tadabburan kali ini dalam rangka Pengajian Tasyakuran Milad Ponpes ke-53 dan Peringatan Kemerdekaan RI ke-71. Bersamaan dengan Tadabburan ini, juga berlangsung Majelis Ilmu Maiyah di tiga kota berbeda. Yaitu Waro` Kaprawiran di Madiun Raya, Maiyah Bahurekso Kendal, dan Juguran Syafaat di Banyumas.

Boyolali yang menempati lereng sebelah selatan dan timur Gunung Merbabu memberikan suhu dingin, tak terkecuali di Pesantren Al Huda malam itu. Tampak masyarakat yang hadir mengenakan jaket atau jas untuk sekedar menghangatkan tubuh. Pesantren ini tidak memiliki halaman yang luas karena menempati lokasi di antara rumah-rumah warga. Maka panggung Tadabburan ini kebagian menempati sebagian pertigaan jalan dan selokan, seperti maiyahan tahun-tahun sebelumnya di sini.

Bersama kesulitan itu disertai kemudahan
Bersama kesulitan itu disertai kemudahan

Sebelum memulai Tadabburan, setelah didahului persembahan Kalimah Thayyibah dan Wujud Qidam Baqa dari KiaiKanjeng, Cak Nun mengajak seluruh jamaah, Pertama membacakan Surat Al Fatihah yang merupakan ibunya dari semua ayat-ayat Al Quran, dengan harapan semoga diberkahi Allah, dimudahkan urusannya, diterangkan hatinya, dirukunkan keluarga dan masyarakatnya, semuanya dilindungi Allah, ya desanya, pesantrennya, keluarganya, dan negaranya. Kedua membaca ayat kursi dengan diulang sembilan kali pada ayat “Wa laa ya’uudluhu hifdzuhuma”, semoga keluarga kita menjadi kokoh, tangguh mengarungi hidup di zaman penuh badai kerusakan dalam skala tidak hanya nasional, tetapi juga global. Kekokohan itu syaratnya dengan memiliki “patok” yang kuat di desanya masing-masing, patok yang berada pada “gravitasi tauhid” kepada Allah, tidak malah membuat patok sendiri yang melenceng dari patok Allah.

Kemudian Ketiga, membaca surat Al Insyirah. Melalui surat ini, Cak Nun mengajak jamaah pada saat kembali ke rumah nanti untuk memperhatikan apakah sudah mengalami seperti yang disampaikan Allah di surat itu. Alam nasyrah laka shadrak, coba perhatikan apakah kita sudah mengalami kelapangan dada itu. Wa wadla’na ‘anka wizrak Alladzii anqadla dhahrak, renungkan apakah beban-beban kita telah diangkat Allah. Wa rafa’na laka dzikrak, saksikan apakah derajat kita atau aji ning urip kita telah diangkat Allah. Laku yang menyebabkan dinaikkan derajat kita oleh Allah antara lain dengan belajar di pesantren, rajin beribadah, nyengkuyung para sesepuh, dan ketaatan pada apa yang harus ditaati.

Lalu setelah tahapan-tahapan itu, Allah memberi “mesin” di ayat berikutnya, Fa innaa ma’al ‘usri yusra innaa ma’al ‘usri yusra. Bersama kesulitan itu disertai kemudahan. Namun perlu diperhatikan dalam ayat tersebut, kata kesulitan menggunakan alif dan lam, al-‘usri, yang menunjukkan sebuah kepastian. Artinya, kesulitan itu sudah pasti dan jelas. Lalu kata kemudahan, yusra, tidak menggunakan alif lam, yang ini berarti kemudahan itu harus diupayakan, harus kita cari. Untuk itu Cak Nun mengingatkan santri-santri di pesantren ini harus dilatih berjuang tidak hanya memasukkan data-data ke otak dan hatinya. Perlu ada lelaku atau riyadlah. Harus berani sabar, berani ikhlas, berani kekurangan agar tangguh. Agar besok tidak mencuri, tidak menjadi pengemis, tetapi menjadi yang menyantuni pengemis. Selalu siap mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi. Fa idzaa faraghta fanshab, jika kita telah menemui metode-metode penyelesaiannya, maka teruskan upaya itu. Kita harus mengerti juga apa yang diteruskan. Wa ila rabbika farghab, jangan lupa bahwa di atas segala daya upaya itu, kita berharap hanya kepada Allah. Jangan berharap kepada manusia.

