Pemimpi Kepemimpinan
Orang yang pertama tidak layak menjadi pemimpin karena ketika dihadapkan dengan satu persoalan bukan menyelesaikan tetapi malah melarikan diri. Orang yang kedua, adalah orang yang sangat kuat dan tegas, tetapi sangat berbahaya karena tidak akan tahan dengan kritikan. Siapa yang mengkritiknya bisa langsung dikenai hukuman.
Untuk menjangkepi pembahasannya Cak Nun pun memberi kesempatan jamaah Kenduri Cinta dalam memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
Merespon Jebeng Irfan yang bertanya apakah Semar itu sama dengan Semarang dan Samiri, Cak Nun merespon bahwa apapun penafsiran seseorang terhadap Semar itu silahkan saja bebas. Dan jika ingin dilegalisasi sebagai salah satu penelitian akademis, maka seorang peneliti harus memenuhi syarat-syarat akademis yang sudah diatur oleh dunia akademis saat ini. Cak Nun kemudian bercerita ketika menyusun naskah “Tikungan Iblis”, dalam naskah tersebut Cak Nun menuliskan bahwa Semar sudah hidup di bumi bahkan sejak sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi oleh Allah. Di dalam naskah itu, Semar digambarkan dalam Smarabhumi, yaitu salah satu Malaikat Allah yang sudah di-casting oleh Allah untuk berlaku sebagai pihak antagonis.
Selanjutnya, merespon pertanyaan Aswin yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu yang sifatnya sia-sia dan menurutnya bertabrakan dengan logika pribadinya bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu kalau tidak ada manfaatnya sedangkan Tuhan sendiri memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak bergantung kepada siapapun. Cak Nun merespon dengan penjelasan bahwa logika Tuhan jangan disamakan dengan logika manusia. Terserah-terserah Tuhan akan menciptakan apa dan akan berlaku seperti apa. Laa tatafakkaru ‘ani-l-khaaliq, tafakkaruu ‘ani-l-khalqi.
Cak Nun kemudian memberikan kesempatan kepada Habib Anis Sholeh untuk merespon dua pertanyaan terakhir berkenaan tirakat dan pertikaian antar umat beragama di Indonesia. Dan, sebelum membahas lebih detail, Habib Anis mengingatkan bahwa thoriqot atau tarekat jangan dibayangkan sebagai sebuah lembaga atau sistem yang sudah baku atau terstruktur. Berdasarkan pengalaman pribadinya, bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang secara terus menerus dalam takaran tertentu, itu merupakan salah satu bentuk thoriqoh yang dilakukan. Sehingga, jangan sampai ada bayangan yang menyeramkan tentang thoriqoh atau tirakat yang dilakukan oleh seseorang. Bahkan, menurut Habib Anis sendiri, Maiyah ini juga merupakan salah satu bentuk dari thoriqoh.
Syahdan, mengapa orang saat ini memiliki kualitas yang berbeda dengan orang zaman dahulu, Habib Anis menitikberatkan pada faktor intensitas manusia yang begitu seringnya berinteraksi dengan media massa. Maka, secara tidak langsung, cara pandang masyarakat saat ini sudah dikondisikan melalui informasi-informasi yang diberitakan oleh media massa, yang kemudian menimbulkan efek pembenaran-pembenaran terhadap realita yang terjadi.
Habib Anis juga menyoroti perilaku masyarakat yang salah menempatkan dunia sebagai faktor primer dalam kehidupannya. Banyak orang menganggap bahwa dunia adalah tujuan jangka panjang, sehingga orang mati-matian mengejar dunia demi kepuasan sesaat dan melupakan akhirat yang sesungguhnya harus menjadi tujuan jangka panjang mereka.
Kemudian, terkait persoalan masyarakat yang sebenarnya sudah beberapa kali dibahas di Maiyahan, bahwa munculnya beberapa pihak yang berdakwah dengan cara tidak baik, dengan mengkafir-kafirkan orang lain, membid’ah-bid’ahkan orang lain, menurut Habib Anis hal ini lebih karena masyarakat kita juga kurang memahami kebudayaan dan tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu di Indonesia. Misalnya, di beberapa daerah di Jawa Tengah, setiap kali petani akan memasuki musim tanam, mereka akan melakukan tradisi bancakan di dekat sawah yang akan mereka garap. Ternyata, ada penelitian yang membuktikan, bahwa peristiwa bancakan itu justru membantu petani untuk mengusir hama-hama yang ada di sekitar lahan sawah yang akan mereka garap.
Ijtihad, Jihad dan Mujahadah Kehidupan
Cak Nun telah menjelaskan bahwa syirik atau tidaknya sebuah perilaku bukan terletak pada benda atau materi yang kasat mata. Karena, syirik atau tidaknya sebuah perbuatan itu terletak pada konsep alam fikiran seseorang yang melakukannya. Sedangkan bid’ah atau tidaknya sebuah tradisi, di Maiyah sejak lama juga sudah dijelaskan bahwa dalam ibadah terdapat klasifikasi ibadah mahdloh dan mu’amalah. Rumus yang berlaku adalah, apabila ibadah mahdloh: lakukan hanya apa yang diperintahkan, dan Ibadah mu’amalah: lakukan saja semuanya, kecuali yang dilarang.
