Pemimpin Lelaku
Tahqiq“Manusia tidak pernah benar-benar lulus. Sebab kelakon itu tidak bisa terus tegak berdiri bersama waktu. Di setiap jengkal waktu ia harus dilakoni lagi dan lagi secara terus-menerus. Tidak pernah “sudah”....”
Toling ikut tertawa.
“Kami selama ini sangat rajin mendengarkan dan belajar kepada Mbah Sot beserta para Pakde dan Paklik. Dan hasilnya adalah kami menjadi tidak putus asa, tidak menuruti rasa sedih secara berlebihan, dan tidak mau terperangkap oleh ketakutan dan kengerian menatap masa depan kami. Tapi hari ini kami belajar dari situasi Pakde Paklik yang berterus terang mengungkapkan kesedihan dan ketakutan. Kami belajar makna yang lebih dinamis dari yang Pakde Paklik sering kutip dari kebijaksanaan para leluhur tentang ‘ngelmu kuwi kelakone kanti laku’….”
“Ya. Terus?”, Brakodin mengejar.
“Selama ini kami belajar bahwa itu maknanya tidak sekadar bahwa ilmu itu akan menjadi kekayaan hidup yang nyata jika dimanifestasikan. Juga tidak sekadar bahwa kalau pengetahuan dilakukan, dipraktikkan, diamalkan, maka ia menjadi ilmu. Hari ini kami belajar bahwa melakukan atau mengamalkan itu bukan sekali jadi kemudian dibawa sampai mati atau terbawa hingga ke keabadian. Memanifestasikan itu harus terus-menerus, setiap hari, setiap jam, setiap menit dan detik. Kalau ada satu detik kita tidak memanifestasikannya, maka ilmu menjadi barang mentah kembali”
“Bagus. Teruskan”, Brakodin mendorong.
“Manusia tidak pernah benar-benar lulus. Sebab kelakon itu tidak bisa terus tegak berdiri bersama waktu. Di setiap jengkal waktu ia harus dilakoni lagi dan lagi secara terus-menerus. Tidak pernah “sudah”. Sebab sesudah “sudah” sesaat, di saat berikutnya ia “belum” lagi, atau kembali “belum”. Maka setiap saat ia harus di“sudah”kan lagi dan lagi. Buktinya Pakde Paklik ini, sudah sekian tahun mempraktikkan kebijaksaan itu, tiba-tiba hari ini berada dalam posisi “belum”. Itulah sebabnya Pakde Ndusin tadi mengatakan bahwa manusia tidak pernah benar-benar berhasil untuk mengusir kesedihan dan rasa takut melihat ke masa depan. Pesan Rasulullah itu tidak diperlukan kalau kita sudah selalu merdeka dari kesedihan dan ketakutan”….
Sekarang Brakodin yang tertawa keras. Dan gantian Toling yang kaget dan diam-diam sedikit merasa tersinggung.
“Kok tertawa, Pakde?”, ia bertanya dan nadanya memprotes.
Brakodin harus cerdas dan halus menjawab Toling. Aslinya nama anak itu Gentholing. Di desanya dulu “gentoling” adalah kata atau istilah untuk menggambarkan seorang yang kepalanya lebih besar dari seharusnya, berdasarkan proporsi tubuhnya.
Kalau itu ia ungkapkan, sangatlah tidak sopan. Padahal sesungguhnya itu merupakan pujian: bahwa karena volume kepalanya sedikit lebih besar dari keharusan proporsionalnya, maka berarti volume otak di kepalanya juga lebih besar dari rata-rata. Mestinya itu bisa berarti Toling lebih mampu memuat pengetahuan dan ilmu lebih banyak dibanding sesamanya. Syukur juga berarti mesin kecerdasannya melebihi teman-temannya.
Gentholing oleh teman-temannya dipanggil Toling. Bukan Gentho. Tentu itu semacam sopan santun. Sebab gentho berkonotasi negatif. Toling lahir dari keluarga yang unik. Rumahnya di depan sebelah kiri pintu masuk desanya, di luar gerbang. Bapaknya bernama Wak Marjan. Ibunya bernama Tamu. Kakaknya Toling bernama Kirman yang panggilannya Penthul karena hidungnya besar. Kakak perempuannya berpipi tembem, gemuk keluar kiri dan kanan. Adiknya Toling bernama Sobil dan bungsunya bernama Mubin.
Teman-teman bermain mereka mengaransir lagu dan fragmen bertutur tentang keluarga Wak Marjan ini. Beramai-ramai rombongan anak-anak kecil berjalan melewati depan rumah Wak Marjan, sambil bernarasi dan berlagu:
“Wak Jan menerima Tamu. Tamunya membawa mobil….”
Maksudnya pelesetan dari Sobil.
“Klakson mobil dibunyikan: Bin biiiiiin….”
Maksudnya Mubin.
“Wak Jan menjamu tamu dengan pertunjukan gorit Penthul dan Tembem….”
Itu semacam adaptasi dari citra Gareng yang penthul dan Mbilung yang tembem.
“Pertunjukan Penthul dan Tembem ditabuhi gamelan: gentholing…gentholing…gentholing….”
Ingatan di masa kanak-kanak Toling itu yang membuat Brakodin tertawa keras. Anak itu protes dan terbata-bata Brakodin menjawab:
“Orang yang sedih biasanya menangis. Dan orang yang bergembira biasanya tertawa. Dan tertawa saya keras. Karena kadar kegembiraan Pakde juga tinggi, kalau dilihat dari jaraknya terhadap kesedihan Pakde yang mendalam. Toling, sejak masa kanak-kanakmu, Pakde melihat bahwa kamu punya kecerdasan melebihi rata-rata anak seumurmu. Dan barusan tadi saya mendengarkan sendiri bukti penglihatan saya itu. Kamu yang masih sangat muda, memiliki kesanggupan untuk menemukan kekonyolan Pakde Paklikmu orang-orang tua yang dirundung kesedihan dan ketakutan….”
“Pakde Brakodin melebih-lebihkan..”, Toling menanggapi, “semua yang saya kemukakan itu semata-mata berasal dari Mbah Sot dan Pakde Paklik semua”
“Saya dan kami semua sangat bergembira karena Toling dan kalian semua anak-anak muda memiliki kesanggupan untuk melakukan transendensi, man-takabbur-i, mengatasi keadaan kalian. Punya determinasi ilmu untuk bertandang ke masa depan. Punya ketangguhan mental untuk tetap tegak teguh di tengah badai. Yang kalian hadirkan ke sini di depan Pakde Paklik bukan terutama siapa kalian, tetapi teguhnya kepemimpian kalian atas diri kalian, di tengah keadaan yang sangat mengambrukkan jiwa kami orang-orang tua. Kalian adalah pemimpin lelaku kehidupan kalian sendiri. Kalian punya kesiapan untuk bertanding melawan tantangan-tantangan masa depan kalian….”
“Sebentar Pakde”, Junit menyela, “kok men-takabbur-i?”