Pemimpi Kepemimpinan
Dalam sebuah ayat, Allah menyampaikan bahwa apabila kita benar-benar mencintai Allah, maka yang harus kita lakukan adalah mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad SAW.
Meneladani Nabi Muhammad SAW, kita tidak harus 100% bisa meniru semua tingkah laku beliau, karena sudah pasti tidak akan mampu. Dan, bukan pula ketika meniru sebagian perilaku Nabi, kita layak mendapuk diri bahwa sudah betul-betul meneladani Nabi Muhammad SAW, karena yang kebanyakan yang kita tiru dari perilaku Nabi Muhammad SAW adalah perilaku-perilaku yang memang kita sanggup melakukannya. Sementara itu ada banyak sekali laku spiritual Nabi yang telah membentuk karakter Beliau namun kita mengabaikannya, termasuk ketika beliau masih kecil dan sudah dijuluki sebagai Al Amin.
Tentu saja julukan itu tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan ada banyak peristiwa yang mendasari cara pandang dari masyarakat di sekitar Beliau saat itu. Ali menambahkan, bahwa yang harus ditiru dan diteladani dari Nabi Muhammad SAW bukan hanya perilaku yang sifatnya wadag, namun justru yang sifatnya lebih ruhanilah yang seharusnya banyak diteladani oleh umat manusia saat ini.
Ali Hasbullah mencoba menggambarkan bagaimana Iran memiliki struktur kepemimpinan yang begitu kuat. “Kita bukan sedang berbicara tentang Syi’ah atau Sunni, tetapi apa yang terjadi di Iran bisa menjadi salah satu sumber pembelajaran. Di Iran, terdapat satu pemimpin yang memiliki kemampuan mengayomi rakyatnya, sehingga pemimpin tersebut benar-benar menjadi tumpuan seluruh persoalan rakyatnya. Di Indonesia, keberadaan pemimpin malah tidak diakui sepenuhnya oleh rakyat. Dengan sistem demokrasi yang kemudian mengaplikasikan pemilihan langsung ketika pemilihan presiden, masyarakat pun terbagi menjadi beberapa kubu yang tidak semuanya memiliki kesamaan pendapat karena hasil dari pemilihan presiden tidak memenangkan calon yang mereka dukung, dan ini menjalar hingga level yang ada di tataran provinsi, kotamadya hingga kabupaten dan desa.”
Menurut Ali, kultur yang seperti itu tidak akan mendukung terciptanya sistem kepemimpinan yang mampu mengayomi seluruh elemen masyarakat Indonesia karena terdiri dari berbagai suku, ras, agama, golongan juga profesi. Belum lagi perilaku politik transaksional yang dilakukan oleh para politisi di Indonesia, dimana setiap calon yang ingin mencalonkan diri melalui salah satu partai politik bukan hanya harus bersedia menandatangani kontrak politik bersama partai tersebut, tetapi juga harus menyetorkan sejumlah uang agar para pengurus partai menyetujui pencalonan dirinya melalui partai tersebut. Sehingga, menurut Ali, sangat mustahil sistem politik seperti ini mampu melahirkan pemimpin yang benar-benar akan melayani rakyat.
Tri Mulyana kemudian mengambil satu kesimpulan dari sesi prolog diskusi, bahwa perbaikan dan perubahan mendasar di ranah individu setiap manusia merupakan hal yang paling penting saat ini. Bagaimana kita merubah cara pandang kita terhadap kualitas seorang calon pemimpin adalah hal yang paling utama yang harus kita bangun kembali jika benar-benar ingin tidak hanya berhenti sebagai Pemimpi Kepemimpinan yang sejati. Setiap individu harus sering melatih dan mengasah kepekaan cara berfikirnya, juga kepekaan cara pandangnya, sehingga selalu memiliki pembaharuan-pembaharuan terhadap parameter calon pemimpin yang layak untuk dijadikan pemimpin.
Setelah satu puisi dibawakan oleh Restu, Ibrahim lalu memandu diskusi sesi pertama yang dihadiri oleh beberapa orang perwakilan dari simpul-simpul Maiyah: Ali Fatkhan dari Gambang Syafaat, Nafisatul Wakhidah dari Maneges Qudroh, Faqih dari Jamparing Asih dan Syamsul dari Maiyah Dusun Ambengan. Ibrahim merefleksikan tema Kenduri Cinta malam ini ke dalam situasi internal Komunitas Kenduri Cinta, dimana dalam Komunitas ini tidak ada aturan baku untuk menduplikasi sistem kepemimpinan organisasi pada umumnya. Bahkan, istilah Musyawarah Lengkap hanya ada di Kenduri Cinta. Dan, di setiap Musyawarah Lengkap, salah satu agendanya adalah memilih siapa yang akan menjadi pemimpin komunitas, yang terjadi justru tidak ada satu pun yang berani mencalonkan diri untuk dipilih oleh forum peserta Musyawarah Lengkap Kenduri Cinta. Maka, jangan dibayangkan bahwa Kenduri Cinta merupakan sebuah kendaraan politik untuk pijakan menuju jenjang politik yang lebih tinggi.
