PadhangmBulan, Sumur Kesadaran
Hawa dingin yang menusuk tidak membuat jamaah Kenduri Cinta beranjak meninggalkan acara. Entah jenis kesetiaan macam apa yang mereka miliki hingga masih rela berkumpul di Taman Ismail Marzuki, meski waktu sudah menggelinding ke dinihari. Jumlahnya mungkin ribuan. Sebagian besar duduk memenuhi pelataran, selebihnya berpencar ke sudut-sudut kawasan dan merimbun di sekitar gerbang yang berbatasan dengan jalan Cikini Raya. Perhatian mereka tertuju pada arah yang sama: panggung pendek tempat Cak Nun, Syeikh Nursamad dan Sabrang menyampaikan ulasan terkait tema khusus bulan itu, “Gerbang Wabal”. KiaiKanjeng yang berkesempatan hadir, menyelingi dengan lantunan irama-irama hangat, memantik senyum dari wajah-wajah yang bersikeras melawan kantuk. Beberapa jam sebelumnya, hadirin telah hanyut dalam kekhusyukan wirid tahlukah. Rangkaian permohonan kepada Allah tersebut dihaturkan secara serempak, agar diselamatkan dari kezaliman-kezaliman yang tengah menggerogoti negeri.
Malam di awal tahun 2016 itu memang istimewa. Dari pukul 20.00, tumpah-ruah manusia berbaur khidmat. Layaknya potret kecil Indonesia yang diidamkan. Mereka berasal dari beragam kalangan. Datang dari berbagai penjuru. Berpadu dalam ketertiban yang alamiah. Lelaki, perempuan hingga anak-anak. Tidak ada histeria dan ekspresi-ekspresi berlebihan yang terlontar. Semuanya berada dalam pengendalian diri yang utuh, bahkan tanpa perlu diikat dengan pasal-pasal yang memaksa supaya teratur.
Sekian puluh menit menjelang subuh, perhelatan diakhiri. Ratusan jamaah serta-merta bangkit, lalu mengerubungi Cak Nun untuk bersalaman. Tak sedikit yang memeluk seraya menangis. Seperti sedang meluapkan pendaman keluh, rindu sekaligus harapan dalam bahasa tubuh yang spontan. Keharuan berpendar diiringi sahutan shalawat. Sejumlah pegiat Kenduri Cinta mencemaskan kekokohan panggung yang kapan saja bisa ambruk lantaran tak kuat menampung kerumunan. Ini benar-benar di luar dugaan. Bersalaman seusai acara memang rutin dilakukan. Tapi dengan manusia sebanyak itu, hingga membuat panggung berdecit, bukanlah peristiwa lumrah di Kenduri Cinta. Biasanya, hanya puluhan saja yang mendekat, sedang selebihnya langsung pulang. Hingga kurang lebih setengah jam kemudian, saat Cak Nun sudah turun dari panggung, masih membludak orang yang berusaha merangsek untuk sekadar menyentuhnya. Beberapa pegiat langsung sigap membatasi dan segera membawa Cak Nun menjauh. Sebab jika semua dituruti, barangkali hingga matahari terbit sekalipun, Cak Nun bakal urung beristirahat.
Setidaknya, dalam empat tahun terakhir, animo seperti itu meningkat. Tidak hanya dalam agenda rutin yang diselenggarakan oleh simpul-simpul Maiyah, namun juga di berbagai daerah yang menggelar acara serupa. Selalu ada pemandangan yang sama tiap kali Cak Nun dan KiaiKanjeng berkunjung untuk Maiyahan. Baik itu di kota-kota maupun pelosok kampung. Duyunan manusia akan tampak menyesaki gedung atau tanah lapang lokasi penyelenggaraan. Antrean orang yang ingin memeluk serta mencium tangan Cak Nun pun kian panjang. Antusiasme yang mencengangkan.
Seperti ada kegelisahan kolektif yang menjalar dan ingin segera diatasi. Semacam keletihan massal akibat perseteruan politik berlarut-larut sebelum dan sesudah pemilu 2014. Makin menganganya jurang kesenjangan ekonomi maupun ancaman konflik-konflik sosial, turut andil menaikkan intensitas. Masyarakat butuh tempat rindang untuk merebahkan kelelahannya. Atau sekadar mengadukan penderitaan kepada sosok yang benar-benar murni berjuang untuk orang-orang tertindas. Cak Nun lantas menjadi pilihan. Menghadiri Maiyah adalah salah satu cara mereka untuk menemukan jamu dari semua kepayahan itu. Mereka betah menyimak berjam-jam, bahkan ketika cuaca sedang buruk sekalipun. Hingga sekarang, di ujung tahun 2016, gejala seperti itu kian meruyak.
