Nilai Seni yang Tergilas Kapitalisme Global
Bayu pun semilir, puspa pun mewangi, karena dikau
Bulan senyum ayu, surya keemasan, karena dikau
Samudera menggelegar, gelombang berkejar, karena dikau
Simfoni yang terindah terciptalah sudah, karena dikau
Dikau penyejuk rasa bila senyummu memundung
Dikau hangatkan cinta bila sentuhan berpadu
Dikau getarkan jiwa dalam membisikkan cumbu rayu
Syahdu dalam peraduan hingga akhir mimpi senyum
Cinta putih murni, balas kasih suci, untuk dikau
Dikau teruntuk daku, daku diciptakan untuk dikau
Tuhan bimbinglah kami hidup berdua akhir nanti
Luhur ciptaanmu Tuhan, kekal cinta putih murni
Terdengar nikmat alunan lagu Cinta Putih yang diciptakan dan dinyanyikan sendiri oleh sang maestro: Titiek Puspa. Juga lagu-lagu lain dari era 60-an dan 70-an mengalun bergantian dibungkus suasana hujan yang merata sepanjang perjalanan Jogja-Semarang sore itu, menuju lokasi maiyahan di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Desa Jetis Gentan, Kab. Semarang. Keindahan puitis dan kekuatan kejujuran memancar dari bait demi bait dan alunan musik masa itu.
Lagu Cinta Putih ini dipersembahkan teruntuk sang suami, Mus Mualim. Begitu dalam dan indah cinta yang terasa dari lagu dan musiknya. Ini sesuatu yang sangat langka di tengah maraknya lagu-lagu kontemporer produksi band-band Indonesia sekarang. Rasanya sulit menemukan keindahan seperti itu lagi. Meskipun ada, ia terpinggirkan di pojokan belantika musik tanah air. Apa yang sedang melanda musik-musik kontemporer hingga kehilangan kejujurannya?
Perubahan transvaluasi nilai yang ekstrem
Tidak bisa dipungkiri jika perkembangan zaman kini mengarah menuju masyarakat bebas. Bebas hingga tanpa batas pelampiasan, tanpa rem sama sekali di mana dasar tujuannya adalah pasar bebas yang di dalamnya didukung oleh keterbukaan dan transparansi tiap individu dalam berspekulasi dan mencari keuntungan ekonomi. Bebas yang secara bertahap menghilangkan kesadaran atas batas teritorial, yang sudah dimulai dengan menghapus kedaulatan tiap-tiap pribadi atas dirinya. Lalu langkah berikutnya adalah masing-masing individu bebas berbuat apapun sesuai keinginannya.
Fenomena ‘bebas’ ini telah meluas masuk ke berbagai lini kehidupan termasuk agama, pendidikan, dan seni budaya. Semua tidak terlepas dari nilai transaksional yang tak lebih dari hanya sekadar menjadi sebuah komoditas. Agama hanya menjadi barang dagangan yang laris manis dalam ideologi materialisme. Ideologi yang menawarkan surga dalam standar materialisme dan sistem kehidupan duniawi, sehingga kerinduan atas surga itu melebihi kerinduan perjumpaan dengan Allah. Dalam pendidikan, ini juga menyusup ke sana yang mengakibatkan terjadinya keparahan komersialisasi pendidikan, yang kemudian pendidikan akhirnya hanya menjadi etalase dagangan ilmu pengetahuan.