“Mengutip apa yang disampaikan oleh Sabrang, bahwa seperti apapun sistem kepemimpinan yang dianut itu tergantung pada orang yang berada di lingkungan tersebut”, Ibrahim melanjutkan membuka sesi. Seperti yang selama ini berjalan di Kenduri Cinta dan simpul-simpul Maiyah lain, seperti apapun sistemnya apabila orang-orang yang berkumpul di dalamnya sudah tertanam nilai-nilai keikhlasan dan rasa memiliki, maka forum Maiyahan akan berjalan seperti biasanya.
Di Kenduri Cinta misalnya, karena sudah tumbuh rasa memiliki dan saling mendukung satu sama lain, maka secara otomatis semua akan saling melengkapi dalam mempersiapkan forum bulanan Kenduri Cinta. Tidak ada yang berani mengajukan diri untuk bertugas sebagai apa, karena semua diputuskan dalam forum Reboan. Sehingga, dari proses seperti ini, tumbuh kesadaran di setiap individu untuk turut merasa memiliki Kenduri Cinta, dan oleh karenanya output yang dihasilkan adalah kegembiraan dalam bermaiyah.
Menurut Ibrahim, untuk membedah wacana kepemimpinan, juga seharusnya berkaca dari sejarah. Tentu saja, sebagai orang Islam, salah satu acuan utama adalah sejarah Nabi-Nabi zaman dulu saat memimpin umatnya. Sayangnya, kepemimpinan saat ini tidak pernah bercermin dan belajar dari sejarah para Nabi dan Rasul. Karena, pemimpin yang sebenarnya, adalah pemimpin yang tidak berdiri sendiri, ia memiliki pengikut yang setia yang juga tanpa kepentingan apapun. Tidak seperti yang terjadi saat ini, tim sukses yang berada di belakang seorang pemimpin adalah orang-orang yang memiliki kepentingan, baik itu untuk pribadinya maupun golongannya.
Rasulullah SAW memiliki beberapa sahabat yang sangat setia mendukung setiap keputusan-keputusan yang diambil. Bahkan, jika kita melihat bagaimana setianya Khulafaur Rasyidin berada di belakang Rasulullah SAW, mereka sangat teruji kesetiaannya, bukan hanya fisik dan hartanya, bahkan hingga berani mempertaruhkan nyawanya.
“Saya tidak mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mampu memimpin sendirian, tetapi sejarah mengatakan bahwa pemimpin itu diikuti oleh pengikut yang setia dan kepemimpinan itu seharusnya tidak diikuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dan, yang terjadi saat ini, apabila ada kesempatan yang lebih besar di gerbong yang lain, sudah lazim terjadi budaya kutu loncat dalam kehidupan politik kepemimpinan saat ini”, lanjut Ibrahim.
Yang terjadi saat ini bukanlah kesetiaan yang membuat seseorang untuk berada di belakang pemimpin, melainkan adanya kepentingan lain yang mendasarinya. Dan, ketika orang yang didukung sudah tidak memiliki kemungkinan untuk berkuasa lagi, maka orang-orang yang ada di belakangnya akan berpindah haluan mencari tokoh lain yang potensial untuk dimanfaatkan. Sehingga, bisa dipahami bahwa pemimpin saat ini di mata masyarakat hanyalah posisi jabatan sementara, dan ketika periode berkuasa telah usai, maka akan diperebutkan oleh orang lain.
Tri Mulyana kemudian memberikan kesempatan kepada Nafis, salah satu penggiat Maneges Qudroh untuk bercerita sedikit tentang Maneges Qudroh yang merupakan salah satu simpul Maiyah di Magelang. Nafis sendiri mengenal Maiyah di Malang ketika masih kuliah S1, bersama Maiyah Relegi (Rebo Legi), yang kemudian beberapa kali juga menghadiri Padhangmbulan. Ia baru bergabung dengan Maneges Qudroh setelah menyelesaikan studi S1 nya di Malang. Nafis bercerita bahwa Maneges Qudroh adalah sebuah nama yang diberikan oleh Cak Nun, yang terisnpirasi dari kisah Anoman. Berkenaan dengan dipilihnya nama ini, salah satu nilai yang diharapkan bisa diambil adalah Maneges Qudroh mampu mengambil pelajaran dari Anoman dalam perilaku tirakatnya. Anoman adalah salah satu tokoh dalam dunia pewayangan yang tirakatnya bisa dikatakan paling berat.
