Nglaras Ikhlas Noto Lelaku
Satu minggu menjelang perhelatan Ihtifal Maiyah di Menturo Sumobito Jombang, Cak Nun dan KiaiKanjeng berada di Gresik malam ini untuk memenuhi undangan Tadabburan yang diselenggarakan oleh Serikat Karyawan Petrokimia Gresik dan bertempat di pelataran GOR Tri Dharma Petrokimia Gresik.
Serikat Karyawan Petrokimia Gresik (SKPG) tengah berulang tahun ke-17 pada tahun ini. Sudah dua tahun lalu mereka bermaksud mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Malam ini dalam tajuk “Nglaras Ikhlas Noto Lelaku” yang mereka susun, Allah memperjalankan Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk memenuhi harapan mereka. Perjalanan yang terus bergulir, yang dalam satu sisi membuat terasa bahwa Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah “gumpalan” yang selalu relevan untuk berada di berbagai tempat untuk sekurang-kurangnya mendengarkan dan menemani hati orang-orang yang mengundang itu. Hal yang sejak Cak Nun disambut di rumah makan sudah kelihatan. Tidak ada gegar budaya bagi Cak Nun untuk mendengarkan persoalan-persoalan yang dilontarkan kepadanya. Dan Cak Nun meresponsnya dengan kadar yang selalu konstan, seperti yang ditunjukkannya di tempat-tempat lain sebelum-sebelumnya.
Tadabburan ini tidak hanya diperuntukkan bagi para pegawai, tetapi juga untuk masyarakat umum. Dan kita melihat sangat banyak anak-anak muda yang datang ke tempat ini. Sesungguhnya bisa dirasakan sangat tingginya minat dan keseriusan mereka untuk mengaji, mendalami agama, mencari pegangan hidup, dan mencari ilmu. Kepada Cak Nun mereka menemukan klik yang sangat kuat. Mereka tak sabar saat sambutan disampaikan, ingin segera mendengarkan suara dan ilmu Cak Nun. Mereka berebut menyalami Cak Nun saat tiba di pintu masuk GOR ini. Saat Cak Nun memulai berbicara, perhatian mereka sepenuhnya tertuju ke depan. Saat diajak bershalawat Ya Nabi Salam ‘Alaika, mereka lantang mengikutinya.
Sebelum Cak Nun bersama-sama pimpinan-pimpinan SKPG naik ke panggung, KiaiKanjeng telah membuka perjumpaan dengan shalawat An-Nabi Shollu ‘Alaih dengan suasana iringan musik yang regeng. Sepertinya Cak Nun ingin memberikan terlebih dahulu suasana yang menggembirakan bagi jamaah dan generasi-generasi muda, juga agar siapapun yang tertekan hatinya oleh apapun, bisa keluar sejenak dan memandang diri dan persoalan-persoalan dari jarak tertentu. Mungkin juga sebuah pesan bagi SKPG yang barangkali sedang memperjuangkan sesuatu.
Langit sangat cerah di langit Gresik. Halaman depan GOR ini cukup luas menampung jamaah yang hadir. Panggung pun bisa dibangun ukuran yang cukup ideal dengan ukuran 10 x 12 meter. GOR ini sendiri berada di dalam kompleks Petrokimia yang total luasnya tak kurang dari 500 hektar. Keluasan dan kelapangan ini membuat jamaah cukup nyaman mengikuti acara, dan dari berbagi sudut dapat dilihat berbagai ekspresi kesungguhan dan konsentrasi mereka dalam menyimak apa-apa yang disampaikan Cak Nun. Hampir merata di area jamaah itu tampak di sana sini peci Maiyah merah-putih atau kombinasi warna lain menghias di kepala para jamaah laki-laki.