Nafas tadabbur mendasari tiap maiyahan. Jamaah diajak untuk terus mendekat kepada Al Quran. Setidaknya setiap hari dikupas sedikit demi sedikit, mungkin hanya satu ayat, atau bisa jadi tiga atau lima ayat, karena segala penawar ada di sana. Tidak dengan pendekatan tafsir yang akademis, tetapi dengan tadabbur, yang penting manfaatnya dalam kehidupan, menjadi lebih baik. Atau bahkan mungkin cukup melirik Al Quran jika belum sempat membacanya. Semoga dengan niat baik itu, Allah memudahkan rejeki kita.

Taat pada Gravitasi Tauhid

Sedikit demi sedikit Cak Nun mengurai tema malam itu dari susunan surat Al Quran yang dibaca di awal. Kali ini masuk ke dalam kaitan dengan ayat kursi. Berangkat dari dasar tahapan manusia terkait patok yang harus dipegangnya, yakni patok yang berada pada garis lurus dengan kursinya Allah, landasannya bisa berangkat dari lingkungan tempat maiyahan kali ini. Karena lokasi berada di lereng gunung, maka Cak Nun menegaskan jika dalam kondisi tanah yang miring, bangunan yang didirikan harus berdiri tegak mengikuti gravitasi, tidak tegak terhadap kemiringan tanah. Ini menunjukkan bahwa jika kita membuat apa saja, menggunakan ilmu apa saja, pasti harus taat pada sunnatullah, ketentuan Allah. Alam dan segala benda taat langsung kepada Allah. Tidak ada batu, gunung, tanaman, yang tidak taat kepada Allah. Hingga banjir pun taat kepada Allah. Ia mengalir ke tempat rendah sesuai syariat Allah.

Benda sebagai tahap pertama, ia total taat kepada Allah. Tahap berikutnya benda yang tumbuh, yakni tanaman, juga taat kepada Allah. Selanjutnya benda yang tumbuh, berdarah daging, dan memiliki nafsu, yang patuh kepada kehendak Allah. Di atas hewan, adalah benda yang tumbuh, berdarah daging, punya nafsu, dan diberi akal sehat, ialah manusia. Nah, di sinilah potensi ke-tidaktaat-an berada, yaitu akal yang memiliki potensi rejeki sekaligus adzab. Semua tergantung manusia bagaimana menggunakan akalnya. Tinggal memilih dengan resiko ditanggung masing-masing. Faman syaa-a fal yu`min, wan man syaa-a fal yakfur.

Resiko yang dihadapi tidak berada pada hidup di dunia ini, melainkan saat hidup di akhirat kelak yang jauh sangat lama. Hidup yang singkat di dunia ini adalah ujian atau menanam benih, yang menentukan nasib hidup, yang panen buahnya saat hidup di akhirat. Maka saat menjalani hidup sebentar di dunia ini harus baik, harus benar. Jika lulus hidup di dunia, maka akan enak hidup di akhirat seterusnya. Karena kita tidak bisa mengelak dari hidup abadi. Yakni hidup singkat di dunia, lalu melalui proses switching yang bernama mati, kita akan berlanjut hidup di akhirat.

Taat pada garis gravitasi Allah
Taat pada garis gravitasi Allah

Maka dengan kesadaran ini, mudah-mudahan para santri mengerti bahwa sukses itu bukan ketika hidup di dunia ini, namun saat hidup di akhirat kelak. Tidak kaya di dunia tidak masalah, tidak sukses di dunia tidak masalah, asal yang penting tekun, sungguh-sungguh, ikhlas, dan sehat. “Taat pada garis gravitasi Allah”. Semoga para santri juga paham jika yang lebih penting menjadi orang baik yang utama, bukan menjadi orang pintar.

Soleh Dulu, Baru Pintar

Pondok Pesantren Al Huda diasuh oleh KH. Habib Ihsanuddin yang diresmikan oleh Kiai Toha Muid pada tanggal 20 Agustus 1969, bertepatan dengan tahun keenam pengajian yang dilaksanakan oleh Kiai Habib. Toha Muid adalah seorang ulama yang menjadi guru Kiai Habib saat di Jawa Timur. Nama Al Huda sendiri adalah pemberian Toha Muid. Pesantren ini memiliki berbagai institusi pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak, Pendidikan Anak Usia Dini, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiah, Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Aliyah dan Taman Pendidikan Al Qur’an.

Pesantren ini hidup dengan tradisi yang jamak dijalani para nahdliyyin, di mana tradisi shalawatan sangat berkembang. Maka untuk menyambungkan atmosfir jamaah dan pesantren ini, Cak Nun bersama KiaiKanjeng mengajak semua hadirin bershalawat bersama.