Nyaris tiap hari Cak Nun berkeliling. Menemani ribuan sampai puluhan ribu rakyat sembari membantu mereka merintis jalan keluar atas persoalan-persoalan yang membelit. Boleh disebut, hampir 40 tahun terakhir ini Cak Nun konsisten mengerjakan itu. Dengan lebih dari separuhnya disertai oleh KiaiKanjeng, Perjuangan yang amat panjang. Diingat atau dilupakan, pengabdian tetap terus dijalankan. Sebab dari satu kekuasan ke kekuasaan lain, nasib rakyat Indonesia masih terayun limbung. Banyak pekerjaan rumah pemerintah yang terbengkalai dan entah kapan bakal dituntaskan. Hukum masih timpang, situasi politik pusat dan daerah sering ricuh dengan perebutan kepentingan kelompok, pemenuhan kesejahteraan untuk rakyat masih tersendat-sendat. Semua campur-baur bersama hiruk-pikuk era teknologi informasi yang justru kian membuyarkan ketulenan informasi.
Fenomena tersebut mirip dengan keresahan yang merebak, jelang masa akhir kekuasaan orde baru. Kala itu, Cak Nun beserta keluarga secara teratur menggelar forum pengajian dan diskusi yang diberi nama PadhangmBulan. Lokasinya di desa Menturo, Sumobito, Jombang. Saban bulan di tanggal 15, puluhan ribu manusia berbondong-bondong menghadiri. Pelataran rumah yang dijadikan pusat acara, sampai tak mampu menampung. Massa tumpah hingga jalanan. Kepadatan mengular sejauh ratusan meter. Antara tahun 1996 hingga 1998, orang-orang yang bertandang ke sana pernah mencapai angka 50.000 lebih. Mereka berangkat dari aneka lapisan sosial. Tak jarang, tokoh-tokoh populer turut hadir. Dari kalangan selebritas, intelektual, politisi, hingga kiai-kiai yang namanya sudah kondang atau belum pernah didengar sama sekali di telinga publik. Warga sekitar yang membuka lapak dagangan turut diuntungkan. Sajian mereka laku keras. Ekonomi lokal menggeliat.
Sejak awal dihelat, yaitu pada Oktober 1993, PadhangmBulan memang membuka diri bagi siapapun yang mau datang. PadhangmBulan menjadi wahana untuk merembug persoalan-persoalan yang melanda orang banyak. Muara beragam pendapat yang lantas dielaborasi dengan kesegaran cara berpikir. Termasuk mengenai kahanan sosial, ekonomi dan politik waktu itu yang sedang gonjang-ganjing. Cak Nun disertai saudara-saudaranya, Cak Ahmad Fuad Effendi, Cak Adil Amrullah dan Cak Nasrullah menjadi narasumber tetap yang mengawal dialog. Keempatnya adalah figur-figur intelektual yang menjaga jarak dari aroma keserakahan orde baru. Cak Fuad pandai mengupas metodologi memahami Al Qur’an. Cak Dil jitu memetakan strategi-strategi gerakan sosial. Cak Nash mumpuni di bidang pendidikan dan manajemen organisasi. Sedang Cak Nun sendiri, yang sudah dikenal luas lewat tulisan dan ceramahnya, merupakan sosok multiprespektif yang mengkaji perihal pembenahan cara berpikir.
Nuansa guyub kental terasa. Sengaja, panggung ditiadakan demi mendekatkan jarak antara pengulas dan penyimak. Semua orang lesehan, membuat suasana jauh dari kesan kaku. Tata letak ini, mendorong orang akrab satu sama lain. Kejengahan tertepis, sehingga setiap yang datang tidak sungkan untuk berbicara. Entah itu melontar pendapat atau hanya mengajukan pertanyaan. Ketika di berbagai tempat orang-orang takut meyanggah penguasa, cemas menggugat keadilan, khawatir mempertanyakan perkara-perkara agama yang sensitif, PadhangmBulan justru memberi keleluasaan. Masyarakat yang sekian lama terkungkung oleh otoritarianisme pemerintah, layaknya mendapat tempat yang aman untuk mengadu. Mereka merasa terlindung dan seperti memperoleh kawan seiring yang mau menampung keluh kesahnya. Semua orang duduk sejajar dalam lingkaran kebersamaan demi menggapai ridlo Allah. Maiyatullah.