Tawa yang tergelak dari jamaah bukan hanya tanda ada yang lucu dari lontaran-lontaran pikiran atau respons Cak Nun, melainkan gambaran bahwa mereka benar-benar mendengarkan dan perhatian. Sesuatu yang online, nyambung, dan gathuk antara mereka dengan Cak Nun. Tak hanya itu. Nyambung itu juga terlihat salah satunya saat Cak Nun mengajak jamaah bershalawat, seorang fotografer dari panitia, berjalan berpindah-pindah, dan saat Shalawat dimulai, ia pun turut menyahut keras, “Allahumma sholli ‘alaihhhhh.” Ia tak hanya bertugas, tapi juga ikut di dalam semesta Maiyah.
Pada bagian awal mereka diajak membaca surat al-Fatihah, beberapa surat pendek, dan berdoa. Cak Nun doakan agar mereka yang punya masalah segera diberi jalan keluar oleh Allah sembari diajak mereka untuk dengan Allah memiliki hubungan yang enak, mesra, dan tidak kaku. Cak Nun juga memuji mereka, bahwa dengan mereka hadir di sini, dan bersaudara satu sama lain adalah wujud Al-mutahabbiina fillah. Yakni orang-orang mencintai karena Allah, yaitu orang-orang yang bukan saudara-darah tetapi mau bersaudara. Inilah golongan khusus yang akan masuk surga pertama kali dan membuat para kekasih Allah cemburu karena mereka memancarkan cahaya yang terang.
Setelah itu mereka diajak untuk melantunkan doa Khotmil Qur’an tetapi dengan terlebih dahulu diberi landasan. Bahwa ayat-ayat Allah itu ada yang bersifat literer, kauniah (alam semesta), dan diri manusia itu sendiri. Jikalau manusia melakukan sesuatu dengan sangat baik sampai sama seperti baiknya orang yang membaca dan mendalami al-Qur’an maka itu juga satu bentuk khotmil Qur’an tersendiri, karena Qur’an tak hanya yang literer tadi. Dengan khotmil Qur’an dalam laku hidup itu, semoga Allah menurunkan pertolongannya kepada kita semua. Demikian dijelaskan. Mbak Nia dan Mbak Yuli mengalunkan do’a Khotmil Qur’an diikuti semua jamaah.
Dengan penyampaian yang dekat di hati dan berjiwa menampung, menyangga hati mereka, pelan-pelan Cak Nun menyampaikan pintu-pintu masuk ke ilmu dan sikap hidup. Salah satunya mengenai hidup adalah imsak. Bahwa di dalam hidup ini yang mayoritas harus dilakukan adalah menahan diri (imsak), bukan melampiaskan. Hidup adalah ngerem, bukan ngegas. Itulah sikap dasar dalam hidup.
Bergantian dari petik ilmu, Cak Nun membawa seluruh jamaah bergembira melalui nomor Sewu Kutho. Dinyanyikan berkolaborasi antara vokalis KiaiKanjeng dengan Bapak-bapak SKPG. Suasana beralih meriah, bergembira. Ditambah lagi kemudian, karena suaranya oke juga, Cak Nun minta satu nomor lagi. Bapak dari SKPG itu ternyata memilih lagu Neng Geulis dari Bing Slamet. Cukup unik, dia memakai baju koko lengan pendek dan berpeci Maiyah bermusik dan bergerak-gerak nge-blues. Tak ada canggung. Murni terekspresikan.
Keindahan tak hanya berada atau berasal dari peristiwa di panggung. Keindahan bisa dilihat dari hamparan panorma di kawasan jamaah. Himpunan dan volume orang-orang yang banyak dan duduk lesehan, berpadu dengan pohon-pohon yang mengelilingi, langit yang menaungi dengan luas dan lapangnya, cahaya lampu terang dan kuning emas, seluruhnya menghadirkan pemandangan indah tersendiri.