Tentang tema Kenduri Cinta kali ini, Nafis menarik benang merah ke dalam salah satu tulisan Cak Nun; “Pusaka Satria”, dimana dalam tulisan tersebut Cak Nun menjelaskan tujuh poin yang pada intinya berpesan kepada bangsa ini agar jangan sampai kehilangan pusaka sama sekali. Dan, salah satunya adalah dengan belajar kepada sejarah masa silam, sebab di dalam belajar kepada masa silam terdapat pijakan untuk menuju masa depan.
Ali Fatkhan dari Gambang Syafaat bercerita bagaimana simpulnya saat ini sudah aktif menghidupkan gerakan ekonomi kemandirian, dimana salah satu produknya adalah Kopi Gambang Sayafaat. Ali berpendapat, dalam setiap Maiyahan, mayoritas jamaah yang hadir itu ngopi dan sebagian lagi juga merokok. Penggiat Gambang Syafaat melihat bahwa ada peluang ekonomi sehingga mereka berinisiatif untuk memproduksi Kopi Gambang Syafaat yang tentu saja keuntungannya menjadi pemasukan bagi Gambang Syafaat.
Magnet Maiyah
Dari kehadiran para penggiat Maiyah di beberapa simpul, Ibrahim mencoba menggali lebih dalam uraian Ali Fatkhan, bahwa Maiyahan saat ini begitu diminati oleh masyarakat, tidak hanya di Kenduri Cinta. Simpul-simpul Maiyah telah bermunculan di beberapa daerah. Apa sebenarnya yang menjadi magnet bagi Maiyah sehingga saat ini begitu diminati oleh banyak orang untuk didatangi?
Ali Fatkhan merespon pertanyaan Ibrahim dengan bercerita bahwa di Gambang Syafaat ada salah satu jamaah asal Salatiga yang selalu duduk di shof pertama, namanya Bagus. Satu hal yang unik dari Bagus ini bahwa setiap orang yang berbicara di depan selalu saja ditimpali dan disanggahnya, tidak terkecuali Cak Nun. Ali pernah bertanya kepada Bagus, apa yang melatarbelakanginya untuk hadir di Gambang Syafaat, dan dengan enteng Bagus menjawab, “saya nggak tahu, pokoknya saya nyalain motor, saya naiki, terus saya sampai di sini.” Dari cerita ini, Ali hendak menjelaskan bahwa Maiyahan memiliki magnet yang tidak terdefiniskan, yang membuat orang mau berdatangan ke Maiyah.
Dari Jamparing Asih, Faqih yang merupakan penggiat simpul Maiyah pertama di wilayah Sunda, mengakui sejauh ini masih mencari pola-pola yang tepat. Karena, secara budaya, sosiologis dan kulturnya sangat berbeda dengan simpul-simpul Maiyah yang lainnya. Satu contoh yang ada di Jamparing Asih adalah Maiyahan yang berlangsung tidak mungkin dilakukan sampai jam 3 dinihari atau sampai menjelang subuh. Sebab, kultur yang terbangun di wilayah Sunda tidak sama dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sudah terbiasa begadang sampai pagi. Pola-pola ini yang masih terus dipelajari oleh Jamparing Asih untuk menemukan pola yang tepat bagaimana mengemas Maiyahan di wilayah Sunda agar mampu merangkul semua lapisan masyarakatnya. Jamparing sendiri memiliki arti “Panah” dan “Asih”, kasih Sayang dan Cinta, sehingga nama Jamparing Asih dimaksudkan Maiyahan yang berlangsung merupakan transformasi cinta dan kasih sayang yang sangat mendalam terjadi di antara jamaah yang hadir.
Faqih juga menjelaskan keutamaan bermesraan dalam sebuah forum, dimana saat ini tampak sekali orang-orang dalam berdiskusi bukan berdasarkan semangat untuk mendengarkan satu sama lain, tetapi gengsi untuk membantah satu sama lain. Jadi, orang yang hadir dalam sebuah forum diskusi mau mendengarkan pendapat orang lain bukan dalam rangka untuk benar-benar mendengarkan, tetapi disaat yang bersamaan ia juga menyiapkan amunisi untuk membantah pendapat orang lain itu.
