Pendidikan Berpikir Asosiatif dan Kontekstual
Di tengah parade berpikir yang kacau dan saling membenturkan diri di pentas nasional Indonesia hari-hari ini yang ternyata bukan karena harus berbenturan melainkan ada kehendak kekuatan di baliknya yang ingin menguasai politik dan menjarah tanah air Indonesia, Cak Nun tak ingin melewatkan kesempatan Sinau Bareng ini tanpa membekali anak-anak SMANIK supaya tidak terseret dalam tak adanya ukuran dan keseimbangan dalam berpikir dan bertindak.
Dua belas siswa diminta naik dan dibagi dalam empat kelompok dan masing–masing diberi tugas untuk mendiskusikan dua hal. Kelompok satu dan dua mendiskusikan apa yang mereka rasakan, lihat, dan pikirkan tentang hal-hal yang berkonteks negara, dan negara Indonesia seperti apa yang mereka inginkan. Sedangkan kelompok tiga dan empat diminta mendiskusikan apa yang mereka amati, rasakan, dan temukan berkaitan dengan situasi keislaman di Indonesia. Mereka masing-masing diminta presentasi. Presentasi inilah yang menjadi jalan Cak Nun merespons dan menarik garis-garis ilmu dan garis-garis bawah. Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kepala sekolah dan para guru melihat bagaimana anak-a anak memiliki kritisisme, kepekaan, kemampuan merasakan sesuatu.
Salah satu kelompok mengemukakan bahwa di antara persoalan krusial di Indonesia adalah korupsi sejak dini. Sebuah contoh diberikan. Waktu ujian sekolah, bahkan sejak sekolah dasar, ada yang namanya nyontek. Diminta belanja oleh orangtua, tapi mengambil keuntungan dengan mengatakan harga barangnya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Bagi Cak Nun ini bukan hal sederhana atau klise bahwa mereka mengungkapkan seperti itu. Tetapi tanda bahwa anak-anak ini punya kemampuan asosiatif, struktural, dan kontekstual. Mereka menemukan hakikat korupsi yaitu terletak pada ketidakjujuran.
Masih banyak contoh-contoh lain yang digarisbawahi Cak Nun dari ungkapan dan presentasi empat kelompok tadi. Anak-anak menyampaikan presentasinya dengan baik, tidak grogi, dan berangkat dari pengolahan pemikiran mereka saat berdiskusi. Sesungguhnya Cak Nun tidak berharap anak-anak ini sampai pada detail atau bobot sedemikian rupa, tetapi jika mereka sampai pada atau menyentuh tingkat itu, berarti ada harapan masa depan Indonesia yang lebih baik pada diri mereka. Cak Nun juga mengingatkan mereka bahwa yang terpenting dari apa yang mereka omongkan adalah pada waktu-waktu mendatang, misal lima tahuh lagi, apakah mereka masih istiqamah dengan kata-kata yang mereka ucapkanitu. Maka sejak sekarang mereka diajak melatih diri untuk punya konsistensi dan keseimbangan dalam berpikir dan berpendapat terhadap segala sesuatu. (hm/adn)