CakNun.com
Catatan Lesehan Bahasa dan Sastra, Yogyakarta 31 Oktober 2016

Musik Puisi KiaiKanjeng untuk Puncak Bulan Bahasa dan Sastra

Redaksi
Waktu baca ± 2 menit

Malam ini malam spesial buat Balai Bahasa DIY (BBY), karena Cak Nun dan KiaiKanjeng memenuhi undangannya untuk mengisi malam Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2016 yang digelar di Graha Wana Bhakti Yasa Yogyakarta. Acara bertajuk Lesehan Bahasa dan Sastra Bersama Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng. Tentunya juga spesial buat publik sastra Yogyakarta khususnya generasi terkininya karena mereka berkesempatan mendengarkan nomor-nomor musik puisi Cak Nun dan KiaiKanjeng.

Foto: Adin.
Foto: Adin.

Mereka akan melihat langsung Cak Nun sebagai orang yang kali pertama mempioniri musikalisasi puisi di Indonesia pada tahun 70-an. Tetapi bingkai yang lebih besar adalah Balai Bahasa ingin Cak Nun memberikan pengalaman bagi masyarakat mengenai hal-hal esensisal melalui bahasa dan sastra di tengah masa yang sedang dipuncaki oleh praktik bernegara yang sepertinya tak punya ketertarikan untuk menjaga kedaulatan dan martabat bangsanya dan tak punya rasa terjajah sedikit pun.

Sejak usai Maghrib, gedung Graha Wana Bhakti Yasa Yogyakarta mulai didatangi hadirin. Banyak hadirin yang datang dengan busana semi formal, karena memang ini adalah acara yang diselenggarakan oleh instansi pemerintahan. Tetapi tak lama kemudian, wajah-wajah Jamaah Maiyah mulai bermunculan. Malam ini mereka berbaur dengan tamu undangan BBY, para penggiat Bahasa dan Sastra di lingkungan Yogyakarta, penyair, guru-guru, penulis, dan lain-lain dalam memberikan menciptakan makna bagi puncak acara Bulan Bahasa dan Sastra 2016 ini.

Selepas sepuluh penyair Yogya bergiliran membaca puisi, tiba kesempatan hadirin untuk menikmati kebersamaan dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Membuka kehadiran KiaiKanjeng malam ini, Cak Nun langsung memberikan dasar mengenai asal-usul bahasa dan sastra dalam diri dan potensi manusia. Bahasa dan sastra adalah salah satu jenis ungkapan dari potensi yang sama pada diri manusia, yang pada atau melalui bantuan-bantuan tertentu menjadi senirupa, teater, film, dan lain-lain.

20161031-bulan-bahasa-02
Foto: Adin.

Nomor musik puisi pertama yang dihadirkan adalah Berdekatankah Kita. Terlebih dahulu Cak Nun membacakan teksnya. Musik yang mengiringinya adalah musik minimalis. Tidak menggunakan gamelan maupun instrumen combo lengkap. Hanya dengan biola dan keyboard. Dan yang dimohonkan melantukan adalah Ibu Novia Kolopaking. Dulu puisi ini dibawakan Cak Nun bersama Musik Dinasti dan lagunya diaransemen oleh Narto Piul yang juga pemain biola KiaiKanjeng sebelum digantikan oleh Mas Ari Blotong.

Seluruh hadirin menyimak nuansa sunyi dan dalam puisi Berdekatankah Kita. Menariknya, Cak Nun membantu bagaimana memahami kehadiran puisi ini. Para hadirin dan semua praktisi bahasa mendengarkan penjelasan Cak Nun yang mungkin jarang atau tak biasa didapatkan. Bahwa dua dekade terakhir ini kita terbiasa mendengarkan riuh rendah. Nomor Berdekatankah Kita ini memiliki pesan bahwa siapa yang terhiasa mendengarkan sunyi, kelemhutan, dan suara yang tak berbunyi, dia akan lebih peka. Kelak kalau dia jadi pemimpin, dia akan mampu mendengarkan suara rakyat karena suara rakyat tak pernah disuarakan. (hm/adn)

Lainnya

Topik