Untuk hal ini, Cak Nun menghubungkan dengan kalimat tema Tadabburan malam ini. “KiaiKanjeng mengiringi Bapak tadi tanpa kenal terlebih dahulu siapa namanya. Tapi sangat bagus kolaborasi mereka. Mengapa bisa begitu? Karena lagunya dibawakan dengan ikhlas, sehingga nglaras jadinya, dan tata laku dalam membawakan lagu tadi baik dan bagus,” ujar Cak Nun.
Di dalam Maiyahan atau Tadabburan, ilmu disampaikan secara melingkar, tetapi bukan muter-muter, sebab poin-poinnya sangat jelas. Di samping juga mengikut kepada dan pada momentum apa hidayah Allah turun mengantarkan ilmu itu. Kadang muncul tepat sesudah canda atau guyon secara tak sengaja tersampaikan. “Kalau kamu mendapatkan kenikmatan, delok sik (lihat dulu), tahan, jangan langsung dimakan atau dinikmati, bersabarlah, sebab itu memperlihatkan rasa syukur kamu yang mendalam kepada Allah. Bersyukur dulu…,” pesan Cak Nun.
Pukul 23.00, tiba-tiba hujan turun mengguyur area GOR ini. Sebagian jamaah naik ke panggung. Dan sebagian besar mengangkat terpal-terpal kuning yang mereka pakai duduk untuk difungsikan menutupi kepala dan badan mereka. Satu-sama lain kompak saling membantu agar terpal itu terkembang. Semuanya kini berdiri. Cak Nun mengajak mereka meneriakkan Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar dan Muhammad Rasulullah. Mereka diajak bersyukur dan meyakini bahwa hujan adalah rahmat Allah. Kemudian serentak mereka dibimbing melantunkan Ya Rabbibil Mustofa Balligh Maqashidana, bertawassul kepada Rasulullah agar segala tujuan dan hajat baik dikabulkan Allah. Berhujan-hujan bersama-sama seperti ini juga momentum untuk menyetorkan keikhlasan kepada Allah Swt. Dan dalam hujan pun semangat dan kegembiraan tetap mengemuka. Beberapa pemuda berjoget menggerakkan badan saat lantunan Ya Rabbibil Musthofa.
Kemudian mereka diajak terus bershalawat, Sidnan Nabi, Sholatun Minallah Wa Alfa Salam, dan beberapa shalawat lain. Hujan masih dan sedang turun ke bumi, beberapa alat musik dilindungi supaya tidak terkena air karena bisa menimbulkan konslet. Jamaah tak ada yang pulang meski hujan belum surut, malah makin padat dan rapat. Tetapi selepas beberapa shalawat itu, hujan mulai reda. Setelah itu, Cak Nun menegaskan, “Mungkin Allah menguji kita dengan hujan ini, tapi kalian semua ikhlas, kalian lulus. Ini juga pelajaran tentang sifat rizki yang tak hanya linier, tapi juga melingkar. Keikhlasanmu dalam situasi hujan ini akan mengundang datangnya rizki dari Allah. Ini juga sebuah pencapaian tersendiri dari pertemuan kita malam ini. Yakni gambaran tentang kekuatan luar biasa bangsa kita. Wahai Dajjal Dajjal dunia, Yakjuj Makjuj dari Barat dan Utara, penjajah-penjajah dunia, kalian akan kecelik datang ke Indonesia, karena akan berhadapan dengan rakyat dan orang-orang yang tangguh seperti ini,” teriak Cak Nun.
Setelah dengan cepat, ringkas, padat Cak Nun mengilmui peristiwa anugerah hujan yang menyapa lembut jiwa-jiwa Jamaah, Cak Nun bermaksud mengakhiri pertemuan malam ini, tetapi mereka berteriak, “terussss, terusss…”. Mereka belum ingin acara ini berakhir. Cak Nun merespons semangat mereka dengan memberikan kesempatan salah seorang Kiai yang hadir untuk turut menyampaikan pesan untuk mereka. Cak Nun tak lupa mengingatkan bahwa mungkin kita belum bisa banyak berbicara tentang Petrokimia, atau hal-hal yang mungkin perlu didiskusikan, tetapi dengan konsep siklikalitas ilmu, rezeki, dan solusi Allah, “Yakinlah bahwa Allah akan memberikan jalan keluar bagi persoalan yang kita hadapi. Yang terpenting jangan tertekan dan methentheng dengan dunia dan seisinya….”
