Pengawalan Genting Untuk KiaiKanjeng
Paska Reformasi Mei 1998, keadaan sosial di masyarakat khususnya di pulau Jawa tidak sepenuhnya langsung stabil. Beberapa isu meruyak seiring dengan perubahan struktur dan suasana politik Indonesia saat itu yang baru saja mengalami suatu titik krusial. Peristiwanya berlangsung di tingkat lokal-bawah, meskipun mungkin mudah diyakini merupakan proyeksi dari konstelasi politik nasional. Tetapi yang pasti masyarakat mengalami langsung pengaruh dari instabilitas itu. Salah satunya adalah isu atau huru-hara santet dan ninja di Banyuwangi pada akhir 1998.
Entah mula bukanya seperti apa, pada perkembangannya masyarakat dicekam rasa khawatir, cemas, dan takut, terutama kekhawatiran akan keselamatan para kiai atau tokoh agama yang dalam ‘narasi-isu’ itu diberitakan sebagai target dari pembunuhan oleh ninja yang bisa menyerang sekonyong-konyong. Walaupun di sisi lain, pada awalnya yang merupakan target adalah dukun santet. Tetapi dalam perkembngannya telah mengalami pembiasan sedemikian rupa. Situasi ini tidak hanya mengitar di Banyuwangi belaka, melainkan meluas sampai ke daerah-daerah lain, termasuk di Jawa Tengah.
Akibatnya, masyarakat diliputi rasa tak aman. Orang-orang lalu bersiaga mengantisipasi kemungkinan daerahnya klebon ninja. Tak mengherankan bila orang-orang yang tak dikenal lantas layak dicurigai, dan bila perlu segera diinterogasi. Kewaspadaan meningkat. Santri-santri pesantren juga berjaga-jaga. Pun jamaah dan kiai di kampung-kampung tak ketinggalan cancut taliwondo.
Dan apa yang dialami KiaiKanjeng saat itu? Catatlah baik-baik. KiaiKanjeng harus memenuhi undangan pengajian di kabupaten Banyuwangi, di pusat isu itu.
Kalau kita adalah sebuah kelompok musik profesional-industrial, barangkali akan pikir-pikir dua kali untuk mengiyakan undangan di tempat yang belum bisa dipastikan aman. Atau kalau sudah telanjur deal, mungkin ada ditinjau atau dinegosiasi kembali untuk ditunda atau dibatalkan dengan segala risikonya. Bila kita seorang investor, besar kemungkinan kita mengurungkan rencana untuk investasi di wilayah yang suasananya belum aman dan stabil.
Tetapi, KiaiKanjeng tidak tergolong dari kedua golongan di atas, dan tetap positif berangkat ke sana. Ke Banyuwangi. Saat itu masih merupakan era MiniKanjeng, dengan formasi tujuh player plus Cak Nun. Cak Nun sudah berangkat terlebih dahulu sesuai rangkaian-rangkaian loncat dari satu kota ke kota lain, dan cukup janjian dengan KiaiKanjeng bertemu di lokasi. KiaiKanjeng menempuh perjalanan darat dengan colt L300 seperti biasanya. Menyusuri kota-kota yang terbentang dari Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sampai di ujung Jawa Timur, dan dalam situasi yang sekali lagi digelayuti bayang-bayang ketidakamanan.
Dengan disopiri Mas Isbet, colt L300 yang membawa Pak Nevi, Pak Jokam, Pak Is, Pak Bobiet, dan kawan-kawan meluncur ke Banyuwangi menempuh jarak tak kurang dari 566 kilometer. Kala itu beliau-beliau masih segar bugar. Perjalanan sejauh itu, enteng saja mereka lakoni. Apalagi, ini dalam rangka keperluan sosial kemasyarakatan, mendampingi Cak Nun yang sejak reformasi itu lebih memilih meninggalkan pusat kekuasaan dan keliling lebih luas lagi ke lapisan-lapisan masyarakat, bershalawat dan melakukan pendidikan langsung kepada publik atau masyarakat.
