Pemimpin Maha Jiwa
Tahqiq“Manusia itu jiwa. Manusia itu rohnya. Manusia bukan batu, logam atau kayu. Kepemimpinan manusia atas dirinya sendiri maupun di antara sesamanya adalah kepemimpinan jiwa....”
Jitul meneruskan pembicaraannya tentang zaman darurat, dengan menyimpulkan bahwa yang paling darurat dari segala darurat saat ini adalah hampir tak seorang pun, termasuk kaum cerdik pandai, yang menyadari bahwa zaman sedang darurat.
“Jadi menurut kalian Negara dan Bangsa kita ini sudah sedemikian parahnya?”, Tarmihim mengejar.
“Kalau soal makanan, minuman, kemewahan pakaian dan budaya, serta hal-hal yang menyangkut peradaban materialisme, sekarang tampak jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya”, jawab Jitul, “tetapi itu tidak bisa disebut kemajuan peradaban”
“Kok begitu?”
“Kalau soal makan kenyang, itu konteks hewan. Kalau soal kemewahan budaya, itu kesepakatan tentang khayalan-khayalan. Kalau soal fasilitas-fasilitas materi yang canggih di segala bidang, itu subjektivisme keduniaan. Itu bukan manifestasi dari keberadaban manusia. Itu bukan ketinggian budi dan keindahan darma, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Tuhan ketika menciptakan manusia dengan diposisikan lebih tinggi derajatnya dari benda-benda, pepohonan, dan hewan”
“Kalau manusia mestinya bagaimana?”, Sundusin meneruskan kejaran Tarmihim.
“Kalau manusia, fokus perjuangannya bukan materialisme, bukan sofistikasi mejeng, kesombongan ekspresi atau perubahan-perubahan gaya hidup. Bukan gedung-gedung tinggi dan mewah, alat-alat komunikasi yang efektif, perangkat-perangkat transportasi dan properti. Apalagi kalau itu semua diselenggarakan melalui penjajahan suatu konspirasi global terhadap bangsa-bangsa lainnya. Melalui perampokan kekayaan bumi yang sebenarnya harus berbagi dengan generasi-generasi anak cucu. Serta pembodohan yang ditayangkan sebagai pendidikan, keterpelajaran, dan intelektualisme. Serta melalui ketidakadilan, kesenjangan, dan ketidakseimbangan tatanan yang merendahkan dan merugikan mayoritas ummat manusia”
“Jadi, apa yang bagiannya makhluk manusia?”
“Manusia tidak bisa disebut manusia kalau orientasi tindakan-tindakan sejarahnya adalah kebendaan. Manusia itu jiwa. Manusia itu rohnya. Manusia bukan batu, logam atau kayu. Kepemimpinan manusia atas dirinya sendiri maupun di antara sesamanya adalah kepemimpinan jiwa, budi pekerti, rohani, mental, intelektual, moral, dan spiritual….”
“Apakah manusia sekarang kehilangan jiwa dan semua yang kamu sebut itu?”
“Tidak. Lebih parah dari itu. Manusia tidak bisa tidak berjiwa. Manusia tidak bisa mengelak dari intelektualitas, mentalitas, moralitas, dan spiritualitas. Tetapi di zaman ini seluruh anasir kejiwaan itu diabdikan oleh manusia demi pencapaian-pencapaian materialisme. Bahkan Nabi, Malaikat dan Tuhan, dipahami secara materi dan dimanipulasi serta dieksploitasi untuk kepentingan materi….”
Tarmihim menghela napas panjang. “Tidak ada yang lebih menggembirakan hati orang-orang tua Pakde Paklikmu ini melebihi mendengarkan kata-kata indah, baik, dan benar seperti itu yang berasal dari mulut anak-anak muda….”, katanya.
“Karena manusia itu jiwa, Pakde”, Jitul melanjutkan, “maka satu-satunya jalan yang pada hakikatnya harus ditempuh oleh manusia adalah perjuangan menuju Sang Maha Jiwa. Tetapi manusia di zaman ini melangkahkan kaki sejarahnya berbalik arah dari-Nya, membelakangi dan memunggungi. Bahkan sesungguhnya itu adalah tindakan meremehkan, mengabaikan, dan mengkhianati Sang Maha Jiwa….”
Sundusin menyela. “Dari mana kalian dapatkan pengetahuan dan kesadaran semacam itu, anak-anak muda?”
“Dari himpunan informasi dan perenungan yang kami dengarkan dari Mbah Markesot serta Pakde Paklik”
“Kami orang-orang tua yang bodoh dan gagal sejarah ini rasanya tidak pernah mengajari kalian untuk berkata seperti itu”
“Pakde Paklik tidak pernah mengajari. Justru karena itu kami bisa sampai pada pikiran dan penjiwaan seperti itu. Sebab Pakde Paklik yang membukakan pintunya”
“Bagaimana kalau Pakde Paklik kalian sendiri berkesimpulan bahwa berbagai kearifan hidup seperti itu sesungguhnya adalah kamuflase untuk menutupi kegagalan hidup Pakde Paklik?”
“Yang bagi kami gagal bukan Pakde Paklik, melainkan hampir semua yang lain yang Pakde Paklik tidak ikut serta di dalam arus mereka”
“Kenapa?”
“Mereka di luaran sana berduyun-duyun menyembah berhala-berhala, hidupnya bersujud kepada materialisme dan keduniaan. Dan kelihatannya berhasil, penuh gemerlap dan gegap gempita. Tapi pada kenyataannya tiap saat mereka mengeluh tentang berhala-berhala. Tiap hari mereka bertengkar dengan tema ketidakadilan materi, ketidakmerataan ekonomi, ketidakadilan penghidupan, serta kecemasan-kecemasan akan terjadinya krisis-krisis. Mereka itu menyembah berhala, tetapi ditolak oleh berhala…. Pakde Paklik, keadaan zaman semacam itu, kurang darurat bagaimana….”