Dalam padatan fisik, rohani, ilmu, dan suasana batin sesudah turun hujan yang sebenarnya datang bagaikan mewakili hadirnya sesuatu dari langit, Cak Nun mengajak bareng-bareng melantunkan Ilir-Ilir dan Shalawat Badar. Di dalamnya panjat doa membubung ke langit membalas turunnya air hujan tadi, yang bukan rintik tapi juga bukan deras, dan sesungguhnya tidak berlangsung, tetapi terasa seperti suatu katalis yang mempercepat sesuatu. Secara resmi acara diakhiri, tetapi atas izin panitia kebersamaan ini masih boleh dilanjutkan. Sebagian Bapak-bapak yang di panggung dipersilakan boleh kembali atau pulang, Cak Nun dan Jamaah tetap melanjutkan Tadabburan. Lagu-lagu KiaiKanjeng kembali hadir di tengah-tengah jamaah. Kehangatan nyala kembali melalui suara Mas Imam Fatawi yang menyanyikan sebuah tembang bertajuk Bunga Nirwana dari D’Lloyd. Sebagian besar jamaah sudah duduk kembali memberikan ruang penglihatan bagi yang tetap berdiri di bagian belakang.
Kait-terkait sebenarnya antara butir-butir kalimat Cak Nun yang satu dengan lainnya juga sinkron dengan kejadian dan fenomena yang berlangsung malam ini. Api dan iblis itu tak apa, yang penting api dikendalikan, dan iblis disikapi dengan tepat. Surga itu sungguhan (sungguh-sungguh), dan kita juga harus sungguhan untuk masuk surga, dengan logika bahwa dunia ini bukan tempat mencapai sesuatu. Dunia adalah tempat menghimpun bahan-bahan, nanti di surga membangunnya. Hidup juga harus bergembira, jangan gampang tertekan oleh dunia. Isi hati dengan Allah Allah. Jangan berbuat baik saja, tetapi temukan kenikmatan dalam berbuat baik. Dan bahwa nglaras ikhlas adalah jangan sampai mbleyor (membelok) dari sunnatullah atau aturan Allah. Demikian beberapa poin yang secara acak disampaikan Cak Nun sebelum hujan turun. Dan hujan yang turun itu langsung menjadi sarana untuk membungkus secara empiris ilmu-ilmu yang sejauh ini telah disampaikan.
Suasana semakin akrab, gayeng, dengan letupan joke-joke cerdas yang membiakkan imajinasi dan mempersegar jiwa. Tawa meledak terus saat Cak Nun mengutarakan sebuah humor tingkat tinggi. Humor yang ternyata tak sekadar humor, tetapi dasar-dasar muatannya terdapat literaturnya. Tetapi yang penting adalah sikap tadabbur atasnya. Yakni jangan ngotot adu kebenaran, melainkan apakah kita mengambil ilmu dan mengoutputkannya menjadi sesuatu yang menggembirakan hati, membuat dekat dengan Allah, makin cinta kepada Rasulullah, dan makin baik dengan orang lain.
Sebelum itu ada satu hadirin yang bertanya dengan menyitir apa yang dulu sekali pernah dilontarkan Cak Nun bahwa kita ini hidup dalam dunia yang penuh najis, dan jangan terlena di dalamnya. Lalu Cak Nun menanggapi bahwa najis pun sekarang kita tak bisa sulit mengidentifikasi dan menghindar darinya, karena sesuatu dinilai najis atau haram tidak karena dzatnya tetapi juga prosesnya. Kalau kita bisa menghindar, alhamdulillah. Kalau sulit ya begitulah hidup. Hidup adalah berjuang atau jahdun atau jihad. Jadi yang dilihat adalan bagaimana kesungguhan kita untuk berjuang menghindarinya. Pada dasarnya dunia adalah tempat berjuang, tempat menuju, tempat ila.