Shalawat merupakan hal yang hampir mutlak perlunya, terutama untuk bangsa Indonesia dan ummat Islam dunia. Shalawatan tidak hanya tradisi. Ia sangat dibutuhkan di tengah kerusakan zaman ini, karena kita akan tidak punya kemungkinan mengatasi keadaan kecuali ditolong Allah dengan syafaat Rasulullah. Demikian Cak Nun memberi landasan pentingnya shalawat. Shalawatan berada pada garis hubung dengan ketaatan kita kepada Allah.

Usai shalawat, Cak Nun mempersilahkan putra Kiai Habib, yakni Gus Atho’illah untuk menyampaikan beberapa hal yang kemudian akan bersama-sama dicari “ujung jarum”-nya pada titik refleksi yang akan menyehatkan badan kita semua di pesantren ini, di negeri ini.

Gus Ato’ menerangkan bahwa apa yang disampaikan Cak Nun sesuai dengan motto Ponpes Al Huda ini, yaitu “Soleh Dulu, Baru Pintar”. Untuk itu santri di sini diajak ikut menjalani agama dalam kesehariannya, atau ditradisikan. Tidak seperti sekolah yang kemudian berkembang salah kaprah dan menjadikan ribut di masyarakat, yakni agama hanya dijadikan sebatas ilmu pengetahuan. Sejatinya agama itu tuntunan, way of life. “Pengetahuan tentang agama itu penting, tapi jauh lebih penting menjadi orang beragama”, urai Gus Ato’.

Selain Gus Ato’, di panggung juga ada salah seorang alumni Ponpes Al Huda yang masuk pada tahun 1968, dan baru diizinkan Kiai Habib meninggalkan Al Huda setelah nyantri dan mengabdi selama dua puluh dua tahun, tepatnya tahun 1990. Beliau menyampaikan bahwa tidak pernah terjadi tawuran antar pesantren. Tawuran yang banyak terjadi adalah antar sekolah yang bukan pesantren. Mengapa? Karena di pesantren, pendidikan yang utama adalah akhlaqul karimah. Melalui jenjang mengaji kitab, akhlaqul karimah salah satunya dicontohkan dalam kisah-kisah di kitab Ta’lim Muta’allim, Al-Hikam, dan Ihya ‘Ulumuddin. Memang saat keluar dari pesantren, seperti yang disampaikan Gus Ato’ sebelumnya, santri akan masuk ke dunia baru. Santri biasanya memiliki ketertinggalan, terutama dalam hal penampilan atau kekayaan. Tetapi santri tidak perlu minder karena Kiai sudah membekali bahwa yang utama adalah menjadi orang baik, berakhlaqul karimah. Kaya itu nomer kesekian, bahkan besok-besok saja. Artinya, menguatkan kembali yang disampaikan Cak Nun, bahwa hidup di dunia yang sebentar ini harus tepat tujuannya. Bahwa sukses itu letaknya pada hidup yang berikutnya, hidup di akhirat.

Meneruskan dengan Sungguh-sungguh

Terkait ayat “Wa ila rabbika farghab” dan hubungannya dengan negara Indonesia, dengan sabar dan perlahan Cak Nun memberi pemahaman cara berpikir kepada seluruh jamaah. Ketika mendirikan negara, seharusnya meneruskan dengan sungguh-sungguh, harus melanjutkan yang sebelumnya, tidak membuat “bentuk” baru. Seperti saat manusia berumur dua puluh delapan, maka ia harus meneruskan kelanjutan dari dua puluh tujuh-nya. Juga semisal kêbo (kerbau), berkembang biaknya ya harus meneruskan masa gudèl (anak kerbau)-nya. Contoh lain adalah bung (bambu muda) harus menjadi pring (bambu tua), atau kuthuk (anak ayam) harus jadi pitik (ayam), atau  mêri (anak bebek) kodratnya menjadi bèbèk (bebek), dan lain sebagainya. Maka negara ini, jika memakai istilah mahasiswa, harus merupakan kontinyuasi atau kelanjutan peradaban sebelumnya, bukan negara dengan peradaban adopsi dari luar negeri ini. Dan Indonesia ini, sembilan puluh persen-nya adalah adopsi, bukan kelanjutan peradaban sebelumnya. Merasa diri ketinggalan jaman sehingga mengekor ke barat.

Lebih tua mana pesantren dengan Indonesia?
Lebih tua mana pesantren dengan Indonesia?

