Penyamaran Sang Wali
Kalau ada orang tersenyum-senyum sendiri di tengah orang banyak, tanpa ada kaitan sosialnya, tentulah ia orang gila, atau sekurang-kurangnya orang yang melamun tapi tidak memperhitungkan ruang dan waktunya.
Markesot tersenyum kecut dan merasa malu sendiri. Tapi ini kan di tepi hutan. Tidak ada orang lain. Ada sejumlah makhluk yang bukan manusia, tapi kan Markesot tidak terikat secara budaya dengan mereka.
“Di tepi sungai ini dulu seorang Wali agung menyamar”, Markesot bergumam kepada dirinya sendiri lagi.
“Ia pura-pura menjadi pembegal di jalanan. Berlagak menjadi orang jahat. Tujuannya adalah agar didatangi oleh orang yang tidak jahat. Beberapa bulan, dengan sangat tersiksa hatinya, ia menyamar sebagai perampok yang mengorbankan siapa saja, terutama yang kaya, yang lewat di jalanan itu”
***
Sampai akhirnya segala puji bagi Tuhan yang maha mengetahui segala sesuatu, meskipun rahasia yang disimpan di lubuk hati manusia.
Datang seorang Wali yang lain yang tidak hanya agung namun juga sakti. Si Wali sakti menghajarnya dan menaklukkannya dalam waktu yang sangat singkat. Karena memang si penyamar ini tidak mengerahkan kekuatan dan kesaktian apapun kepada Wali Sakti yang sudah dinanti-nantikannya untuk datang”.
Sang Wali sakti menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Berkata kepada si penyamar bahwa ia punya peluang untuk dimaafkan, apabila sanggup menjaga tongkat itu, memegangnya tanpa jeda sejenak pun selama satu tahun penuh. Sang penyamar membungkukkan badannya dalam-dalam menyatakan kesanggupannya demi supaya dimaafkan. Kemudian si Wali sakti pergi, dan si penyamar berdiri, memegangi tongkat itu, tidak bergerak melewati malam dan siang”.
Kenapa Markesot menyebut Wali yang pertama itu penyamar? Bukankah berabad-abad semua manusia menyebutnya Berandal atau Begal?
Enam abad waktu belum cukup untuk membuat manusia berpikir bahwa sang Wali itu putra pejabat kaya. Untuk apa ia membegal pedagang-pedagang kecil di jalanan?
Kalau penumpukan harta kekayaan adalah tujuan hidupnya, ia bukan hanya sudah kaya, tetapi bahkan sanggup, kalau mau: merampok harta-harta simpanan di Istana Kerajaan dan Kesultanan.
Keris pusaka utama Kerajaan pernah dicuri oleh utusan seorang Raja dari timur tanpa para punggawa Kerajaan itu sanggup mempertahankannya. Wali Penyamar inilah yang kemudian dimintai tolong mengambilnya kembali dari Keraton ujung timur pulau. Ia menyamar sebagai Empu Keris di wilayah Kerajaan timur itu, sampai akhirnya Rajanya tertarik dan meminta dibikinkan pusaka-pusaka.
Wali penyamar bisa keluar masuk Istana dengan bebas dan dipercaya. Sampai kemudian ia membuat Keris yang persis seperti Keris yang dicuri itu, kemudian menukarnya, tanpa sepengetahuan Raja. Dan membawa kembali Keris aslinya ke Kerajaan yang kehilangan Keris itu.
***
Artinya, kalau si Wali Penyamar punya ambisi kekuasaan dan harta, sesungguhnya dengan mudah ia mengambil alih Singgasana Raja di Kerajaan yang manapun dan Kesultanan manapun.
Tidak dengan perjuangan berat. Tinggal seperti orang memetik buah kelapa dengan menyuruh pohon kepala itu membungkukkan badannya sehingga buah kelapa bisa dipetiknya tanpa memanjat pohonnya.
