Pemimpin Gila
Ta’qid“Justru karena hidup ummat manusia sekarang ini tanpa Nabi: maka tidak ada daya pantul yang kuat dan memenuhi syarat antara kedholiman dengan adzab”
Kata-kata Tarmihim tentang “kapan adzab Nuhy, Hudy, Luthy, Shalihy, Fir’auny dan Muhammady ditimpakan oleh Allah” mendapat tanggapan serius dari Sundusin dan teman-teman lain.
“Adzab yang sebutannya berdasar nama Nabi-Nabi itu karanganmu sendiri atau pernah mendengar dari Cak Sot?”, tanya Sundusin.
“Ya pasti dari Cak Sot lah”, jawab Tarmihim, “sebelum kamu datang, ketika kepala saya berputar-putar oleh serbuan kata-katanya”
“Itu kira-kira istilah resmi atau sudah lazim dipakai di kalangan Kaum Muslimin sejak dulu?”, seorang teman menyusuli pertanyaan.
“Saya kurang tahu. Yang pasti saya belum pernah mendengarnya sebelum Cak Sot”
“Bagaimana penjelasannya?”
“Kapan Cak Sot menjelaskan sesuatu”, jawab Tarmihim, “Kita semua tahu Cak Sot kalau bicara kan seperti hujan deras. Memang terkadang hanya gerimis atau tletik. Tetapi tetap saja kita sendiri yang harus cerdas memilah-milahnya, meletakkannya dalam lingkup konteks, atau menyusunnya dalam suatu urutan berpikir. Cak Sot sih meludah-ludah saja, membanjiri kita dan meretakkan kepala kita”
“Maksudnya adzab Nuhy itu adzab yang diturunkan Allah di zaman Nabi Nuh?”
“Tentu begitu. Tetapi kita harus waspada, adzab Nuhy pasti ada bedanya dengan adzab-adzab lainnya, yang Luthy, Shalihy, Hudy dan seterusnya itu”
“Beda bentuknya?”
“Mungkin juga sebab-musababnya, jenisnya, kadarnya, atau hitungan subjek masyarakat yang ditimpa, serta berbagai sisi lain”
“Ada yang berupa banjir besar, gempa, bumi menelan seluruh air di permukaannya, pageblug, hewan tertentu yang jumlahnya tak terhitung menyerbu suatu kaum, atau bebendu-bebendu lain yang beragam-ragam”
“Tetapi ada yang sama, yakni kadarnya, volumenya, tingkat siksaan dan pemusnahannya”
“Di zaman sesudah berlalunya para Rasul dan Nabi, termasuk yang sekarang kita alami, tidak pernah Allah menurunkan adzab dengan bobot penghancuran dan pemusnahan sebagaimana Nuhy Hudy Luthy itu. Kenapa ya?”
“Ya. Kenapa. Padahal katanya sekarang ini perilaku ummat manusia jauh lebih gila dibanding di zaman Nabi-Nabi.”
“Kalau saya amat-amati”, Sundusin mencoba mengurai, “seluruh peristiwa para Nabi dan adzab itu kasusnya adalah kekufuran kepada Tuhan. Sedangkan sekarang ini jauh lebih parah: kasus utamanya adalah kemunafikan. Kan mending kafir daripada munafik. Kalau hitam melawan putih, jelas dan relatif mudah peta masalahnya. Tapi kalau munafik, sangat menguras energi, pikiran dan ruwet jurus-jurus untuk memberantasnya. Kita sangka abu-abu, ternyata doreng-doreng. Kita siapkan perlawanan terhadap doreng, ternyata kuning. Kita susah payah menyusun strategi melawan kuning, ternyata jingga. Kemudian beralih lagi jadi hijau, biru, bahkan warna kemunafikan yang paling dominan justru adalah putih”
“Ada beberapa pertanyaan yang menjadi persoalan utama di pikiran saya”, Tarmihim memaparkan, “Misalnya, kenapa pada zaman sesudah para Nabi itu, sepertinya tidak adzab yang langsung dari Allah, yang merupakan sebab akibat langsung, instan, tanpa penundaan. Kita sudah lega Allah menyatakan ‘mereka melakukan tipu daya, dan Aku pun Maha Penipu Daya, maka kasihlah tenggang sejenak’. Sejenak-nya Allah itu tak kunjung datang. Sampai kita semua udzur usia, orang-orang dholim tidak juga mendapatkan balasan dari Allah. Bahkan ada para ahli yang menyatakan bahwa di era sesudah Nabi-Nabi, termasuk era kita sekarang, balasan Allah ditunda hingga nanti di akhirat. Kenapa kita yang hidup tidak bersama Nabi, disuruh bersabar jauh melebihi ummat yang hidup bersama Nabi?”
Sundusin tertawa. “Saya menduga”, katanya, “Justru karena sekarang tidak ada Nabi”
“Lho kenapa kita yang hidup tanpa Nabi tidak mendapatkan pertolongan setegas yang diperoleh oleh ummat-ummat yang terdahulu yang hidup dengan ada Nabi?”, tanya Tarmihim.
“Justru karena tidak ada Nabi itu maka adzab tidak memantul secara langsung”, kata Sundusin.
“Kok terbalik?”
“Bukan terbalik. Justru karena hidup ummat manusia sekarang ini tanpa Nabi: maka tidak ada daya pantul yang kuat dan memenuhi syarat antara kedholiman dengan adzab, antara kekufuran dengan balasannya, antara kemunafikan dengan akibat-akibatnya”
“Bagaimana penjelasan logisnya?”, seorang teman mengejar.
“Ini nalar saya lho ya, tidak berarti pasti benar demikian, ini sekadar cara mikir saya sendiri”, Sundusin mencoba menjawab, “Di zaman sesudah Nabi-Nabi tidak ada tokoh atau pemimpin yang tingkat perjuangan penyebaran tauhidnya menyamai kadar daya upaya para Nabi. Termasuk penderitaan dan berbagai jenis thariqat kejuangannya. Maka tidak ada juga di antara tokoh-tokoh sesudah berlalunya para Nabi yang mengalami respons eksistensial yang sangat menyakitkan dan memperhinakan martabat kemanusiaan sebagaimana yang dialami oleh Nabi-Nabi. Misalnya dianggap orang gila. Beramai-ramai dan secara massal masyarakat menyimpulkannya sebagai orang gila. Para pemimpin sesudah Nabi-Nabi mungkin dibenci, diremehkan, diejek, ditak-acuhkan, diabaikan atau direndahkan, tetapi tidak sampai disimpulkan sebagai orang gila. Selama kita hidup, tidak pernah mengalami suatu keadaan di mana masyarakat menyimpulkan bahwa ada ‘Pemimpin Gila’, dalam arti benar-benar gila, atau gila dalam arti yang sebenar-benarnya”
“Apa hubungan Nabi dianggap gila dengan adzab Allah?”, Tarmihim mengejar.