Pemimpin Sebab dan Akibat
Tahqiq“Sementara manusia terperangkap oleh batas kesempitan pengetahuannya sendiri tentang dirinya maupun tentang alam semesta dan kehidupan. Manusia mengira bahwa hanya ia yang bisa berkomunikasi, berdialog, dan memadamkan api”
Allah menyindir manusia, dan sampai hari ini tidak ada tanda-tanda pemahaman atau perilaku yang mencerminkan kesadaran bahwa mereka merasa tersindir: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh”.
Di dalam praktik kebudayaan dan sejarah di muka bumi, manusia melakukan kebodohan dan ketidakpekaan atas sindiran itu. Tak ada yang menawari mereka untuk memanggul amanat pun mereka malah mencalon-calonkan diri agar disuruh memanggul amanat. Mengajukan dirinya kepada masyarakatnya, menyodor-nyodorkan wajahnya, dengan terlebih dulu dihiasi, ditopengi, dibagus-baguskan, diwangi-wangikan, agar masyarakat mempercayainya dan memilihnya untuk dilantik menjadi pemanggul amanat.
Junit berpikir keras menangkap, memahami, dan merenungi uraian Bakrodin Pakdenya.
“Jadi langit, bumi, dan gunung-gunung memang sudah selalu berada dalam kesatuan dengan Tuhan ya Pakde”, Junit merespons, “sedangkan tawaran menjadi Khalifah itu justru pekerjaan yang dilakukan harus dengan melepaskan diri dari kemenyatuan itu, serta perjuangan sangat tidak mudah untuk berproses mempersatukan diri kembali dengan Tuhan. Maka mereka pasti tidak mau menerima tawaran itu. Karena menurut Tuhan sendiri menerima tawaran kekhalifahan adalah kedhaliman dan kebodohan atas diri sendiri”
“Begitu nalarnya, Junit”, kata Brakodin.
“Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, Pakde”
“Apa?”
“Bagaimana menjelaskan bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung punya kemungkinan untuk ditawari amanat, kalau melihat takdir sistem kemakhlukan mereka yang tidak bisa saya bayangkan bisa diajak berdialog atau tawar-menawar….”
Tiba-tiba terdengar suara Tarmihim tertawa dari tempat agak jauh. Junit menoleh tapi tidak mengerti kenapa beliau tertawa dan apa yang ditertawakan.
“Apakah pertanyaan saya lucu, Pakde?”, tanya Junit.
“Nggaaak”, jawab Tarmihim, “di zaman Patangpuluhan dulu hal seperti itu judulnya mentang-mentang….”
Junit makin tidak paham.
Malah Sundusin menyusul tertawa dan berkata: “Mentang-mentang yang biasa berdialog itu manusia, lantas berkesimpulan bahwa langit bumi gunung tidak bisa berkomunikasi”
“Mentang-mentang manusia terbiasa berdialog dengan kata-kata, sedangkan langit bumi gunung tidak pernah berkata-kata, maka disimpulkan langit bumi gunung tidak bisa berdialog”, ada yang meneruskan di sudut yang lain, entah Pakde siapa itu namanya.
“Mentang-mentang manusia diberi akal dan dengan akal itu manusia melakukan tawar-menawar, maka dianggapnya langit bumi gunung tidak bisa tawar-menawar”, entah suara siapa lagi.
“Mentang-mentang manusia menyebut dirinya makhluk hidup, sementara langit bumi gunung itu makhluk mati, maka dikira langit bumi gunung tidak bisa melakukan yang dilakukan oleh manusia”
“Mentang-mentang syarat kehidupan manusia adalah adanya oksigen, lantas dikonklusikan bahwa kalau tidak ada oksigen maka juga tak ada kehidupan”
“Mentang-mentang api itu bisa membakar, maka disangka semua apa saja yang bisa dibakar oleh api pasti terbakar….”
Brakodin kemudian bercerita tentang seekor semut yang datang ke area di mana Namrud mengikat Nabi Ibrahim di tiang kemudian dinyalakan api di bawah dan sekitarnya. Semut itu membawa setetes air yang volume tetesannya mungkin hanya sepersepuluh badan semut. Sehingga seekor burung yang sedang melintas bertanya untuk apa semut membawa air. Semut menjawab untuk memadamkan api yang membakar Ibrahim. Si burung mentertawakan, mana mungkin air setetes sanggup memadamkan api yang berkobar sebegitu besarnya.
Brakodin menyatakan apa yang dulu pernah diterangkan oleh Markesot. Bahwa Tuhan tidak menagih kepada semut agar ia memadamkan api. Yang ditunggu oleh Tuhan adalah pada sisi mana semut meletakkan diri. Semut itu berada pada sisi pembelaan kepada Ibrahim, ataukah sebaliknya. Jadi semut yang berjalan membawa tetesan air itu tidak perlu diurut logikanya sampai ke padamnya api. Yang dilakukan oleh semut itu adalah persembahan kepada Tuhan, bukti ibadah kepada-Nya, syahadat terhadap kebenaran.
“Adapun yang memadamkan api”, kata Brakodin, “menurut Cak Sot dulu seingat saya, bukanlah air, hembusan angin, atau apapun. Yang memadamkan api adalah Allah, dengan atau tanpa air. Yang membuat Nabi Ibrahim tidak terbakar hanyalah Allah, dengan cara yang terserah-serah Ia”
Brakodin kemudian juga menyebutkan bahwa bukan hanya semut yang membela kebenaran Ibrahim. Tapi juga gunung, lautan, dan para Malaikat. Sebagaimana mereka juga menawarkan pembelaan kepada Nabi Muhammad tatkala dilukai lehernya oleh pasukan Abu Jahal. Sementara manusia terperangkap oleh batas kesempitan pengetahuannya sendiri tentang dirinya maupun tentang alam semesta dan kehidupan. Manusia mengira bahwa hanya ia yang bisa berkomunikasi, berdialog, dan memadamkan api.