Pada setiap pertemuan, tak henti-hentinya Cak Nun membesarkan hati masyarakat. Menyemangati mereka agar tidak patah arang, tetap kerja keras, menjernihkan hati juga pikiran serta senantiasa optimistis terhadap kasih sayang Allah. Sebab masa depan Indonesia terletak pada kekuatan tekad dan kemurnian niat rakyatnya. Cak Nun yang sejak dekade 1980-an terlibat dalam aktivitas-aktivitas advokasi masyarakat tertindas, tahu betul bahwa rakyat Indonesia memiliki ketangguhan linuwih. Hanya saja, nasib mereka babak belur akibat keberingasan penguasa. Keseharian rakyat yang sudah ribet dengan pemenuhan aneka kebutuhan, masih harus direpotkan dengan kekangan dan tekanan pemerintah. Sementara itu, orang-orang yang pernah berkoar memihak mereka, banyak yang ingkar setelah merasakan manisnya harta dan jabatan. Tentu saja, rakyat merasa dikhianati.
Saat Cak Nun tetap teguh membela kaum yang dizalimi, masyarakat merasa menemukan sosok yang benar-benar bisa dipercaya. Bagaimana tidak? Seusai menginisiasi penurunan presiden Soeharto, Cak Nun mundur dari hiruk-pikuk lalu menempuh jalan sunyi. Selama reformasi bergulir, Cak Nun dan sejawatnya, Cak Nurcholis Madjid, memang berikrar untuk menolak seluruh tawaran jabatan politis. Ketika mendapati banyak tokoh lain yang justru berebut jabatan dan lapar terhadap kelegitan kekuasaan, keduanya mengelus dada. Pada akhirnya, reformasi hanyalah ajang bancakan belaka. Masyarakat melihat sikap Cak Nun tersebut sebagai konsistensi yang langka. Maka wajar bila seiring waktu mereka mencintai Cak Nun, menghormati dan tak segan untuk mencium tangannya.
PadhangmBulan ibarat sumur yang menyediakan kejernihan gagasan bagi mereka yang mau menyiduknya. Sumber air yang tidak membeda-bedakan siapapun yang singgah. Inilah media sosial yang sebenar-benarnya. Muka ketemu muka. Argumentasi bersambut argumentasi. Setiap pembicaraan mengandung makna serta dekat dengan persoalan sehari-hari. Bahasannya membuka cakrawala berpikir dan menghasilkan langkah-langkah implementasi. Bukan semata ajang obrol kosong atau gelanggang perbantahan tak tentu arah.
Di kemudian hari, air dari padhang mBulan itu menggenangi kolam-kolam penyejuk umat di daerah-daerah lain. Forum-forum Maiyah hadir dimana-mana sebagai organisme yang tak henti mengolah hidup supaya lebih bermanfaat bagi lingkungan yang lebih besar. Di Yogyakarta berdiri Mocopat Syafaat. Di Jakarta lahir Kenduri Cinta. Paparandeng Ate bertunas di Mandar, Sulawesi Barat. Bangbang Wetan terbit di Surabaya. Gambang Syafa`at mengalun di Semarang. Relegi berlangsung di Malang. Juguran Syafaat terselenggara di Purwokerto. Belakangan disusul dengan bertunasnya simpul-simpul lain seperti Jemparing Asih di Bandung, Majlis Gugur Gunung di Ungaran, Maneges Qudroh di Magelang, Waro’ Kaprawiran yang meliputi kawasan Madiun-Ponorogo-Magetan-Ngawi-Pacitan. Tersebut pula Komunitas Maiyah Ambengan di Lampung, Suluk Pesisiran di Pekalongan, Maiyah Pemalang dan Kidung Syafaat di Salatiga.
Hari ini, PadhangmBulan berusia 23 tahun. Masa yang panjang telah dilalui. Saat yang sama, arus kesejukan dan kebijaksanaan yang berhulu darinya, terus mengalir ke sanubari umat. Barisan jamaah yang bersila di halaman Ndalem Kasepuhan Menturo tetap tekun mencerap hikmah-hikmah yang ditabur. PadhangmBulan bukan sekadar nama forum, namun telah menjadi inspirasi tentang kesetiaan untuk mengayomi mereka yang dikalahkan. Menaungi mereka yang memilih hidup dalam kemurnian meski harus diasingkan modernitas. Penyuntik energi bagi mereka yang tabah mengusahakan keutuhan di tengah gemuruh keterceriberaian. Meneguhkan mereka yang tetap tangguh walaupun dilindas kezaliman, PadhangmBulan adalah sumur ilmu, tempat menimba kesadaran supaya tak lelah menjalani rakaat perjuangan yang masih panjang.