CakNun.com
Daur 1223

Pemimpin Mengasuh dan Takabbur

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Ta’qid“Rasa diri besar adalah dosa komplet, kesalahan yang lengkap: intelektual, mental, spiritual, manajemen dan apa saja. Sesat pikir, improporsi penempatan diri dalam peta hakikat hidup”

Semua yang hadir merasa lega dan tidak menemukan hal-hal yang dikhawatirkan. Junit dengan pernyataan-pernyataannya yang keras, tidak menimbulkan benturan atau penaikan suhu pembicaraan.

Markesot, sebagaimana yang mereka kenal puluhan tahun, selalu menata ulang ‘medan perang’ yang harus dilayaninya. Dia tidak mau berdiri frontal di depan Junit, melainkan berlari ke kiri ke kanan dan melingkar. Masalah yang muncul dikelola tidak dengan metode garis lurus, tetapi dengan kemungkinan dialektika lain yang terbaik dan paling bijak.

Itu juga suatu dimensi, metode, jurus, yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin, yang kepemimpinannya dimulai dari kerelaan memimpin dirinya sendiri terlebih dulu. Dengan awalan seperti itu ruang jiwa kepemimpinan si pemimpin akan menjadi sangat lebar, ruangannya luas, sehingga setiap sentuhan yang diciptakan ke lingkungan kepemimpinannya adalah sikap mengayomi, mengasuh, menampung, menadahi. Kalau lebih mendalam lagi: memeluk, mendekap.

Markesot meneruskan perbincangannya dengan Junit.

“Karena ketulusan cinta Junit kepada manusia dan rakyat, Tuhan mestinya akan menuntun Junit untuk mellihat sisi-sisi yang lain, dimensi-dimensi yang berbeda dari kehidupan, agar pandangan pikirannya lebih matang.”

“Amiiin, Mbah”, gumam Junit.

“Mestinya Tuhan akan membimbing Junit untuk mulai menyadari bahwa di luar konteks Negara, kekuasaan, politik, praktik pembangunan, struktur-struktur makro pengelolaan kolektif kehidupan manusia – Allah juga senantiasa hadir pada kenyataan-kenyataan, sudut-sudut, tikungan-tikungan, pojok-pojok, lipatan-lipatan, dan berbagai wilayah lain dari kehidupan yang tidak bisa dijangkau oleh kekuasaan Negara dan Pemerintah.”

“Terima kasih kepercayaan dan doanya, Mbah”

“Itu semua mestinya di dalam diri Junit sendiri akan menjadi bahan tawar-menawar terhadap perasaan subjektifmu bahwa Allah bersikap subjektif dan tega kepada hamba-Nya yang menderita…”.

Sundusin yang menyela bertanya: “Bagaimana penjelasannya bahwa pernyataan Junit tentang Tuhan bersikap subjektif itu adalah juga sebuah ungkapan subjektif?”

Semakin muncul desakan atau tekanan, respons Markesot semakin terasa longgar, lapang, dan lembut.

“Bagaimana mungkin ada siapa saja yang bukan Allah memiliki ilmu, pengetahuan, dan pandangan yang objektif kepada Allah?”

“Ya. Benar. Mustahil itu”, gumam Sundusin.

“Andaikan diibaratkan makhluk adalah semut dan Allah adalah lautan yang bentangannya amat luas atau padang pasir yang ujungnya hanya cakrawala yang imajinatif, sesungguhnya itu pun tidak sepadan sama sekali. Mungkin perumpamaan itu bisa dipakai untuk membuka pintu amsal bahwa semut tidak punya peluang sama sekali untuk merambahi keluasan lautan dan padang pasir, apalagi mengukurnya, terlebih lagi menilainya, dan jangankan lagi memimpikan objektivitas atas ukuran dan penilaiannya itu.”

Semuanya terdiam. Pandangan mata mereka tidak berkedip menatap Markesot.

“Kebesaran Allah hanya bisa dimatematikakan dengan semua lautan plus seluruh padang pasir dikalikan tak terhingga. Keagungan Allah adalah sejauh keluasan dan kebesaran yang bisa dijangkau oleh manusia dikalikan infinitas, ketidakterbatasan. Dan ketakterhinggaan, ketakterbatasan yang merupakan ujung dari jangkauan ilmu dan pengetahuan serta khayalan manusia, adalah sepertriliun debu dari hakikat dan wujud kemahabesaran Allah yang objektif.”

“Artinya, jangan pernah percaya bahwa kita para makhluk ini pernah sebesar seekor semut dibanding lautan dan padang pasir kemahaagungan Allah. Kita jauh lebih kecil dari itu. Makhluk jauh lebih mikro dan kerdil dari itu. Setiap manusia, terutama pemimpin di antara manusia, berada secara bergetar dan dinamis di rentang antara kemahaagungan dengan kekerdilan. Posisi persisnya sangat berdekatan dengan garis kerdil, dan amat sangat jauh dari horizon kemahaagungan.”

“Bahaya paling utama pada diri pemimpin adalah rasa besar pada dirinya. Merasa dirinya memiliki kebesaran, apalagi dengan landasan kesimpulan bahwa yang dipimpinnya adalah kecil. Gemedhe. Takabbur. Rasa diri besar adalah dosa komplet, kesalahan yang lengkap: intelektual, mental, spiritual, manajemen, dan apa saja. Sesat pikir, improporsi penempatan diri dalam peta hakikat hidup.”

“Agar seorang pemimpin menjadi Fir’aun, tidak diperlukan takabbur sebesar gunung. Cukup seperseribu debu di dalam kandungan jiwanya. Junit bicara apa saja, kita semua omong apa saja, sepanjang dilandasi kesadaran dan kewaspadaan bahwa itu belum tentu benar, karena hanya Allah yang maha sejati kebenaran-Nya – maka ia sudah memiliki bekal paling elementer untuk menjadi pemimpin atas dirinya sendiri dan di luarnya.”

Tiba-tiba Markesot tertawa. Dan tertawanya agak panjang. Bahkan kemudian terkekeh-kekeh sambil tangannya memukul-mukul jidatnya.

Semua yang hadir berpandangan satu sama lain karena tidak paham. Terutama Junit.

Lainnya

Exit mobile version