Cak Nun juga menambahkan bahwa dalam sebuah thoriqoh, ketika seseorang berniat untuk melakukan atau mengikuti sebuah thoriqoh, yang harus menjadi fondasi kuat adalah bahwa orang lain yang ditunjuk sebagai mursyid ditentukan berdasarkan keputusan pribadi dan kedaulatan pribadi, bukan karena sang mursyid yang meminta diakui sebagai mursyid. Di dalam wilayah ini memang akan dilematis, di satu sisi seseorang yang akan bertarekat itu tidak memiliki bekal apa-apa untuk menentukan orang lain sebagai mursyid, dan di satu sisi lain tidak boleh seorang murysid mengaku dirinya sebagai mursyid bagi orang lain. Maka, jalan keluarnya adalah kebebasan dan kedaulatan dalam diri setiap orang yang menentukan siapa yang akan dipilih sebagai mursyidnya.
Dialektika kehidupan dan persambungan antara manusia dengan Allah itu sangat dinamis. Cak Nun menjelaskan, terkadang manusia merasa kurang bersyukur atas semua nikmat yang sudah Allah berikan, dan ketika menyadari hal tersebut manusia biasanya merasa risih untuk meminta sesuatu kepada Allah. Allah sudah memberi nikmat kesehatan, nikmat iman, nikmat Islam dan lain sebagainya, dan manusia mensyukurinya sehingga kemudian merasa bahwa semua nikmat itu begitu banyaknya dan merasa malu jika ingin meminta lebih. Namun, disisi lain, Allah memerintahkan; ud’unii astajib lakum. Mintalah kepadaKu, niscaya Aku akan memberikan kepadamu apa yang kau minta. Jika kita menggunakan pendekatan Tafsir, akan sulit menemukan hubungan yang tepat. Tetapi, jika menggunakan pendekatan dialektika cinta antara hamba dengan Tuhannya, maka hal yang demikian merupakan salah satu bentuk kemesraan.
“Siapa bilang thoriqoh sekarang ini nggak bisa dilakukan?”, Cak Nun menjelaskan bahwa bagaimana tirakat atau thoriqoh orang terdahulu itu bukan tidak bisa dilakukan oleh orang zaman sekarang. Tetapi, orang saat ini tidak mampu memahami bahwa sesuatu yang dilakukan adalah bentuk mujahadah dalam perjuangan hidupnya.
Ketika seseorang mengalami kesulitan dalam hidup, beban yang berat dalam menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami sebagai bentuk tirakat. Cak Nun menjelaskan bahwa hidup kita yang saat ini penuh dengan perjuangan hidup, dan penuh dengan mujahadah adalah kesempatan yang sangat baik untuk tirakat. Hanya saja, banyak orang yang tidak mampu memposisikan mujahadah dalam hidupnya sebagai bentuk dari thoriqoh atau tirakat yang dilakukannya.
Cak Nun mengingatkan bahwa tirakat itu tidak harus jalan kaki yang jauh berpuluh-puluh kilometer atau berpuasa berhari-hari lamanya untuk meningkatkan kualitas diri manusia. Penderitaan, perjuangan, tempaan hidup manusia seharusnya menjadi cara tirakat setiap individu untuk meningkatkan diri masing-masing saat ini.
“Mujahadah adalah pengembangan dari kata Juhdun, artinya sesuatu yang berat. Kalau anda berfikir yang berat, maka anda sedang berijtihad. Dan, ketika anda merasakan hidup yang sangat berat, itu namanya mujahadah, output-nya adalah jihad”, jelas Cak Nun.
Jadi mujahadah itu sekarang tersedia dimana-mana. Bersyukurlah. Bila tadi anda mengatakan; aku tirakat untuk anakku, untuk cucuku. Sekarang pun juga begitu.
Begitu anda merasa berat dengan pekerjaan anda, dengan dagangan anda, dengan perjuangan anda di kampus, atau apapun saja, begitu anda mengalami sesuatu yang berat, anda sampaikan; Yaa Allah, seluruh yang aku tanggung, yang berat-berat ini, aku peruntukkan bagi anakku supaya hidupnya lebih ringan dari hidupku ini. Dan, sangat disayangkan seandainya mujahadah ini tidak membuat kita lebih dekat dengan Allah, tidak membuat kita lebih matang dari sebelumnya, dan tidak membuat diri kita ditempa lebih keras dari sebelumnya.