Jadi untuk apa dia repot-repot menjadi begal mengganggu dan menyengsarakan pedagang-pedagang kecil yang lalu lalang di bulak-bulak sepi, sedangkan ia — ketika Allah menyuruhnya — bisa mengubah pasir menjadi beras, atau beras menjadi pasir?
Juga kalau tujuannya membegal adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia sakti dan tak terkalahkan, kenapa sasarannya adalah orang-orang kecil di jalanan? Kenapa ia tidak ambil alih saja Singgana Kerajaan, kemudian membuat semua prajurit penjaga Raja lumpuh dan pedang tombak kerisnya berjatuhan ke tanah?
Tidak. Dan bukan. Ia bukan pembegal. Ia bukan Brandal, sebagaimana sejarah menjulukinya.
“Sang Wali agung itu mendapat perintah untuk menyelamatkan sebuah Kerajaan besar yang pernah menguasai lebih sepertiga bulatan bumi”
“Kerajaan itu kemudian perlahan-lahan menuju proses penghancuran yang disebabkan oleh pertengkaran di dalam Kerajaannya sendiri, maupun oleh datangnya secara besar-besaran pasukan-pasukan penyamun dari barat”
“Sambil menata proses penyelamatan Kerajaan itu, termasuk tindakan besar-besaran untuk menyembunyikan harta kekayaannya di bawah tanah maupun di belakang codes, sandi-sandi atau passwords, yang ditulis secara samar di sejumlah Kitab — pada saat yang sama Wali penyamar juga merintis pendirian Kerajaan baru yang namanya bukan lagi Kerajaan, yang letaknya lebih mendekat ke lautan, yang segala sesuatunya diperbarui, dari sistem nilai kealam-semestaannya hingga konstitusi dan kebudayaannya”
***
“Untuk melaksanakan tugas sejarah yang sangat berat, yang kadarnya sampai tingkat bedhol-nagoro, sang Wali penyamar merasa ia hanya sanggup apabila hati dan mentalnya dimantapkan oleh tangannya yang memegang sebuah tongkat, yang saat itu berada di tangan sang Wali sakti”
“Tidak ada tongkat sakti. Yang ada adalah Allah Yang Maha Sakti. Dan terserah Ia akan meminjamkan kesaktian-Nya secipratan kepada tongkat Nabi Musa, Kiai Kolomunyengnya Sunan Ampel, Kiai Sangkelatnya Majapahit hingga Karebet, atau kepada pohon randu dan daun kelor”
“Wali Penyamar itu merasa mantap berjalan dan berjuang kalau di tangannya ia genggam ujung nasab energi yang berusia ratusan tahun. Haul, quwwah dan sulthan mutlak hanya berasal-usul dari Allah, tapi sekurang-kurangnya ia merasa lebih yakin pada dirinya jika berada di area dan alur tiga hembusan hawa Allah itu”
“Akan tetapi ia merasa mustahil mendapatkan tongkat itu apabila ditempuh dengan cara yang wajar, misalnya memintanya kepada Wali sakti. Maka akhirnya ia mencoba cara itu: menyamar jadi perampok. Dan didapatkannyalah tongkat itu”
“Tuhan memperkenankannya untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas”
“Namun betapa sedih hatinya, sesudah sekitar sedikit lebih dari 80 tahun, bangunan baru yang ia dirikan dirusak orang secara semena-mena. Tidak hanya oleh tahap-tahap penjajahan dari barat, tapi juga oleh penggerogotan dari dalam”
“Kerusakan itu berlangsung abad demi abad, dan semakin hancur di abad mutakhir. Tahun-tahun ini, bulan-bulan ini, hari-hari ini, yakni bersamaan dengan tatkala Markesot bertugas pra-Patangpuluhan, kemudian saat-Patangpuluhan maupun pasca-Patangpuluhan — adalah puncak kehancurannya”
Maka Markesot dengan ge-er pergi berjalan kaki menguak cakrawala. Seolah-olah ia ada faktor penting dalam persoalan itu. Padahal sangat mungkin Markesot bukanlah faktor.