Pemimpin Derita
Ta’qid“Apakah kalian pernah berpikir bahwa andaikan Tuhan menurunkan adzab-Nya, apalagi dengan bobot bencana seperti yang dialami oleh kaumnya Nabi Nuh – kita semua juga akan tertimpa”
Markesot tertawa. “Teman-teman”, katanya, “Kok kita sangat bersemangat sekali memperbincangkan dan mendambakan turunnya adzab Allah ke bumi?”
“Karena kita terlalu lama merasa sangat kesakitan secara sosial, meskipun urusan pribadi dan keluarga kita masing-masing baik-baik saja”, Sundusin menjawab.
“Seperti itu kayaknya”, Tarmihim menambahi, “tidak ada penderitaan apapun dalam hal kehidupan kita sendiri. Yang kita sangga dalam jangka waktu yang sangat panjang dan tak habis-habis adalah penderitaan kemanusiaan, penderitaan peradaban, penderitaan politik, penderitaan moral, mental, intelektual, spiritual, pokoknya komplit….”
“Diri kita tidak terbatas pada diri kita”, Sundusin menambahi lagi, “karena dunia dan keadaan manusia, kebudayaan, politik, Negara dan semua sudah terlanjur menjadi bagian dari kesadaran kita, maka semua penderitaan dan kebobrokan sosial pun menjadi luka di dalam jiwa kita”
“Tapi kenapa kita terseret untuk lebih berobsesi terhadap adzab daripada terhadap hidayah, misalnya”
“Lha siapa yang menyeret”, kata Sundusin.
“Semua ini Cak Sot sendiri aspiratornya”, tambah Tarmihim.
Markesot tertawa. “Saya minta maaf kalau aliran perbincangan kita mengarah ke sana. Saya hanya terbiasa bermuhasabah seluas-luasnya tapi juga sedetail-detailnya. Terutama perhitungan terhadap keburukan kita semua dan ummat manusia dalam kehidupan ini. Yang baik-baik tak perlu kita hitung-hitung, karena Allah lebih lembut dan tajam menghitungnya, dan itu pasti berakibat baik. Tapi kalau kita tidak mengerti hitungan keburukan kita, nanti pada saatnya kita akan terlalu kaget berjumpa dengan cermin wajah kita sendiri di kaca benggala Tuhan”
Sundusin ikut tertawa. “Mungkin karena kita terbiasa bergaul dengan luka dan kesedihan, akhirnya kita terkondisi untuk menyukai luka dan kesedihan itu. Bahkan tidak sengaja membengkakkan derita dan kesedihan itu sampai ke tingkat adzab”
“Apakah kalian pernah berpikir bahwa andaikan Tuhan menurunkan adzab-Nya, apalagi dengan bobot bencana seperti yang dialami oleh kaumnya Nabi Nuh – kita semua juga akan tertimpa”
Tarmihim menjawab, “Rasanya tidak masalah kita semua musnah bersama bumi dan isinya, karena toh pada era berikutnya Tuhan adil memilah-milah antara penghargaan dengan sanksi kepada setiap hamba-Nya. Kalau misalnya ada 21 gunung meletus bersama, sehingga kita setanah air ini luluh lantak mati semua, selamat tidaknya bukan dilihat berdasarkan apa yang kita alami akibat letusan gunung-gunung itu. Melainkan berdasarkan perilaku baik buruk kita masing-masing”
“Hidup yang ini, kemudian yang disebut mati sesudahnya, bukanlah sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang. Hidup bukanlah hidup ini dan mati bukanlah mati yang akan terjadi nanti. Hidup adalah kalau kita lulus tes di hadapan Tuhan selama bertugas di dunia. Mati adalah kehidupan abadi dalam keadaan tidak lulus ujian, Tuhan tidak mengampuni, tidak ridla, bahkan murka”, tambah Sundusin.
“Apakah kalian juga pernah berpikir kemungkinan sebab yang lain kenapa gunung-gunung itu tidak meletus bersama, kenapa lautan tidak meluap dan menenggelamkan pulau-pulau tempat tinggal kita? Kenapa adzab yang kalian bayangkan itu tidak kunjung diturunkan oleh Tuhan?”
“Mungkin pernah berpikir seperti itu”, jawan Ndusin, “tapi pasti tidak seperti yang Cak Sot maksudkan”
“Iya”, tambah Tarmihim, “kenapa dan bagaimana itu?”
Markesot tersenyum. “Karena masih banyak manusia, kumpulan orang-orang di muka bumi, mungkin termasuk kita, yang terus rajin menghadirkan Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, utamanya Kanjeng Nabi Muhammad ke lingkaran komunikasi kita”
“Kok menghadirkan Kanjeng Nabi? Kata Sampeyan tadi adzab tidak turun karena Nabi sudah tidak ada”
“Kita menghadirkan Nabi, rohnya, auranya, syafaatnya, kharismanya, getarannya, cintanya, melalui kebiasaan sehari-hari kita menyatakan cinta dan apresiasi kita kepada Kanjeng Nabi”
“Bershalawat?”
“Ya”
“Kalau begitu”, Sundusin mengejar, “berdasarkan logika tadi, kenapa kehadiran Nabi dalam hidup kita tidak mengakibatkan turunnya adzab Allah? Bukankah hati Kanjeng Nabi sangat disakiti oleh perilaku para kaum munafik, kafir, bahkan oleh Kaum Muslimin sendiri yang banyak berdusta kepada Allah dan berpura-pura di antara sesama manusia?”
Markesot tersenyum. “Karena yang hadir kepada kita bukan jasad Kanjeng Nabi, sehingga status atau kedudukannya beliau tidak sedang hidup bersama kita”
“Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad bertugas untuk seluruh ummat manusia, bahkan rahmatan lil’alamin? Bukankah itu berlaku sampai kapan saja ketika ummat manusia dan alam semesta ini masih ada?”, Tarmihim ikut mengejar.
“Karena dunia hanyalah sepenggal sangat pendek dari rentang waktu alam semesta yang direntangkan oleh Allah. Karena dunia bukanlah ujung waktu yang tak terbatas. Karena manusia akan tidak mungkin menghindar atau mengelak untuk diseret oleh tak terbatasnya keabadian, demi mengalami sebab akibat dari setiap perbuatannya. Saya termasuk orang yang tidak sabar memandang ke depan, dan saya mohon maaf bahwa kalian semua terseret oleh ketidaksabaran saya. Sebenarnya saya menyesal terlanjur menjadi pemimpin derita kalian semua. Tapi saya berpandangan itu lebih baik daripada kita bergembira dan berpesta pora di tengah kegelapan yang terancam oleh amarah Tuhan, meskipun waktunya entah kapan….”