Penjelasan di atas sejalan dengan poin tentang dunia bukan tempat mencapai sesuatu, dan bahwa dunia adalah tempat membangun. Paralel dengan itu, Cak Nun menjabarkan kembali tentang mawaddah, rahmah, dan sakinah. Mawaddah adalah suasana ingin menyatu dengan orang yang dicintai. Rahmat adalah kondisi yang mendukung atau mengatmosferi mawaddah. Dan sakinah adalah keadaan yang hendak dituju dengan bekal mawaddah dan rahmah.
Mawaddah sudah pasti. Rahmah pun demikian. Maka kurang pas kalau kita berpikirnya semoga diberi atau menjadi mawaddah dan rahmah. Mawaddah dan rahmah bukan kata sifat, melainkan entitas, yang itu sudah diberikan oleh Allah. Sakinahlah yang merupakan tujuan. Maka kata yang digunakan adalah Ila (ilaiha), sama seperti kata ila pada inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Jadi, dunia adalah tempat menuju, tempat ila.
Pertanyaan-pertanyaan kemudian dilontarkan beberapa jamaah begitu Cak Nun membuka kesempatan dialog. Macam-macam pertanyaan mereka. Ada tentang khotbah jum’at yang bukan bahasa Arab, tentang di mana makam Syaikh Jumadil Kubro, hingga pertikaian di antara ulama. Tapi juga ada sebuah pernyataan atau pengakuan dari salah satu di antara mereka. Dia dengan penuh kejujuran, polos, dan sungguh-sungguh menceritakan bahwa apa yang dikatakan Cak Nun benar adanya. Saat hujan tadi, ia ikut berdiri dan sedikit agak berdesakan, padahal kakinya sedang sakit cantengen. Anehnya, ia tidak merasa sakit walaupun terinjak sama yang lainnya, dan bahkan setelah itu sembuh. Pengakuan cantengen ini mengundang geerrr tapi juga tak bisa dibantah. Geerrr karena pengajian kok ada tentang cantengen dan dia tidak malu menceritakannya. Cak Nun merespons dengan arif, “Itu adalah pertemuan antara keyakinanmu dengan rahmat Allah. Jadi yang ada adalah perkenan Allah. Jangan diobjektifkan pasti harus seperti itu…”
Cak Nun menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dan global itu dengan memberikan kunci-kunci yang dengan kunci itu mereka bisa menggali dan mengembangkan pemahaman lebih jauh. Bahwa perselisihan dan pertikaian di antara ulama itu bisa dilihat panjang asal-usulnya dalam kaitannya dengan penjajahan yang sudah dilangsungkan sejak tujuh abad lalu. Bahwa mulai sekarang bisa berpikir bahwa Syaikh Jumadil Kubro bukan lagi jasad, sehingga pertemuan dengan leluhur itu sifatnya bukan fisikal. Jangan menyikapi makam dan petilasan dalam konsep jasad.
“Jadi kamu mulai sekarang tidak usah bingung di mana letak makam syaikh Jumadil Kubro…,” tegas Cak Nun merespons dan memberi suluh praktis dan mendasar bagi dunia batin jamaah.
Pukul 01.00 lebih sedikit, Cak Nun mengajak semua hadirin berdiri untuk memuncaki Tadaburan malam ini dengan lantunan shalawat ‘indal qiyam. Seluruhnya khusyuk dan khidmat mengikuti. Dan sesudah selesai, mereka kembali ke tempat masing-masing. Salah seorang dari panitia atau SKPG mengungkapkan baru kali ini ada acara di GOR ini yang diakhiri dengan shalawat ‘indal qiyam.