Cak Nun menjelaskan bahwa Ksatria posisinya ada diantara Brahma dan Sudra. Untuk Brahma, itu terserah dia apa saja profesinya, bisa tukang becak, bisa pedagang, bisa ulama, bisa raja sekalipun. Apapun posisi yang diemban oleh seseorang, asalkan hidupnya itu menuju Tuhan, maka dia adalah Brahma, jadi golnya adalah ruhaniah, perjumpaan dengan Allah.
Boleh kaya, boleh miskin, boleh jadi apa saja, asalkan hidupnya dan tujuan batinnya adalah Allah, maka dialah Brahma. Sedangkan Sudra itu kebalikannya dari Brahma. Meskipun anda adalah ulama, meskipun anda kiai, tetapi apabila tujuan akhirnya adalah harta benda yang bersifat materi untuk memperkaya diri, maka anda adalah Sudra. Cak Nun menjelaskan bahwa Ksatria, Brahma atau Sudra itu bukan soal kasta sosial tetapi hal tersebut adalah persoalan orientasi batin dalam setiap individu.
Anda sudah tahu bedanya negara dengan negeri. Kalau anda kecewa dengan negara dan seluruh strukturnya, anda jangan marah, jangan benci. Yang sebaiknya harus kita lakukan adalah memperbanyak negeri di dalam hidup anda. Maiyahan-maiyahan yang berlangsung di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk mewujudkan negeri-negeri agar hati kita tidak terlalu sibuk terjebak dalam keputus-asaan melihat kondisi negara.
Di Maiyah, yang dilakukan adalah belajar bersama, tadabbur bersama, ta’dib bersama. Tidak mengunggulkan satu sama lain, tidak merasa paling unggul, berendah hati satu sama lain untuk bersama-sama menemukan kebenaran yang sejati.
Cak Nun pun menjelaskan kembali tentang pentingnya pengetahuan dan kesadaran batas. “Anda hidup itu polos saja, ikhlas. Tidak harus tahu, ndak harus pintar. Bodoh itu ndak apa-apa asal pada proporsinya. Alhamdulillah ada saat-saat dimana anda itu bodoh dan tidak tahu. Yang ndak boleh itu memperbodohi orang lain dan memperbodoh dirimu sendiri. Tapi kalau keadaannya kamu bodoh dan tidak tahu, ndak apa-apa. Kalau kamu diberi pengetahuan melebihi kebodohanmu, justru menjadi celaka”, lanjut Cak Nun sembari menjelaskan bahwa batas pengetahuan dengan adanya kebodohan itu tidak masalah, seperti halnya jarak pendengaran telinga kita yang dibatasi dan jarak penglihatan kita yang dibatasi.
***
Sudah sekitar 3 jam lebih Kenduri Cinta mengembara ke dalam pintu-pintu ilmu kehidupan. Lewat pukul 03.00 dini hari, Koko and Friends dari Komunitas Jazz Kemayoran membawakan beberapa nomor akustiknya.
Memuncaki Kenduri Cinta kali ini, Cak Nun kembali menjelaskan tentang hidayah dari Allah kepada seluruh umat manusia. Bahwa turunnya hidayah dari Allah swt kepada manusia sangat bergantung pada software dan hardware yang ada dalam setiap diri manusia.
Jika Nabi dan Rasul diberi anugerah berupa mukjizat, itu karena spesifikasi saftware dan hardware mereka memang di-setting lebih siap untuk menerima gelombang mukjizat dari Allah dibandingkan dengan kita. Cak Nun menekankan, bahwa salah satu tujuan kita ber-Maiyah selama ini adalah dalam rangka meningkatkan kualitas software dan hardware dalam diri kita sehingga gelombang hidayah yang kita terima dari Allah juga akan meningkat kualitasnya. Kita menjadi lebih peka dari sebelumnya. Menjadi lebih waspada dan waskita dari sebelumnya. Menjadi lebih tajam dan lebih jernih dalam berfikir. Menjadi lebih sigap dalam setiap keadaan. Menjadi lebih kreatif dari sebelumnya.
“Ada satu kunci; jangan menyerap apapun, jangan melakukan apapun, jangan mendengar apapun, jangan melihat apapun, kalau itu menghabiskan tenaga anda. Musik saja ada yang menyerap tenaga dan ada yang menghimpun tenaga”. Cak Nun mengungkapkan ketakjubannya terhadap fenomena Maiyahan yang berlangsung di berbagai daerah, dimana setiap orang yang hadir sangat banyak, bertahan duduk 6-8 jam, berfikir keras, tidak tampak muka lelah bahkan merasa lebih segar dari sebelumnya. Pada kondisi ini, Cak Nun mengajak semua jamaah Kenduri Cinta untuk menyadari bahwa apa yang kita rasakan di Maiyahan ini merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah yang dianugerahkan kepada kita.
Menjelang pukul 04,00 dini hari, Kenduri Cinta edisi April 2016 dipuncaki oleh Cak Nun dengan mengajak semua jamaah berdiri untuk melaksanakan ‘Indal Qiyam dan berdoa bersama. [Red KC/Fahmi Agustian]