Sampailah KiaiKanjeng masuk di kabupaten Banyuwangi. Mereka perlu sejenak istirahat dan mencari warung buat mengisi perut yang sudah saatnya diisi. Saat mereka sudah merasa cukup untuk makan, dan bersiap melanjutkan perjalanan menuju lokasi yang dituju, mereka sempat berbincang-bincang dengan pemilik warung itu. Oleh pemilik warung itu KiaiKanjeng dikasih tahu bahwa kalau ke sana mesti hati-hati, karena memang situasi sedang penuh siaga. Ada sweeping sepertinya. Mobil atau kendaraan dari luar kota mungkin akan dicegat.
KiaiKanjeng sudah bulat memenuhi undangan, apalagi perjalanan sudah sejauh itu, dan tak lama lagi akan tiba. Mungkin masih harus melewati beberapa daerah atau desa di Kabupaten ini. Pak Bobiet mengambil alih posisi sopir, karena Mas Isbet perlu istirahat untuk menghemat tenaga buat perjalanan baliknya.
Dalam hitungan belum lama dari saat mancal gas, Pak Bobiet harus segera menghentikan laju mobil. Perjalanan terhenti, karena tiba-tiba serombongan orang menghadang. Bambu panjang langsung melintang tepat di depan mobil. Orang-orang yang mengenakan tutup kepala itu, dan menyisakan hanya kedua matanya, mengelilingi mobil KiaiKanjeng. Di tangan mereka tergenggam senjata tajam. Ternyata benar informasi pemilik warung tadi. Sejenak suasana berubah agak menegangkan, sekalipun Pak Bobiet mencoba untuk biasa-biasa saja. Toh, pikirnya, mereka datang ke sini bukan mau apa-apa, selain untuk niat baik melakukan kebaikan.
Salah seorang dari mereka, mungkin komandannya, mendekat ke Pak Bobiet. Menanyakan siapa dan hendak ke mana.
“Dari Jogja, itu lihat saja plat AB,” kata Pak Bobiet menjelaskan.
“Mau ke mana?”
“Ke Desa…,” jawab Pak Bobiet menyebut nama desa setelah agak lupa dia akan nama desa tersebut.
“Oh yang nanti mau ada pengajiannya Cak Nun ya,” tiba-tiba penghadang itu mendapat ilham dan ingatan.
“Iya, betul. Kami rombongannya Cak Nun.”
“Sebentar sebentar…,” kata orang itu, dan sembari berlari meninggalkan tempat dan membiarkan sebagian kawan-kawannya masih mengitari mobil KiaiKanjeng.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali. Kali ini sudah dalam posisi mengendarai motor. Bambu melintang sudah ditarik. Mengetahui bahwa orang-orang ini adalah rombongan Cak Nun, akhirnya mereka justru membantu mengawal perjalanan KiaiKanjeng menuju desa itu. Mereka konvoi di depan mobil KiaiKanjeng. KiaiKanjeng berada di belakangnya mengikuti pergerakan mereka. Setiap kali tiba di beberapa titik yang juga ada sweeping, mereka tak diberhentikan karena sudah dikawal orang-orang atau pemuda sesama mereka yang sama-sama bersiaga menjaga keadaan.
KiaiKanjeng tiba di lokasi pengajian dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Mereka barusan mengalami dan melewati situasi kritis alias gawat. Kalau-kalau di antara penyegat itu tak ada yang nyantol dengan nama Cak Nun atau pengajian yang akan dihadirinya, mungkin ceritanya akan lain. Sebuah situasi kritis yang mungkin tak ingin dialami siapapun oleh kebanyakan orang, kelompok musik, atau para pengisi acara. Namun, KiaiKanjeng mau menghadapi, mengalami, dan melewati situasi itu.
Boleh jadi lantaran KiaiKanjeng memosisikan dan menempatkan diri untuk — bersama Cak Nun — bersetia melangkahkan kaki melayani permintaan masyarakat, ada saatnya pada situasi genting masyarakat sendiri yang merasa perlu konvoi mengawal dan mengantar KiaiKanjeng ke lokasi. Sesuatu yang menjadi satu di antara peristiwa-peristiwa lain yang menggambarkan bahwa mereka dekat dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng.
(Yk, 7 April 2016)