Terkait pesantren, posisinya dan sejarahnya dengan Indonesia, Cak Nun bertanya, “Lebih tua mana pesantren dengan Indonesia?”. Pesantren telah ada di negeri ini selama kurang lebih enam abad, sedangkan Indonesia baru ada tujuh puluh satu tahun. Jika ditarik dari ibarat kerbau dan anak kerbau, mana kah yang kêbo dan mana yang gudèl? Dari alur sejarah itu, maka terlihat bahwa Pesantren adalah sang kêbo, dan Indonesia itu gudèl-nya. Untuk itu, yang seharusnya mengabdi adalah Indonesia kepada pesantren, bukan sebaliknya. Rasa-nya harus seperti itu. Jangan sampai pemerintah melihat pesantren menjadi gudèl-nya pemerintah. Karena jika tidak ada pesantren, Indonesia tidak lahir. Tidak akan ada peristiwa 10 November di Surabaya jika tidak dimulai oleh Resolusi Jihad dari Hadratussyaikh Hasyim As’ari di Tebuireng. Tetapi yang terjadi di zaman yang rusak ini, banyak pesantren malah nggudèl, mengabdi bahkan mengemis kepada pemerintah. Pesantren malah merasa dirinya gudèl, padahal ia kêbo.

Pemimpin yang Linuwih

Maiyahan bukan tempat Cak Nun menuturi, bukan pula menasehati, tetapi mengajak rembug bersama. Zaman ini banyak manusia yang tidak taat pada syariat Allah. Berbeda dengan batu yang taat kepada syariat Allah, berbeda dengan tumbuhan, berbeda dengan hewan yang diberi nafsu yang juga taat kepada syariat Allah. Manusia yang berakal memiliki pilihan untuk taat atau tidak kepada syariat-Nya. Maka pesantren adalah tempatnya mendidik, memberikan pegangan bahwa hidup harus taat kepada ketentuan Allah.

Dengan melihat tingkat kebobrokan Indonesia yang sangat parah, yang hampir tidak mungkin manusia mengatasinya, maka Indonesia ke depan harus memiliki pemimpin yang ampuh, yang linuwih, yang sinisihan wahyu. Melalui maiyahan ini, rembug bersamanya adalah Pesantren Al Huda ini diajak untuk memiliki kesadaran kèbo, yang akan melahirkan gudêl yang berkualitas. Melahirkan pemimpin yang memiliki keampuhan kaliber dunia, tidak hanya nasional. Untuk itu pesantren ini sebagai kebun, harus menciptakan ekosistem akhlaqul karimah yang mampu memunculkan pemimpin linuwih itu.

Kemudian Cak Nun menegaskan, namun jika dirasa itu terlalu tinggi dan jauh, setidaknya pesantren ini bisa menelurkan pemimpin yang mengerti fungsi dan posisi cangkul, pedang, dan keris. Ilmu cangkul, pedang, keris ini adalah ilmu dasar di maiyah yang sudah dibahas sejak lama. Filosofi atau pengibaratannya, cangkul adalah alat mencari nafkah. Lalu pedang adalah alat untuk melindungi orang mencangkul, yang dalam hal ini posisinya ada pada pemerintah. Terkahir, keris adalah pusaka yang menjaga tegaknya martabat bangsa. Masalahnya, kita sudah tidak punya pusaka itu lagi.

Dalam falsafah Jawa ada sandang, pangan, papan. Ketiga kata itu diurutkan demikian karena yang utama memang lah sandang. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat karena di sana lah harga diri manusia berada. Seorang guru bila pakaiannya sobek dan kelihatan auratnya, agar layak mengajar harus menjahitnya terlebih dulu. Dondomono. Jlumatono. Nah, negara kita ini pakaiannya sudah sobek tidak karuan. Sudah tidak mengerti martabat, aji, harga diri. Tidak mengerti bedanya kemuliaan dengan kehinaan.

Artinya, kita sudah tidak punya keris. Karena konsep kita dalam bernegara saat ini yang penting asal bisa makan walau telanjang.

Pesantren harus menguatkan dan mengutamakan prinsip aurat itu. Bukan seperti negara ini yang mengutamakan pangan daripada sandang. Bila ditarik dari cangkul, pedang, dan keris, pedangnya sekarang sudah dibuat mencangkul. Bahkan dibuat menodong orang yang mencangkul. Hanya untuk mencari laba dan laba meski harga diri tak punya. Pesantren lah yang memiliki keris. Santri harus mengerti martabat. Pesantren Al Huda tidak boleh menelurkan santri yang tidak berpusaka. Karena zaman ini, tingkat kerusakan parahnya, banyak santri di luar sana yang mampu mengaji, pintar ilmunya, pinter menjadi imam, pinter adzan, ujung-ujungnya juga digunakan untuk mencari laba. Keris pun saat ini sudah digunakan untuk mencangkul karena tidak . Seperti yang sudah disampaikan Gus Ato’, maka Cak Nun menegaskan bahwa santri memang harus dibekali kesadaran yang kuat bahwa rejeki sudah disiapkan dan diatur Allah. Santri harus menjaga martabatnya. Jangan menggadaikannya demi pangan dan papan, juga jabatan.