“Dalam konteks seni budaya, kebebasan ini ditandai meluasnya kecenderungan budaya kontemporer yang terbuka dan transparan. Wacana seni kontemporer adalah hilangnya dimensi ruhani dari seni; informasi telah kehilangan dimensi maknanya; karya seni telah kehilangan dimensi auranya. Wacana seni diseret arus perkembangan makna-makna tanpa batas, dengan menghancurkan esensi makna itu sendiri, dengan menggali sisi ekstrimnya, menampilkan dimensi ekstasi, kecabulan, dan imortalitasnya. Estetika, kini, tidak lagi membedakan mana yang indah dan mana yang jelek; mana yang moralis dan mana yang amoral; mana yang kelihatan dan mana yang tersembunyi; seni kontemporer justru menggali yang terjelek dari yang jelek.” (Agus Sunyoto, 2015)
Bila ada kesempatan mengunjungi Metropolitan Museum of Art di New York, setidaknya Anda akan melihat perbedaan mendasar dari seni Islam abad pertengahan dengan seni kontemporer modern. Islamic Art itu muncul dalam wujud kekayaan geometris yang berangkat dari batasan bahwa dalam Islam tidak diperkenankan menggambarkan makhluk hidup. Terkait ini, bila dipahami secara dalam kita menjadi tahu mengapa Rasulullah tidak dibolehkan untuk dilukis wajahnya, yaitu agar kita punya keseimbangan dalam melihat: tidak hanya dengan mata indra tapi juga “roso” atau mata hati.. Sedangkan peradaban modern sangat mengumbar pandangan mata indrawi tanpa rem yang akhirnya memuluskan materialisme.
Di dalam batasan Islamic Art, kecerdasan manusia dipaksa untuk memunculkan kreativitas detail geometris seni Islam yang indah dan estetis yang salah satunya tampak pada kubah-kubah mesjid di Iran atau seni kaligrafi. Ketika Islam disebarkan di Nusantara, para Walisongo dibenturkan dengan kenyataan karya seni masyarakat pada abad 15 yang menggambarkan wujud makhluk hidup dengan jelas. Tantangan ini lalu mendorong bid’ah (kreatifitas) Walisongo yang menghasilkan jalan tengah berupa wayang, yang tidak bisa dikatakan berwujud manusia, namun mata indra paham bahwa wujud yang digambarkan itu adalah manusia.
Dalam wujudnya, seni kontemporer cenderung lebih sederhana, tidak sedetail seni Islam. Sebuah contoh bisa saya ambil dari pengalaman saya ketika menemani Cak Nun dan Mbak Via di New York tahun lalu. Kami mengunjungi 9/11 Memorial di bilangan Manhattan “Kidul” alias Lower Manhattan. Disebut demikian karena letaknya ada di pulau Manhattan bagian selatan. Kami berjalan menuju tempat mobil Big Van yang membawa rombongan dari Philadelphia diparkir. Menuju Parking Area itu, kami melintasi Battery Park dan terdapat sebuah monumen di sana. Monumen ini bernama The Sphere, karya Fritz Koenig seorang pematung Jerman.
The Sphere aslinya ditempatkan di antara menara kembar WTC sebelum dihantam dua Jumbo Jet dan runtuh tahun 2001. Ia berbentuk bola dengan remuk-remuk di seputar sisinya dengan tinggi 7,6 meter dan dibentuk dari 52 segmen perunggu. Karya seni itu dimaksudkan untuk melambangkan perdamaian dunia melalui perdagangan dunia, dan ditempatkan di pusat cincin air mancur dan sentuhan dekoratif lainnya yang dirancang arsitek WTC, Minoru Yamasaki, untuk meniru Masjidil Haram Mekkah, di mana The Sphere berdiri di tempat seperti Ka’bah di tengah pusaran Masjidil Haram.
Bila melihat monumen itu, kita tidak akan langsung paham apa makna bentuk itu meskipun telah diberi deskripsi maksud bentuk itu. Penafsiran pun akan beragam. Saya menangkap salah satu ayat seni kontemporer adalah kebebasan tanpa batas menafsirkan sebuah karya seni. Hal yang ingin dicapai sebenarnya adalah bukan pemahaman akan arti monumen itu, tapi mendorong alam bawah sadar untuk bebas mengumbar penafsiran tanpa batasan nilai.
