Orang-orang Cahaya
Di Kegelapan Siang
Ta’qid“...Ketiga, mereka menyangka bahwa cahaya adalah yang tampak oleh mata mereka”
“Jadi, Mon”, Markesot berbisik ke telinga Saimon, “sebaiknya kamu segera balik ke Kiai Sudrun, laporkan kepada beliau bahwa saya tidak lulus melaksanakan pesan beliau. Sebagaimana anak-anak muda yang berhimpun di arena ini, saya sudah tidak lagi menyentuhkan tangan saya ke wilayah-wilayah yang beberapa puluh tahun silam saya tekuni dan saya sayangi”
“Ah. Putus asa kamu Sot”, Saimon tersenyum.
“Saya mau bersentuhan dengan anak-anak di arena ini karena mereka memilih dekat dengan Ibunya. Mereka terus belajar dan bekerja dengan murni untuk mencintai dan membangun masa depan Ibu Pertiwi, justru karena Negara dan Pemerintah, si Bapak, belum mampu berbuat lain kecuali merusak dan menyakiti Ibu”
“Ah over-romantic, Sot”
“Coba kamu bilang over-romantic untuk kalimat kesimpulan berikut ini: Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un….”
“Kurang ajar kamu”, Saimon tertawa.
“Mereka tuli bisu dan buta, sehingga tak akan bisa kembali kepada kebenaran”, Markesot meneruskan.
“Saya dan kebanyakan Jin lebih dulu tahu ayat Tuhan itu dibanding kamu dan kebanyakan manusia”
“Khotamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala abshorihim ghisyawah, wa lahum ‘adzabun ‘adhim”
“Lumayan juga kamu hapal itu, Sot”
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, serta penglihatan mereka ditutup. Dan adzab yang dahsyat buat mereka…”
“Pasti Kiai Sudrun punya penglihatan yang kita tidak punya, Sot, sehingga dia tetap menyuruhmu untuk melakukan seperti yang sebelumnya berpuluh-puluh tahun kamu lakukan”
“Saya disuruh ngurusi si Bapak lagi maksudnya?”
“Tanya langsung ke beliau. Saya hanya menyampaikan”
“Saya disuruh keluar dari Tabung Cahaya ini kemudian berteriak-teriak, ambil Cambuk, masuk istana si Bapak, memaksanya keluar dan melemparkannya kembali ke rumahnya?”
Masih panjang Markesot menggerundal, tapi kalau Saimon menanggapinya, pasti akan lebih panjang lagi.
Sesungguhnya mereka berdua berdegam-degam hatinya berada di arena tarian cahaya itu.
Tetapi sekaligus diam-diam merasa sangat sedih. Sebab nanti memasuki fajar, menjelang pagi, pesta cahaya itu akan berakhir. Semua yang hadir, terutama yang berasal dari wilayah-wilayah sekitar di dalam Negeri yang menyedihkan ini, akan berduyun-duyun pulang. Kembali ke rumahnya masing-masing dengan hati yang juga sedih.
Sebab sesudah mereka mengalami malam yang terang benderang oleh hujan cahaya yang ulang-alik dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit — mereka kemudian harus memasuki “kegelapan siang”. Ya, “orang-orang cahaya” itu harus kembali memasuki siang-siang yang penuh kegelapan.
Betapa memilukan. Sebulan penuh mereka harus menenggelamkan diri dalam kegelapan siang demi siang, sampai bulan berikutnya mereka berkumpul kembali di arena tarian cahaya yang terang benderang sepanjang malam.
Masing-masing mereka juga, di tengah kegelapan siang, selalu harus menyembunyikan pengalaman cahaya terang benderang itu. Mereka sangat ingin menceritakan kepada orang-orang di sekitarnya, keluarganya, para tetangga dan siapapun yang mereka temui, di tempat pekerjaan, di kantor, pasar, jalanan dan di manapun.
Namun kebanyakan di antara mereka mengurungkan niatnya untuk menceritakan, memilih untuk menyimpannya diam-diam, karena urut-urutan sejumlah sebab.
Pertama, berdasarkan beberapa pengalaman di antara orang-orang cahaya, kelau mereka menceritakan itu, masyarakat di sekitarnya menyimpulkan bahwa si pencerita itu orang gila, atau orang sesat, atau orang kafir, atau orang takhayul, atau orang bid`ah. Masih untung kalau sekadar dituduh sebagai orang lucu atau tukang mengarang.
Kedua, kebanyakan orang-orang itu tidak memiliki alat untuk memahami, apalagi mempercayai, apa yang diungkapkan oleh orang-orang cahaya.
Ketiga, mereka menyangka bahwa cahaya adalah yang tampak oleh mata mereka.
Keempat, cahaya yang mereka maksudkan adalah sesuatu yang membuat benda-benda bisa dilihat oleh mata mereka.
Kelima, benda yang bisa mereka lihat dengan mata mereka hanya uang dan kemewahan.