Untuk hal tersebut, Faqih menekankan pentingnya tradisi literasi sebagai salah satu cara untuk menghancurkan budaya gengsi. Dengan tulisan, setidaknya orang akan memiliki waktu lebih panjang untuk menelaah apa yang ia baca, dan jika kemudian seseorang hendak membantah tulisan tersebut, itu juga akan memaksanya untuk lebih berkorban dalam menuliskan bantahannya agar diketahui oleh banyak orang.
Syamsul dari Maiyah Ambengan Lampung, sebuah simpul yang masih berusia sangat muda, 9 bulan, bercerita sedikit tentang Maiyah Ambengan. Ada satu hal yang bagi Syamsul cukup dapat dihikmahi di Maiyah, bahwa senantiasa Cak Nun mengajarkan bahwa ketika berbuat sesuatu, sekecil apapun jangan mengutamakan hasilnya, tetapi menikmati prosesnya.
Pada awalnya, Maiyah Ambengan dilaksanakan tepat satu hari setelah Kenduri Cinta, dengan harapan Cak Nun usai dari Kenduri Cinta dapat langsung menuju Lampung. Akan tetapi, bersama berjalannya waktu, jadwal Maiyahan di tempat lain akhir-akhir ini seringkali berlangsung dalam hari yang sama, dan Cak Nun belum memiliki kesempatan hadir di Maiyah Ambengan. Beberapa waktu yang lalu Syamsul telah berkomunikasi dengan Cak Nun, dan salah satu yang dibicarakan adalah harapan bahwa Cak Nun bersama Kiai Kanjeng semoga segera bisa bersilaturahmi dengan jamaah Maiyah Ambengan di Lampung.
Berbicara tentang kepemimpinan, Syamsul melihat bahwa di Maiyah setiap yang hadir bisa dikatakan sudah lulus dalam urusan kepemimpinan, minimal dalam memimpin dirinya sendiri. Satu contoh yang digambarkan oleh Syamsul, bahwa dalam setiap Maiyahan laki-laki dan perempuan berkumpul tanpa ada sekat, memilih duduknya sendiri, dan semuanya menikmati forum Maiyahan tanpa ada perasaan risih, takut, segan. Karena semua sudah menyadari ketika hadir di Maiyahan yang dibawa adalah manusianya, bukan jenis kelaminnya.
Syamsul sendiri adalah jamaah Kenduri Cinta sejak awal, bahkan sejak era Cak Nun tinggal di Kelapa Gading. Saat itu Syamsul bersentuhan dengan Cak Nun melalui forum-forum Maiyah yang belum seperti saat ini. Di Maiyah Ambengan sendiri, Syamsul bersama teman-temannya memiliki kelompok musik gamelan Jamus Kalimasada, yang spiritnya terinpirasi dari Gamelan Kiai Kanjeng.
Ust. Noorshofa, yang sudah cukup lama tidak hadir di Kenduri Cinta, kemudian urun memaparkan materinya terkait tema Pemimpin Kepemimpinan. Satu cerita awal yang juga patut diteladani adalah kisah Nabi Yusuf, dimana beliau memohon kepada Allah agar dicabut nyawanya ketika menjadi penguasa. Beliau tidak meminta dicabut nyawanya ketika dimasukkan ke dalam sumur oleh saudar-saudaranya, Beliau tidak meminta dicabut nyawanya ketika di penjara, melainkan Beliau meminta dicabut nyawanya ketika Beliau berkuasa. Dari kisah ini Ust Noorshofa mengambil satu hikmah bahwa puncak kenikmatan seorang hamba adalah pertemuannya dengan Allah, bukan ketika menjadi seorang pemimpin yang berkuasa.
Tentang mimpi, menurut Ust. Noorshofa, merupakan salah satu anugerah dimana Allah memberikan kita kesempatan untuk merasakan sesuatu yang tidak bisa kita rasakan di dunia nyata. Seringkali ketika kita tidur, kita bermimpi tentang hal-hal yang indah, yang tidak kita rasakan ketika kita bangun. Mimpi, juga bagi sebagian Nabi, menjadi salah satu petunjuk dari Allah untuk melakukan sesuatu. Nabi Ibrahim misalnya, diberikan petunjuk oleh Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail, melalui sebuah mimpi. Dan, ketika Nabi Ibrahim menyampaikan isi mimpi beliau kepada Nabi Ismail, Nabi Ismail menjawab lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu wahai Ayahku.
