Pedukuhan Indonesia
Tahqiq“...Semakin resmi bangsa kita menjadi jongos dari Tuan-Tuan Penjajah yang mereka tidak pahami. Mungkin yang kita sebut Negara ini de facto-nya sebenarnya hanyalah sebuah Provinsi, dengan daya tawar sebuah Pedukuhan....”
Pertemuan berkala anak-anak muda dengan Pakde Pakliknya itu ternyata berlangsung lebih sering dari yang direncanakan dan dibayangkan. Karena dinamika tema-temanya. Terutama karena urgensi permasalahan yang didiskusikannya. Rasanya mereka seperti menyimpan kecemasan jangan-jangan besok ketika mereka bangun pagi, Negara mereka sudah tidak ada, tinggal Negerinya yang terbengkalai, yang tersisa hanya sampah, kekumuhan, penderitaan, dan penyesalan.
Kalau melihat keadaan sehari-hari, di jalan-jalan, kampung-kampung dan di mana saja, semuanya seakan serba normal, baik-baik saja. Orang senyum-senyum di sana sini. Banyak wajah sengsara karena berbagai kesulitan, tapi mereka selalu sanggup menaklukkan penderitaan di dalam diri mereka.
Padahal harta benda Negeri ini sudah semakin bukan milik mereka lagi. Padahal martabat kebangsaan mereka sudah semakin terkikis. Robot Penjaga Pintu Kedaulatan sangat patuh dan rajin membukakan pintu lebar untuk berbagai jenis Pasukan dari luar, untuk dipersilakan melakukan penguasaan, penjajahan, penipuan, dan perampokan semau-mau mereka.
Ada Pasukan Harimau yang berpakaian lembu. Ada Pasukan Babi yang berkostum kambing. Ada Pasukan Siluman yang pakai dasi profesional. Ada berjenis-jenis Pasukan lagi yang para penduduk Negeri ini tidak mengetahuinya, tidak menyadarinya, dan tidak tersentak kaget sedikit pun kalau hal itu diberitahukan kepada mereka. Ini sungguh-sungguh bangsa yang dari satu sisi bisa dibilang sedemikian parah buta dan tulinya. Dari sisi lain sangat ekstrem ketidakacuhan dan kedunguannya. Atau dari sisi lain-lain sangat ajaib dan mengerikan.
“Yang mana yang membuat Pakde tertawa? Solusi dari dirinya sendiri?”, tanya Toling, menuntaskan hal yang menyangkut pernyataan Ndusin Pakdenya.
“Solusi dari zamannya sendiri”, jawab Ndusin dengan tertawa lagi, “buktinya dari era ke era, dari zaman ke zaman, tak ada solusi yang lahir dari zamannya sendiri. Bahkan bukan hanya tidak ada produksi solusi, lebih mengasyikkan lagi: justru selalu menambah permasalahan”
“Belum paham benar saya Pakde”, Toling mengejar lagi.
“Dulu kepemimpinan pertama sesudah kemerdekaan, gegap gempita siang malam tak berhenti progresif revolusioner. Hasilnya rakyat kesulitan sembako dan revolusi tiba-tiba distop menuju sebuah Orde. Kepemimpinan yang baru itu bikin Pembangunan Bertahap Lima, hasilnya kecanggihan tradisi korupsi para pengurusnya, sehingga akhirnya krisis dan direformasi. Semua mengira Reformasi adalah solusi, ternyata itu era penyempurnaan kehancuran, pencurian, kerusakan moral mental spiritual intelektual dan semua apa saja, susah mencari yang tidak rusak. Era-era penyempurnaan kehancuran itu digilir oleh kepemimpinan yang naif, kemudian yang tak mau repot, kemudian kepemimpinan nggaya dan serba citra, dan akhirnya seluruh faktor itu dipuncaki dengan dimensi yang sangat manusiawi: yakni kebodohan dan ketidakberdayaan…”
“Samar-samar saya mencoba menggambar ulang di benak saya, Pakde…”, Seger menyela.
“Dan sekarang ini seluruh komplikasi penyakit itu sudah lengkap diderita oleh bangsa kita: keterpurukan ekonomi yang semakin permanen, jumlah utang sampai setinggi langit ketujuh, kepemimpinan yang direkayasa dan disandera, seperti jailangkung atau robot yang dikendalikan semau-mau pemegang remote-nya….”
“Agak sedikit lebih jelas, Pakde”, Jitul menyela.
“Tinggal pilih istilah apa kalian kaum muda yang kelak akan mewarisi chaos kehidupan yang luar biasa. Bisa pakai Pemerintahan Boneka. Bisa gunakan term poliandri: Negaramu adalah janda bahenol yang digundik oleh dua suami-suamian sekaligus. Bukan hanya berbagai libido, berbagai akses dan aset harta benda, berbagai penunggangan kedaulatan dan tipudaya. Tapi pada saatnya nanti Negara kalian akan dimutilasi….”
“Sampai sebegitunya Pakde?”, Junit juga menyela.
“Minimal dibelah jadi dua, masing-masing akan diperkosa sepanjang masa oleh dua suami-suamian itu. Semakin resmi bangsa kita menjadi jongos dari Tuan-Tuan Penjajah yang mereka tidak pahami. Mungkin yang kita sebut Negara ini de facto-nya sebenarnya hanyalah sebuah Provinsi, dengan daya tawar sebuah Pedukuhan….”
“Maaf, Pakde”, Toling menyela, “kalau memang sedemikian tak ketulungan-nya keadaan Negara dan Bangsa kita ini, kenapa output keadaan yang mengerikan itu adalah tertawa dan mentertawakan diri pada Pakde Paklik semua serta Mbah Markesot?”.