Pemimpin yang Ditakuti dan Malati
Ketenangan adalah suasana yang terasakan. Bukan saja pada alam. Melainkan pada ekspresi masyarakat maupun Cak Nun. Hal-hal yang menjadi masalah hidup yang turut melatarbelakangi acara ini, diolah dan dipahami dengan mudah dan ringan. Dipahami sebagaimana orang tangguh dan orang berjiwa besar memandang masalah. Ketua panitia menyampaikan gagasan acara ini dengan ringkas. Pun demikian pula dengan Pak Lurah. Ringkas satu dua poin berkaitan dengan iman dan budaya. Pak Lurah senang saat KiaiKanjeng membawakan lagu Kolam Susu dan Pak Tani Koes Plus.
Dalam ketenangan itu, ilmu, wawasan, dan pesan-pesan Cak Nun adalah akibat dari responsi dan pembahasan. Namun yang dominan dan kukuh adalah ketenangan, kematangan, dan kebahagiaan itu sendiri pada diri masyarakat melalui pertemuan dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Kebahagiaan itu juga terpancar dari para Bapak-bapak pemuka masyarakat yang menemani Cak Nun di panggung.
Banyak yang telah diresponkan Cak Nun atas harapan yang disampaikan Pak Lurah dan Pak Wakil Bupati Temanggung. Dari tiga makna kesulitan hidup, salah pendekatan manusia modern mengenai kesehatan dan kedokteran, faktor hidayah Allah dalam berlangsung tidaknya sesuatu, politik pertanian yang tidak sungguh-sungguh di mana tak ada polisi ekonomi yang menindak broker atau makelar yang mengendalikan harga, kekaguman kepada Allah sebagai cara agar bahagia, manajemen Nabi Sulaiman, keseimbangan antara sedih dan senang, dan sikap-sikap lain, termasuk bagaimana Cak Nun tidak mengenang masa-masa sulit hidupnya sebagai penderitaan.
Jawaban atas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kepemimpinan yang sejati dan sungguh-sungguh. Tidak perlu teori kepemimpinan yang bagaimana-bagaimana, cukuplah pemimpin dengan dua kriteria saja: ditakuti dan malati. Ditakuti dalam arti ditaati karena kebenaran sikap dan kebijakannya, dan malati atau menyebabkan datangnya akibat atau hukuman dari Allah karena rakyatnya tidak mengikuti pemimpinnya. Cak Nun menegaskan, tak bisa berharap dan mencari solusi dari dunia untuk mengatasi masalah, melainkan berharap langsung kepada Allah.
Oleh karena itu, pertemuan dengan masyarakat seperti itu hampir tiap malam di pelbagai pelosok desa dan daerah oleh Cak Nun diniatkan sebagai langkah untuk menghimpun energi rakyat atau umat, sehingga yang macam-macam akan berhadapan dengan cintanya Allah kepada rakyat. Pertemuan-pertemuan seperti ini adalah niat, ikhtiar, dan doa agar setiap yang hadir menjadi kekasih-kekasih Allah. Dan Allah telah berjanji akan mewariskan kekuatan kepada orang-orang yang dilemahkan.
Dengan filosofi yang dijelaskan, jamaah diajak bersama melantunkan Ilir-ilir dan Tombo Ati. Tembang yang menjadikan suasana makin khusyuk, sunyi dalam dekapan rahasia Allah, dan mematri hati jamaah kepada Allah Swt. Pak Kiai dari desa ini juga telah lebih mendetailkan sejarah dan kisah tiga sesepuh yang sedang dihauli ini. Terutama mengenai Haji Kantong yang disebutnya sebagai kiai hakikat. Sejumlah poin lantas Cak Nun tarik dari situ. Satu di antaranya, manusia modern seringkali mbegegeg dengan kebenaran yang diyakini. Padahal kebenaran itu adalah apabila kita diridhoi oleh Allah. Benar seperti apapun yang kita yakini, kalau tidak mendatangkan ridho Allah yang tidak menjadi kebenaran. Kurang-kurang sempurna sedikit asal hati ikhlas dan kuat nyantol ke Allah dan mendatangkan ridho Allah ya itulah kebenaran.
Masih banyak petikan-petikan ilmu yang dapat dieloborasi, tetapi karena waktu sudah menginjak pukul 00.35, Ngaji Bareng ini segera diakhiri dengan shalawat ‘Indal Qiyam yang dimintakan Cak Nun untuk dipimpin langsung oleh Pak Kiai. Semua hadirin berdiri dan bersatu padu memanjatkan doa kepada Allah dengan jalan gondelan cinta kepada Kanjeng Nabi. Pulang dari sini, jamaah membawa pengalaman kesatuan cinta, keindahan, dan butir-butir ilmu seperti filosofi sandang, pangan, papan; negara koperasi; pentingnya dewan sesepuh; manajemen pacul, pedang, dan keris; serta urutan nilai pada ajaran leluhur desa ini: ngibadah, ngaji, nyambut gawe.
Lantunan shalawat ‘Indal Qiyam sangat kuat menggema, membawa segenap doa membubung ke langit menembus dingin bumi Losari. (hm/adn)