Peradaban Ngêmpêt
Puasa pada hakikatnya adalah Imsak atau Menahan Diri atau Ngêmpêt. Menahan dari apa? Menahan dari keinginan-keinginan yang mengepung diri. Mengepung sejak bangun tidur hingga menjelang tidur. Bahkan mungkin keinginan itu mewujud merasuk dalam rupa mimpi saat tidur. Ingin makan, ingin minum, ingin jalan-jalan, ingin beli baju ini, ingin beli gadget itu, dan ingin ingin seterusnya yang tiada habisnya jika dituruti.
Menurut Simon HT dalam bincang-bincang santai penulis dengan beliau di kediamannya, bulan Ramadlan adalah bulan latihan atau training untuk ngêmpêt keinginan-keinginan yang muncul itu. Maka kata Rasulullah, puasa Ramadlan adalah Madrasah. Ramadlan menjadi tempat belajar menahan keinginan diri.
Dimulai dari keinginan yang paling sederhana dan mendasar. Yakni keinginan makan dan minum. Dua hal ini memiliki rentangan waktu yang pendek antara masa pemenuhan keinginan yang telah atau sedang, dengan yang akan datang. Maksudnya, jarak waktu antara sarapan dengan makan siang tidak terlampau jauh. Juga makan siang dengan makan malam. Bahkan ada yang memiliki ritual makan juga di antara waktu-waktu makan yang berlaku umum itu, sehingga interval waktu makannya semakin pendek. Atau mungkin ada yang tanpa jeda. Sepanjang waktu makan, baik makanan berat atau sekedar snack.
Selama 30 hari, kita dilatih untuk menahan ‘keinginan’ makan minum, yang merupakan tahap pertama, sebelum masuk tahap menahan makan minum. Berikutnya, menahan keinginan-keinginan lain yang sudah ditetapkan Tuhan dalam juknis puasa Ramadlan. Termasuk telah diatur juga waktu menahan, yang dimulai waktu adzan subuh, hingga saat adzan maghrib. Manusia-manusia di Negeri ini dilatih ngêmpêt keinginannya relatif konstan bertahun-tahun, selama 13 jam sehari. Lebih ke barat dan ke utara dari Negeri ini, semakin beruntung karena waktu berlatihnya semakin panjang saat musim panas hingga 16 jam, 18 jam, bahkan 22 jam. Ketika di tengah waktu berlatih kemudian muncul keinginan hati untuk makan, akan terjadi dialektika dengan pikiran yang mengatakan, “Tunggu dulu. Tahan. Sabar ya.”
Tadi Rasulullah mengatakan, puasa Ramadlan adalah Madrasah. Ramadlan sebulan penuh. Berarti latihan menahan keinginan ini tidak hanya sebatas 13 jam, melainkan 24 jam penuh. Selama 13 jam adalah proses pendidikan, dan sisa 11 jam seharinya adalah masa uji coba atau magang. Selama 30 hari, proses belajar-ujian-evaluasi belajar-ujian-evaluasi ini berlangsung. Ujian pertama setiap hari, akan dimulai saat Ifthar, saat berbuka puasa. Seberapa sanggup para peserta latihan menahan keinginannya untuk makan aneka ragam hidangan, sebanyak-banyaknya, atau sepuas-puasnya. Biasanya, bagi yang tidak berhasil, kesadaran menahan keinginan baru muncul saat perut kekenyangan. Telat.
Latihan menahan pada saat berbuka puasa bisa diawali dengan kembali memahami hakikat Ifthar. Akar kata Ifthar adalah Fathara-yafthuru-fathr. Arti dasarnya adalah Qatha’a (memotong). Juga Syaqqa (membelah; merobek). Memotong atau membelah waktu puasa. Dalam posisi yang sama sebagai tindakan men-tidak-kan, Ifthar di Negeri ini lebih akrab dengan makna ‘membatalkan’. Rasulullah menauladankan kita, untuk membatalkan puasa tidak perlu dengan aneka ragam makanan minuman, cukup hanya dengan segelas air dan tiga buah kurma. Toh hanya dengan seteguk air, puasa itu sudah batal.