Ayat seni itu seharusnya mengandung batasan nilai kebenaran. Bukan kebenaran manusia, tapi kebenaran yang sejati: kebenaran Allah. Seni kontemporer di era global, mengikuti kaidah-kaidah global tentang sebuah tatanan masyarakat bersifat trans-nasional yang tidak dibatasi ras, suku, budaya, bahasa, teritorial negara, agama.
Kejujuran musik tahun 60-an dan 70-an
Cak Nun sebagai pelaku kesenian yang bersinggungan dengan seniman pada tahun 70-an berkisah, di masa itu karya-karya seni dihasilkan dengan penuh kejujuran. Perjuangan menghasilkan itu sendiri tak semudah yang dijalani generasi ini. Teknologi tak segampang dan secanggih saat ini. Dari sisi perangkat pendukung berkarya seni telah mengalami kemajuan. Namun dilihat nilai yang dianut kini mengalami kemunduran.
Penyanyi maupun musisi di masa itu tak pernah merasa sebagai artis dengan pernak-pernik eksistensialnya seperti sekarang. Karya-karya yang dihasilkan penuh dengan makna yang mendalam dan penuh keindahan puitis. Keresahan serupa sebenarnya banyak dirasakan masyarakat yang heran dengan kualitas lagu yang muncul belakangan. Tidak hanya masyarakat sebenarnya, di kalangan musisi yang sudah bermusik sejak tahun 60-an dan 70-an pun merasakan demikian.
Kaitannya dengan transvaluasi nilai yang dikemukakan sebelumnya, bahwa karya musik diperlakukan sebagai komoditas yang hanya diukur dengan laku dan tidak laku sehingga tuntutannya adalah mengikuti selera pasar. Selera pasar yang berubah pun sejatinya dipicu pergeseran nilai yang dianut. Ketika alam pikir masyarakat sudah berubah menjadi sekuler, maka dengan cepat perubahan nilai itu terjadi dan dengan mudah kapitalisme global bermain. Ini berkelindan dengan perubahan uang yang mulanya hanya sebagai alat tukar, kini menjadi alat nilai kehidupan. Sebuah lagu akan dinilai seberapa menghasilkan pundi-pundi uang, terlepas dari kualitas nilainya. Maka musisi saat ini hanya dituntut menghasilkan karya sebatas pemuas nafsu materi para pemodal.
Jika dilacak kembali, perubahan secara cepat dan signifikan ditandai saat munculnya televisi, mungkin tepatnya stasiun televisi swasta. Televisi swasta memang pada dasarnya didirikan dengan perhitungan bisnis. Nilai dasar bisnis adalah menghasilkan keuntungan materi. Tahap berikutnya adalah berbisnis dengan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan sebanyak mungkin. Memasuki era keterbukan informasi dengan deras arusnya yang cepat, maka keuntungan yang dihasilkan pun tidak hanya sebanyak mungkin, melainkan ditambah secepat mungkin. Musik yang penuh kejujuran dihasilkan dengan proses yang jujur dan kadang tidak dalam waktu yang segera dan instan. Globalisasi ibarat kereta api yang berjalan sangat cepat sehingga meninggalkan dan menggilas apapun yang lambat di hadapannya.
Nafas globalisasi adalah ngegas tanpa rem sama sekali. Musisi pun terseret dalam kecepatan itu yang mau tidak mau meninggalkan nilai kekhusyukan bermusik. Demi alat nilai materi, kedaulatan bermusik ditinggalkan. Sudah banyak disaksikan di televisi belakangan ini musisi manut hanya disuruh cengangas-cengenges dan haha hihi tanpai nilai ketuhanan dalam penampilannya. Maka tampaknya mustahil bisa diharapkan muncul kembali lagu berkualitas yang memiliki kedalaman nilai kebenaran sejati sekaligus dengan keindahan puitis bila tetap berkubang dalam industri kapitalisme global.