Perayaan Kesalehan
Tahqiq“Ballighuu ‘annii walau ayatan. Ayatan atau “ayah” itu dipahami sebagai sekumpulan kata yang berhimpun menjadi kalimat yang disebut ayat. Ayat tidak dimengertikan sebagai “pertanda” atau “bukti perbuatan” atau “wujud perilaku” atau “keteladanan”...”
Concern generasi Junit Toling Jitul terhadap kesalahen bisa jadi lahir dari generasi sebelumnya yang justru tidak benar-benar berkecenderungan terhadap kesalehan. Itu semacam logika balik atau merupakan salah satu pola dialektika.
Generasi yang melahirkan mereka adalah generasi yang terlalu banyak omong tentang kesalehan. Generasi yang sok saleh. Generasi yang sangat senang meraya-rayakan kesalehan, memamer-mamerkan kesalahen, mengibar-ngibarkan kesalehan – tapi hanya sebagai pernyataan dan performace, dan tidak sebagai perilaku dan praksis kehidupan.
Budaya pamer kesalehan itu, akhirnya membuat generasi muda bersikap apatis terhadap kesalahen dan tidak percaya kepada generasi bapak dan kakak mereka. Untungnya lingkaran kaum muda seperti Junit Toling Jitul tidak lantas membenci kesalehan, melainkan justru memiliki semacam rasa pembelaan terhadap nilai kesalehan. Kemudian memunculkan dorongan dari dalam diri mereka untuk mempelajari segala hal yang menyangkut kesalehan.
Anak-anak muda itu dibesarkan oleh suatu atmosfir generasi di mana kesalehan difungsikan sebagai brand, merk budaya, komoditas pasar karier. Ditakabbur-takabburkan sejak persekolahan balita hingga iklan Universitas sampai iklan calon pejabat dan anggota parlemen. Kesalahen diteknologisasikan sebagai topeng yang diindah-indahkan dalam rangka pemasaran. Dan itu dilakukan oleh individu-individu maupun institusi. Baik institusi politik maupun kapitalisme.
Kesalehan dimanifestasikan secara materiil dan kasat mata. Kesalehan dipasrahkan kepada jenis pakaian, pola penampilan, dan tradisi budaya simbolistik. Kaselahan diaplikasikan sebatas kefasihan membaca Al-Qur`an dan bukan kualitas pengamalannya. Anak-anak dididik untuk bangga berhasil mengkhatamkan dan menghafalkan seluruh ayat atau firman dalam Al-Qur`an, tapi tidak ada tuntutan untuk membuktikan bahwa mereka sanggup mem-perilaku-kan meskipun hanya satu ayat.
Anak-anak dididik untuk berpidato, berceramah, bertausiyah, menasihati masyarakat dan orang-orang dewasa, dengan dalil “sampaikan dariku meskipun hanya satu ayat”. Ballighuu ‘annii walau ayatan. Ayatan atau “ayah” itu dipahami sebagai sekumpulan kata yang berhimpun menjadi kalimat yang disebut ayat. Ayat tidak dimengertikan sebagai “pertanda” atau “bukti perbuatan” atau “wujud perilaku” atau “keteladanan”.
Ballighu ‘anni walau ayah diajarkan sebagai informasi tekstual yang diambil dari firman Allah di Al-Qur`an.
“Sebenarnya pemahaman itu tidak juga semena-mena bisa disalahkan”, kata Mbah Markesot dulu di Patangpuluhan, “asalkan anak-anak dibiasakan untuk mengerti bahwa tidak ada ayat yang berdiri sendiri. Tidak ada firman Allah berwujud satu ayat yang tidak dipahami sebagai terkait dengan seluruh ayat yang lain. Satu ayat dengan seluruh ayat yang lain berposisi kait-mengait. Bahasa anak-anak sekolah: komprehensif-dialektis….”
Pada kesempatan lain Mbah Sot mengemukakan, “kalau engkau terbiasa bersilaturahmi dengan Allah melalui firman-firman-Nya, perlahan-lahan engkau akan merasakan bahwa pada hakikatnya setiap ayat Allah mengandung seluruh ayat-ayat yang lain. Setiap ayat memuat seluruh dan keseluruhan ayat-ayat, meskipun keseluruhan ayat-ayat terdiri dari satu ayat demi satu ayat. Satu debu memuat seluruh alam semesta, dan seluruh alam semesta terdiri atas jumlah tak terbatas debu-debu. Kita memahaminya sebagai getaran, dinamika, aliran ulang-ulang dan saling silang. Titik berat pemaknaannya kita temukan pada titik berat dan pusat keseimbangan di antara keseluruhannya. Ummat manusia akan bertengkar tanpa henti kalau mereka berhenti dan bersikap statis di dalam sifat kehidupan yang dinamis, mengalir, dan bergetar….”
Misalnya media massa secara materiil dan statis menghadirkan Islam, kesalehan dan idiom-idiom popular lain untuk menarik pasar. Publik Kaum Muslimin terpesona oleh itu, kemudian dimasukkan ke dalam iklim Islam dan kesalahen simbolik-materiil. Komunikasi dan peribadatan kepada Tuhan tidak ditradisikan sebagai perjuangan batin dan nilai, melainkan diserahkan kepada identitas dan ikonisme.
Perusahaan-perusahaan komunikasi publik mengusung kata Islam, kesalehan, firman, hadits, dengan pelaku-pelaku Kiai mendadak atau Ustadz artifisial. Yang ditradisikan adalah Islam yang materiil, kapitalistik-simbolik. Islam bukan upaya penghayatan batin dan perjuangan perilaku budi pekerti, melainkan dicampakkan menjadi hanya warna, emblem, status, dan perwajahan yang palsu. Islam adalah gamis, surban, peci, sajadah, kaligrafi, lantunan ayat, dan kefasihan gaya bicara. Bukan nilai, akhlaq, manifestasi sosial, substansi keilahian atau ketertataan hidup sebagaimana esensi Islam mengajarkan.
Oleh karena Islam diperlakukan tidak sebagai dinamika perjuangan nilai, tidak sebagai komprehensi berbagai nilai kehidupan yang di-kaffah-kan menjadi suatu entitas yang wungkul — maka kehadiran Islam menjadi semacam materi statis yang dipertentangkan atau dipolarisasikan dengan yang dianggap “bukan Islam”, umpamanya demokrasi.
Islam yang statis dan materiil itu kemudian bisa dipecah-pecah menjadi Islam Liberal, Islam Fundamentalis, Islam Moderat, Islam Konservatif bahkan Islam Ortodoks. Seolah-olah manusia itu sebuah makhluk yang bisa dikurung dalam tabung liberalitas, fundamentalitas, konservatisme dan ortodoksi. Seolah-olah nilai liberal bisa berdiri sendiri, seolah fundamentalisme, moderatisme dan ortodoksi bisa berdiri pada masing-masingnya.