Pemimpin Diskusi Semak Belukar
Tahqiq“Mereka sibuk dengan tradisi diskusi sehingga tidak pernah sempat belajar berbuat. Mereka terbang ke awang-awang pemikiran dan khayalan-khayalan kebenaran menurut mereka sendiri, kemudian tidak mampu menemukan pijakannya di bumi....”
“Hal men-takabbur-i saya usulkan untuk menjadi topik pertama”, kata Junit kepada teman-temannya dan Pakde Paklik.
Sebenarnya ada beberapa teman Junit yang kurang cenderung untuk ikut pertemuan-pertemuan itu. “Diskusi tidak menyelesaikan masalah”, kata mereka.
Dalam perundingan dengan teman-temannya itu Junit Toling Jitul mencoba meyakinkan. “Bagaimana menyelesaikan masalah kan perlu didiskusikan”
“Sejak sebelum kemerdekaan bangsa kita sudah selalu ada diskusi-diskusi, tetapi yang memerdekakan bangsa kita dan mendaulatkan Negara kita adalah tindakan, bukan diskusi”
“Apa dan bagaimana suatu tindakan dilakukan kan perlu didiskusikan, bahkan diskusi selalu diperlukan di tengah-tengah tindakan”
“Di akhir era 1970-an muncul kelompok diskusi di kalangan aktivis mahasiswa dan kaum intelektual, pertama di Yogya dan Bandung, kemudian menjamur di seluruh Indonesia. Tapi buktinya keadaan justru semakin parah”
“Mestinya tidak mungkin disimpulkan diskusi menyebabkan kerusakan sosial”
“Tapi faktanya kalangan menengah hanya pandai berdiskusi tanpa berkembang kemampuannya untuk menyelesaikan masalah”
“Yang bisa disalahkan mungkin bukan diskusinya, melainkan manusia yang berdiskusi. Tidak semua manusia sanggup memanggul kebenaran yang dihasilkan oleh diskusi ke dalam perilaku kehidupannya”
“Setahu saya justru yang terlibat merusak Negara ini banyak juga dari kalangan-kalangan yang rajin diskusi. Mereka sibuk dengan tradisi diskusi sehingga tidak pernah sempat belajar berbuat. Mereka terbang ke awang-awang pemikiran dan khayalan-khayalan kebenaran menurut mereka sendiri, kemudian tidak mampu menemukan pijakannya di bumi. Akhirnya untuk hidup yang konkret mereka hampir semua mencari cantolan, berhimpun di pos-pos kekuasaan untuk mencari nafkah, menjadi pengemis yang membungkuk di depan kaki penguasa. Karier mereka adalah mengincar peluang untuk ikut berkuasa. Sebab mereka tidak punya kemandirian untuk bekerja mempertahankan penghidupan….”
“Maka yang salah bukan diskusinya”
“Tapi belajar memperjuangkan penghidupan lebih penting dibanding diskusi. Belajar hidup nyata. Belajar bekerja. Belajar membumi. Belajar mencari nafkah, belajar menjamin isi perut. Kan kita semua pada akhirnya akan berkeluarga, menjamin makan minum, biaya sekolah, berusaha punya rumah sendiri dan sarana-sarana penghidupan lainnya sebagaimana layaknya kebanyakan manusia hidup”
“Benar sekali memang itu lebih penting. Diskusi kita dengan Pakde Paklik kan cuma sebulan sekali. Itu pun hanya beberapa jam. 29 hari lainnya titik berat perjuangan kita bukan diskusi, melainkan berlatih dan bekerja konkret sebagai makhluk darah daging”
“Kan di antara kita sendiri ada jadwal rutin pertemuan untuk diskusi?”
“Ya. Berarti dua hari dalam sebulan, sangat rendah prosentasenya dalam sebulan. Sebagian kita masih harus kuliah hampir tiap hari. Itu kegiatan yang lebih minimal dibanding diskusi, karena hanya transfer data pengetahuan satu arah.”
“Sebagaimana yang disarankan Mbah Sot dan para Pakde Paklik, tujuan kuliah itu untuk melegakan dan membahagiakan hati Ibu dan Bapak, di samping untuk dapat ijazah sehingga ada tiket kalau-kalau harus bekerja di suatu lembaga karena masih gagal untuk mandiri berwiraswasta”
“Itulah sebabnya untuk urusan mencari ilmu melalui pintu-pintu yang berbeda dari yang baku, kita perlu bertemu rutin dengan Pakde Paklik, syukur Mbah Sot hadir juga sesekali”
Ada yang mempertanyakan dengan agak ‘kejam’: “Pakde Paklik dan Mbah Sot itu keteladanannya apa dalam perjuangan untuk Bangsa dan Negara? Sehingga kita harus mendengarkan mereka, belajar, bahkan seakan-akan berguru kepada mereka?”
Junit menjawab: “Saya ambil yang paling pahit: kita perlu belajar dari kegagalan hidup mereka. Kalau kita mengerti secara maksimal kenapa sebuah generasi mengalami kegagalan dalam perjuangannya, dengan logika balik kita juga akan memperoleh pengetahuan tentang bagaimana supaya tidak gagal”
“Kita belajar dari kepemimpinan Nabi Muhammad dan para Khalifah Rasyidin sampai ke Khalifah-khalifah lain sesudahnya. Kita belajar kepada Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan Nabi-Nabi lainnya. Kita belajar Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, kepada Ratu Shima, bahkan kepada Abraham Lincoln, Thomas Jefferson, Churchill, Napoleon, Hitler, Mao Zedhong, Imam Khomainy, sampai ke Hugo Sanches. Bahkan kepada Abu Nawas dan Narsudin Hoja pun kita belajar. Tetapi apa sebenarnya yang kita pelajari dari Mbah Markesot dan Pakde Paklik? Apa peran mereka dalam sejarah negeri kita ini? Mereka orang-orang yang bertempat tinggal jauh di luar pagar urusan Negara. Mereka orang-orang tua yang kesepian dan ketelingsut di semak-semak zaman. Untuk apa kita pergi kuliah ke semak-semak belukar?”