Ahsanu Taqwim

Semakin malam, suhu semakin dingin, pendaran ilmu yang muncul pun semakin padat. Hingga menjelang tengah malam, jamaah masih tetap khusyuk. Bapak-bapak, ibu-ibu, maupun para pemuda, tetap setia tidak beranjak dari tempatnya, baik yang di hadapan panggung maupun halaman pesantren atau teras-teras rumah penduduk. Kiai Habib beserta jajaran Muspida Kabupaten Boyolali dan aparatur pemerintahan terkait masih tetap di tempatnya, di bawah tenda di seberang panggung.

Setelah lagu Gelandangan yang dibawakan Imam Fatawi, Cak Nun kembali melanjutkan olah pikir bersama memberi asupan pangan kepada akal pikiran. Kembali kepada teori dasar, Cak Nun mengajak kepada cara berpikir dengan bertanya, Islam itu ada sejak nabi Adam atau dimulai setelah nabi Muhammad? Jika jawabannya sejak nabi Muhammad, lalu saat orang tua beliau dinikahkan, antara Abdullah dan Siti Aminah, mestinya tidak menggunakan cara-cara Islam seperti sekarang. Jika cara berpikir seperti ini dituruti, segalanya sah hanya setelah nabi Muhammad, kita akan pusing sendiri. Sebelum nabi Muhammad jelas sudah ada Tauhid. Maka legalitas sebelum Muhammad hingga Adam dengan legalitas pasca Muhammad sampai sekarang ternyata berbeda, itu sah-sah saja berubah dan berkembang terserah Allah.

Manusia sebaik-baiknya ciptaan, Ahsanu Taqwim
Manusia sebaik-baiknya ciptaan, Ahsanu Taqwim

Jika ditarik dari dasar itu, yang nomer satu santri itu menjadi orang baik, sebab akhlaq harus dikembangkan dan ilmu harus dicari. Maka tidak menjadi Islam pun harus tetap bekerja. Nabi Adam tidak lantas menelantarkan keluarganya hanya karena tidak Islam.

Tapi beliau bertauhid lalu berusaha menjadi manusia baik. Inti pesannya, seandainya santri-santri ini tidak bisa menjadi pemimpin yang baik, cukup menjadi muslim yang baik. Jika tidak sanggup menjadi muslim yang baik, maka jadilah manusia yang baik, itu sudah lumayan.

Bayi tidak perlu disekolahkan atau dikursuskan menggunakan matanya untuk melihat. Maka untuk menjadi manusia yang baik, tidak perlu sekolah untuk hidup sungguh-sungguh bekerja. Bahwa ada ilmu untuk bekerja, itu bisa dipelajari kemudian. Karena manusia sebaik-baiknya ciptaan, Ahsanu Taqwim. Umpamanya tidak ada agama Islam, jika kita menjadi manusia saja itu sudah baik karena kita Ahsanu Taqwim. Jadi, hasil minimal pendidikan ialah menjadi manusia yang baik.

***

Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Sesi tanya jawab juga sudah dipungkasi. Dalam sesi itu, berbagai pertanyaan yang muncul kemudian dijawab Cak Nun. Sebelum menjawab, terlebih dahulu jamaah diberi landasan bahwa apapun jawabannya, itu hanya pendapat Cak Nun, bukan sebuah kebenaran sejati. Maka jamaah tidak menjadikan jawaban Cak Nun sebagai pedoman. Maiyah melatih kita untuk mengunyah informasi terlebih dahulu, jangan langsung ditelan. Jawaban Cak Nun diendapkan, lalu dipikirkan kembali, hingga muncul saripati ilmunya. Yang dijadikan pedoman hanya Allah.

Di bagian akhir ini, One More Night milik Maroon 5 menjadi pamungkas. Yang kemudian ditutup dengan doa oleh Kiai Habib Ihsanudin. Sesi salaman diiringi oleh KiaiKanjeng dengan Tombo Ati. Malam itu selain santri dan masyarakat dipijati hatinya, juga dikuatkan patok Ahsanu Taqwim-nya, agar minimal menjadi manusia yang baik. (Ahmad Jamaluddin Jufri)

Lainnya