Pekerjaan Mulia di Tengah Keadaan Negara yang Seperti Ini
Semalam bertempat di bumi perkemahan Girikerto Turi Sleman telah berlangsung pelantikan anggota baru SAR DIY yang berjumlah sekitar seribu orang. Acara yang mereka ikuti ini bertajuk “Sisir Merapi Cintai NKRI”. Sebelum dilantik, mereka terlebih dahulu harus mengikuti serangkaian pelatihan dan pendidikan oleh Disaster Unit SAR DIY. Dan untuk memantapkan apa yang sudah diterima, mereka diajak menyimak pembekalan oleh Cak Nun selaku Ketua Dewan Syuro SAR DIY.
Melalui pembekalan ini, dengan didampingi Komandan SAR DIY Brotoseno, Cak Nun meyakinkan kepada para anggota baru ini bahwa apa yang mereka lakukan dengan menjadi anggota SAR ini adalah pekerjaan mulia. Kata mulia, sebagaimana sering di-pengertian-kan oleh Cak Nun, punya makna yang lebih presisi. Yaitu mau mengerjakan hal-hal yang sebenarnya “tidak wajib”. Di situlah kemuliaan terletak. Dalam bahasa hukum Islam, hal itu setara posisinya dengan mau melakukan pekerjaan Sunnah dan Fardhu Kifayah. Meskipun sayang, bahwa kebanyakan kita mengambil sunnah pada ‘tak wajibnya’ dan fardhu kifayah pada ‘yang penting sudah ada yang melakukannya’. Kita belum membiasakan diri melihat nilai mulia-nya pada keduanya.
Kemuliaan itu bagi Cak Nun ternyata bersifat dinamis dan konteksual terhadap keadaan. Artinya, ada kondisi-kondisi yang menyebabkan bobot kemuliaan itu makin tinggi. Dalam hal ini sebagai contoh adalah keadaan negara kita. Cak Nun mengawali pembekalannya itu dengan memancing pertanyaan kepada mereka, yakni di tengah keadaan negara yang seperti ini, makin tidak berdaulat dan makin parah oleh penjajahan global, mengapa mereka mau mendaftarkan diri menjadi anggota SAR. Dari situlah, para anggota baru SAR ini selanjutnya Cak Nun menguraikan berbagai sisi dan dimensi dari pekerjaan mulia.
Bahwa selama ini kita hanya diperintahkan untuk melakukan kebaikan, namun tidak dilatih untuk menemukan nikmatnya berbuat baik. Sehingga sesungguhnya jika kita sudah tahu nikmatnya berbuat baik meskipun tidak diperintah, kita akan tetap melakukannya. Misalnya menolong orang lain. Bahwa tidak selalu melakukan sesuatu itu harus ada motivasinya, sama seperti ayam yang berkokok, ya berkokok saja. Bahwa ketika memutuskan melakukan kemuliaan, kita juga harus siap untuk tidak dilihat orang. Sebagaimana mesin mobil, pondasi bangunan, atau koki warung, mereka tak terlihat dari luar, tapi justru vital fungsinya.
Para anggota baru SAR ini lantas diajak memahami secara esensial bahwa sembahyang atau shalat itu ibadah, demikian pula dengan bekerja. Yang membedakan adalah bentuk dan aplikasinya. Bekerja dalam artian menggerakan atau mendayagunakan tangan kaki badan pikiran untuk mewujudkan kebaikan. Mereka diajak pula untuk menyadari bahwa dalam kehidupan ini kita perlu mengerti lima nilai, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah, tetapi untuk terapan yang lebih luas. Mereka perlu tahu mana yang wajib, mana yang haram, dan seterusnya.
Dengan penghayatan dan pemetaan yang demikian itu, Cak Nun menyampaikan bahwa keberadaan mereka di SAR tak hanya berguna bagi banyak orang, tetapi berguna bagi diri mereka juga. Lebih mendalam lagi, para anggota baru SAR diingatkan dan diperkenalkan pada paradigma hidup. Dua paradigma dalam hal ini, yang satu kerap kebalik, satunya lagi belum banyak disadari dan diformulasikan. Pertama, skala prioritas bahwa tujuan hidup adalah akhirat, bukan dunia. Prioritas utama adalah akhirat, dunia adalah kedua. Gambaranya adalah Tuhan berkata, “Dalam perjalananmu mencari Aku, kamu jangan lupa dunia”. Kedua, masa depan manusia adalah keabadian. Manusia akan hidup abadi. Kematian hanyalah perpindahan dimensi. Manusia tak bisa mengelak dari keabadian. Kholidiina fiha Abada.
Dalam bahasa yang lain, Cak Nun mengatakan bahwa mereka para anggota SAR ini ‘Pekerjaannya adalah Satria, dan rohaninya adalah Brahma’. Mereka memilih pekerjaan mulia, tidak mencari laba, dan siap tidak umuk. Selaku ‘ayah’ bagi mereka, Cak Nun memuji dan membakar semangat mereka, “Kalian adalah patriot. Cinta kalian kepada NKRI berkobar siang dan malam. Kalian dijadikan orang Indonesia itu Allah yang menentukan. Jadi cinta NKRI itu wajib. Rumahmu itu NKRI, Islam atau agama itu sangumu untuk mamayu hayuning NKRI.”
Seribu anggota baru SAR itu kebanyakan adalah anak-anak muda yang berasal dari berbagai wilayah di DIY. Dengan suasana yang meriah dan penuh kesiapsiagaan, mereka menikmati pembekalan yang hidup karena dibangun dan dimulai dengan keaktifan mereka dalam bertanya. Atmosfer yang terbentuk pun adalah diskusi atau dialog. Dan ini membawa mereka mempelajari banyak hal, sampai ke soal empat jenis manusia berdasarkan seberapa banyak yang diketahui, mana yang lebih penting antara pinter dan apik, dan bahwa apik akan lebih bermanfaat kalau juga pinter. Sementara kalau pinter saja akan berbahaya. Cak Nun sendiri menggambarkan kepada mereka, “Saya bukan orang pinter, saya hanya sregep.” (adn/awn/hm)