Dengan proses belajar-ujian-evaluasi dari adzan subuh ke adzan zubuh berikutnya setiap hari tadi, harapannya, usai madrasah Ramadlan sebulan penuh, “siswa siswi” pendidikan ngêmpêt ini akan siap menjalani “dunia kerja” sesungguhnya selama sisa 11 bulan dalam setahun. Kerja menahan keinginan-keinginan diri yang dimulai dengan menahan keinginan makan dan minum yang sangat primer. Bila lolos tahap ini, berikutnya akan mampu menahan keinginan-keinginan sekunder dan tersier. Dan pada akhirnya akan mengikuti rel mekanisme awal: memenuhi “kebutuhan” hidup.
Keinginan yang Menyamar
Peradaban saat ini memiliki sebuah sistem mekanisme, yang memacu manusia dari waktu ke waktu, untuk melampiaskan hanya memenuhi ‘keinginan’ diri dalam hidup. Manusia dibuat lupa jika tubuh dan jiwa cukup dipenuhi ‘kebutuhan’ hidupnya. Lupa jika belum butuh mobil, cukup dengan mengendari sepeda motor. Lupa bila belum butuh sepeda motor, cukup naik sepeda onthel. Lupa kalau belum butuh sepeda onthel, ya cukup jalan kaki. Manusia dipacu untuk berbudaya konsumerisme.
Iklan-iklan yang sangat gencar mengepung, memacu dan memaksa manusia memenuhi keinginan dirinya. Manusia menjadi merasa berat dihimpit beban hidup. Katanya biaya kebutuhan hidup semakin tinggi. Tapi sejatinya setelah dipikir-pikir, yang tinggi adalah biaya keinginan hidupnya.
Ia mengambil kredit sepeda motor, padahal kebutuhan hidup sehari-harinya cukup dengan bersepeda onthel. Satu pasang sepatu cukup untuk membuat kakinya aman dan nyaman saat bekerja, tetapi ia beli dan beli hingga sepuluh pasang sepatu memenuhi rak sepatu. Tubuhnya sebenarnya cukup dengan asupan makanan dengan tiga enthong nasi, sepotong tahu dan tempe, dan sayur secukupnya. Tapi hasrat lidah mendorongnya makan enam enthong nasi, dipenuhi sayur sepiring, tahu tempe tambah telur dan ayam.
Pada akhirnya, manusia kesulitan ngêmpêt, karena apa yang ia pandang sebagai kebutuhan, sebenarnya adalah keinginan yang menyamar. Konsumerisme mengaburkan pandangan dan mensugestikan dirinya bahwa sesuatu yang ia ingin adalah sesuatu yang ia butuh. Tahap celakanya, kemudian manusia akan menganggap bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dari benda, tepatnya barang-barang yang dibelinya.
Maka, sebenarnya melalui puasa di bulan Ramadlan yang sudah dilalui separuh jalan tahun ini, adalah kesempatan berlatih sungguh-sungguh agar dapat dengan jernih melihat mana yang keinginan, dan mana yang kebutuhan. Mengerti bedanya What you want dengan What you need dalam kehidupan 11 bulan ke depan. Walaupun latihan ini tidak mudah, karena konsumerisme sebagai anak kapitalisme sudah menunggangi puasa Ramadlan.
Omset bisnis kuliner justru meningkat tajam saat Ramadlan. Lihatlah pesta jajanan untuk berbuka puasa yang melimpah ruah. Saatnya mengambil untung sebesar-besarnya dari bisnis pakaian, kue lebaran, dan transportasi. Momentum Ramadlan pun hanya sebatas festival sebagai media jualan. Jualan di televisi oleh selebriti dan ustadz. Semua hanya jualan dan jualan. Hanya untung dan untung. Mereka yang berpikiran dangkal dan tidak sadar menjadi pemacu orang-orang melampiaskan keinginan.
Keinginan yang menyamar melupakan manusia dari hakikat puasa. Manusia melanggar hakikat itu bahkan menginjak-injaknya. Tidak bisa ngêmpêt jualan cari untung sebanyak-banyaknya. Dalihnya adalah mumpung Ramadlan. Dan bila sudah memperolehnya, ia anggap Rizki.
Mungkin akan ada suatu masa, di kala manusia bisa menahan keinginannya dan membatasinya hanya kepada yang ia butuhkan. Sebuah peradaban yang manusianya merasa cukup dengan kebutuhannya. Peradaban yang sebenarnya mampu menutup pintu kapitalisme. Yang kesemua juknis dan juklaknya lengkap dalam Islam. Manusia tinggal melakukannya saja dengan benar. Khususnya bagi manusia yang mau berpikir menggunakan akal sehatnya. Manusia yang berperadaban ngêmpêt.