Penyakit Yang Membanggakan
Ta’qid“Penyakit-penyakit itu namanya kesempitan, kedangkalan, kesepenggalan, kesementaraan, kepadatan, kekerdilan, dan bermacam-macam lagi yang sefamili”
Masyarakat di mana Markesot bertugas, tiga era silam, hampir sepenuhnya sudah ditenggelamkan oleh sejumlah penyakit yang mereka tidak pernah menyebutnya sebagai penyakit. Apalagi merasakannya. Mereka bahkan sangat menikmati, membanggakan dan mempertahankan mati-matian penyakit-penyakit yang mereka derita.
Dan sekarang ternyata semakin parah. Generasi pertama yang dikenai epidemic penyakit-penyakit itu masih berpikir dan melakukan sejumlah antisipasi atau perlawanan, dengan cara berpikir yang membedakan dan merentang jarak antara penyakit itu dengan gagasan-gagasan hidup sehat.
Generasi berikutnya sejak kecil sudah terbiasa mengidap penyakit itu, mampu mengantisipasinya, sanggup beradaptasi dan bahkan bisa menikmatinya – sehingga perlawanannya menurun, tidak sebagaimana yang terjadi pada generasi sebelumnya.
Generasi berikutnya lagi sudah ajur-ajer dengan penyakit-penyakit itu. Sudah menyatu. Sudah beranggapan bahwa kehidupan di dunia ini memang begitu. Mereka tidak memiliki lagi polarisasi pemikiran antara sehat dengan sakit. Yang sebenarnya penyakit itu mereka banggakan sebagai kesehatan.
Kalau ada siapa-siapa yang mencoba memberitahukan kepada mereka bahwa itu adalah penyakit, mereka tersinggung. Kemudian marah. Lantas menuduh bahwa yang memberitahukan itu adalah provokator, golongan sesat, kelompok sempalan, dan akhirnya: kafir, teroris. Mereka mengizinkan, gembira dan merestui para penyebar penyakit menghukum para teroris itu, bahkan didorong untuk memberantasnya sampai tuntas, membunuh dan memusnahkan mereka semua.
Penyakit-penyakit itu namanya kesempitan, kedangkalan, kesepenggalan, kesementaraan, kepadatan, kekerdilan, dan bermacam-macam lagi yang sefamili.
Para penyebar penyakit global menyuntikkan cairan, arus magnetik maupun kelas-kelas pendidikan, media, kursus-kursus, forum pencerahan, makalah, jurnal dan berbagai macam bentuk lagi — sehingga Bangsa Narapidana itu tidak mengenal kata ‘kesempitan’, sebab diperkenalkan sebagai ‘keluasan’.
Demikian pun kemunduran diinformasikan sebagai kemajuan.
Kehancuran di-iman-kan sebagai sukses.
Kedunguan diyakinkan sebagai kecanggihan.
Kebodohan dilabeli kepandaian.
Kehinaan dikibarkan sebagai kemuliaan.
Dunia sebagai akhirat.
Neraka sebagai sorga.
Bahkan lebih membumi lagi: hewan sebagai manusia.
Setan dilantik sebagai Khalifah.
Kemunafikan disebut moderat.
Perampokan disamarkan menjadi Demokrasi.
Cuci otak diperkenalkan sebagai Universitas.
Percetakan disebut Sekolahan.
Sekularisme disubversikan ke dalam terapan Agama.
Keserakahan disebut liberalisme.
Fir’aunisme diganti nama egalitarianisme.
Egosentrisme dibungkus kemerdekaan berbicara.
Keteguhan iman dikasih merk keras kepala.
Pemeliharaan martabat disebut konservatisme.
Berpikir mendasar dikutuk sebagai fundamentalisme.
Ayam berlaku sebagai ayam dikatakan rasisme.
Itik tak mau jadi bebek dibilang diskriminasi.
Kepatuhan kepada sunnah diklaim sempalan.
Mencari kedalaman hidup dianggap kesesatan.
Kesesatan disebut pengetahuan.
Kecurangan diajarkan sebagai ilmu.
Tipu muslihat dibukukan sebagai hukum.
Keserakahan disebut kesejahteraan.
Kerakusan dihadirkan sebagai kemakmuran.
Keadilan dijadikan alat utama penipuan.
Buruh dilantik sebagai tukang perintah.
Perusahaan diumumkan sebagai Negara….
Untunglah Markesot bukan penulis. Sebab akan habis kertasnya jika harus meneruskan kalimat-kalimat itu untuk dituliskan. Lebih untung lagi Markesot sangat tahan berpuasa untuk tidak semau-maunya mengungkapkan hal itu. Bisa-bisa ia dikeroyok oleh orang sekampung.