Dari kisah Nabi Ibrahim ini kita dapat ambil hikmah tentang kemampuan memposisikan diri sebagai Pemimpin bagi Nabi Ismail. Peristiwa meminta pendapat tentang mimpi yang dialami Nabi Ibrahim kepada putra beliau adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya pemimpin mengutamakan rakyat yang dipimpinnya ketika mengambil satu keputusan yang menentukan nasib orang yang dipimpinnya. Sedangkan saat ini, bahkan sosok pemimpin dalam keluarga pun sudah luntur, kharisma seorang ayah di dalam sebuah keluarga sering kalah oleh gadget, motor, televisi dan oleh banyak hal lainnya. Anak-anak muda sudah luntur kesadarannya untuk menghormati orang yang lebih tua.
Dari Nabi Ibrahim dan Ismail, Ust Noorshofa selanjutnya mengambil hikmah dari kisah Nabi Musa yang dikenal sebagai Nabi yang sangat cerdas, sehingga Allah kemudian mempertemukannya dengan Nabi Khidir. Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah itu adalah meski betapa cerdasnya seorang manusia, sesungguhnya kecerdasannya itu tidak ada apa-apanya dibanding Ilmu Allah yang bertebaran di alam semesta ini. Sehingga, sifat utama dalam diri Rasul adalah Siddiq, kejujuran yang merupakan lambang dari Akhlak.
Di Maiyah sudah sejak lama ditekankan bahwa akhlak berada di atas hukum, sehingga salah satu edisi Maiyahan Cak Nun dan Kia iKanjeng bersama KPK di Yogyakarta beberapa tahun lalu mengangkat tema; “Negara Hukum, Manusia Akhlak”, hal ini disebabkan posisi hukum berada di bawah akhlak. Seseorang dengan akhlak yang mulia tidak memerlukan pertimbangan hukum untuk tidak mencuri. Sebab, manusia yang sejati adalah manusia yang memiliki perangai mulia sehingga dalam dirinya tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakiti orang lain.
Membahas lebih detail tentang kepemimpinan, Ust. Noorshofa menarik garis sejarah Khulafaur Rasyidin ketika memimpin. Jika anda hendak menjadi pemimpin, contohlah akhlak Rasulullah, contohlah akhlak para sahabat Rasul. Manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan menyebut kezuhudan Abu Bakar sebagai orang yang tidak menginginkan dunia dan dunia juga tidak menginginkan Abu Bakar. Laa yuridu-d-dunya wa lam turidhu.
Salah satu hikmah dari kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang sangat terkenal adalah beliau merubah kutipan dalam khutbah yang sebelumnya selalu terdapat kalimat-kalimat yang melaknat sahabat Rasulullah SAW. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghapus kalimat-kalimat umpatan itu dengan kalimat yang berbunyi; innallaha ya’muru bi-l-‘adli wa-l-ihsaani wa itaa i dzi-l-qurba wa yanha ‘ani-l-fakkhsyaa i wa-l-munkar wa-l-baghy ya’idzukum la’allakum tadzakkaruun.
Itulah kebijakan yang sangat indah untuk kembali mempersatukan umat Islam oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebelumnya, ia dikenal sebagai orang yang menonjolkan kemewahan, tetapi setelah menjadi seorang khalifah, segala kemewahan beliau tinggalkan, dan justru menjadi lebih dekat dengan rakyatnya ketika menjabat sebagai khalifah. Tentu budaya ini sangat berbeda dengan apa yang kita lihat saat ini, dimana orang yang mencalonkan dirinya sebagai pemimpin melakukan blusukan untuk mendapat simpati dari para pemilih menjelang pemilihan umum berlangsung.
Ust. Noorshofa menyindir perilaku masyarakat saat ini yang seringkali memberikan perbandingan mana yang baik antara pemimpin kafir yang tidak korupsi dengan pemimpin muslim tetapi korupsi. Menurutnya kedua hal tersebut tidak bisa diperbandingkan karena memiliki parameter yang berbeda. Jika ingin membandingkan adalah dengan parameter yang sama; pemimpin muslim dengan pemimpin muslim, dan pemimpin kafir dengan pemimpin kafir. Baru kemudian dimasukkan parameter selanjutnya, yaitu korupsi. Sehingga perbandingan yang seharusnya adalah antara pemimpin muslim yang tidak korupsi dengan pemimpin muslim yang korupsi atau pemimpin kafir yang tidak korupsi dengan pemimpin kafir yang korupsi.