CakNun.com
Daur 170

Mursyid Peradaban
Dari Barat dan Utara

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Yang paling tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Patangpuluhan adalah wanti-wanti Markesot kepada mereka: “Masing-masing kalian harus menaklukkan saya di dalam diri kalian. Haram hukumnya Markesot berkuasa atas pikiran kalian, mental kalian, hati dan sikap hidup kalian. Masing-masing dari kalian wajib berdaulat atas diri kalian sendiri”

Beberapa teman pernah mendengar secara khusus:

“Kalau oleh saya saja kalian bisa dijajah, bagaimana mungkin kalian berpotensi untuk menjadi patriot bangsa kalian. Kalau kalian terlalu gampang terpesona, kagum, takjub, sedikit-sedikit anyenyubyo, akan terkisis harga diri kalian, kemudian mental kalian akan menjadi sangat empuk untuk dimakan oleh orang lain”

“Kalau oleh orang yang bukan siapa-siapa seperti saya ini kalian gampang terseret, maka gelombang besar global dari arah barat, kemudian dari utara, arus badai penguasaan atas seluruh dunia, sejak hampir delapan abad yang lalu – terlalu muluk dan berlebihan. Karena kalian sebenarnya cukup ditaklukkan dengan sejumlah peluru dan beberapa lembaran uang”

“Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya di dalam diri kalian. Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsur, misalnya alat bercermin, di dalam diri kalian. Jangan sampai saya mendominasi kedalaman jiwa kalian”

***

Sejumlah teman lain mencoba secara bertahap memahami bahwa yang dimaksud adalah, misalnya, “ambil tlethong Markesot saja dulu, kemudian dicoba di-daulat-i, diolah, diproduksi menjadi kegunaan, diasah menjadi manfaat”

Markesot justru mungkin harus dilihat dulu sebagai lambang dari sesuatu yang biasa saja. Seseorang yang sama sekali tidak luar biasa. Mungkin bahkan simbol kerendahan. Karena toh kerendahan bisa berguna untuk pijakan mendaki ketinggian.

Markesot adalah contoh keremeh-temehan, yang bisa bermanfaat untuk menggali bobot nilai kehidupan. Markesot adalah pertanda kebodohan. Dan temukanlah betapa kebodohan sangat menolong setiap manusia untuk merindukan, mencari dan menemukan sejatinya ilmu dan pengetahuan.

Tapi bagaimana maksudnya berdaulat kepada Markesot?

Mereka makin lama makin menyepakati untuk jangan sekali-sekali mempelajari Markesot. Cukup belajar dari tlethong-nya saja. Ambil sedikit tlethong itu, pandangi dengan kedaulatan ilmumu, gunakan dengan hak pribadimu untuk merabuki tanamanmu.

Lupakan apa siapa bagaimana kenapa di mana Lembu Markesot.

Barangsiapa mempelajari Markesot, ia akan terjajah olehnya. Barang siapa belajar dari atau kepada Markesot, sebagaimana kepada tlethong, ia akan memperoleh manfaat sesuai dengan kadar kedaulatan yang diterapkannya.

***

Setiap murid memerlukan Guru. Masalahnya bagaimana murid yang justru baru akan belajar menapaki ilmu, bisa memiliki ukuran untuk menentukan apakah seseorang di hadapannya itu Guru atau bukan, layak di-meguru-i atau tidak. Sebagaimana setiap Salik yang hendak menempuh thariqat memerlukan seorang Mursyid.

Mungkin orang-orang di sekitarnya memberi informasi bahwa itu ada orang alim saleh mendalam ilmu rohaninya sehingga disimpulkan ia adalah Mursyid. Atau orang-orang tertentu hadir ke banyak orang berlaku sebagai Mursyid. Tetapi bagaimana orang yang baru akan melangkah mencari bisa menentukan bahwa ada orang lain yang sudah menemukan?

Tanda seseorang sudah menemukan adalah bukti adanya sesuatu yang ditemukan. Bagaimana mungkin orang yang belum pernah menemukan punya kemampuan untuk memastikan bahwa sesuatu itulah yang sudah ditemukan. Bukankah ia justru sedang akan mulai mengenali parameter tentang sesuatu yang ditemukan?

Syukur kepada Tuhan andaikan yang mengaku Mursyid di hadapanmu itu memang sungguh-sungguh seorang dengan kualitas pengalaman yang panjang dan mendalam hingga selayaknya disebut Mursyid.

“Sedangkan”, kata Markesot suatu malam, “yang berlangsung sekarang adalah tamu-tamu asing dari Barat dan Utara datang sebagai Mursyid Peradaban, dan kalian mempercayai mereka. Kalian merasa lebih rendah dari mereka. Kalian membungkuk-bungkuk kepada mereka. Bahkan iman kalian kepada mereka menggeser posisi iman kalian kepada yang sesungguhnya kalian butuhkan untuk diimani”

***

Bangsa-bangsa dari Barat dan Utara datang ke sini untuk mempelajari bangsa kalian, tetapi kalian memperlakukan mereka sebagai Mursyid Peradaban, Guru Besar Kemajuan, Sang Pencerah Akal dan Kebudayaan, Profesor Ilmu dan Teknologi.

Mereka datang membawa kegelapan berjangka, tetapi mengajarkan kepada kalian bahwa yang mereka bawa adalah Abad Pencerahan. Mereka datang menelanjangi jati diri kalian, mencopoti pakaian kebudayaan kalian, mengikis martabat kebangsaan dan kemanusiaan kalian. Tetapi kalian menyikapi mereka dengan puja-puji dan junjungan melebihi Nabi-Nabi kalian sendiri.

Sekarang bahkan mereka tidak perlu datang ke sini untuk mempelajari. Cukup menggunakan frekuensi, penyerapan digital hingga balon-balon di angkasa. Yang mereka kirim untuk datang menyerbu dan tinggal bersama kalian adalah jutaan sampah-sampah buangan dari kampung halaman mereka. Yang tata budayanya jauh di abad belakang kalian.

Hasilnya adalah penjajahan kepada bangsamu. Berabad-abad mereka mempelajarimu, menyerap segala hal tentang dirimu, fakta-fakta, data-data, karakter, kekayaan, kekuatan dan kelemahan. Kamu menjadi janda cantik bahenol yang ditelanjangi, kemudian ditiduri semau-mau mereka.

Bangsamu dibikin bangga dilibatkan dalam kemewahan Peradaban Teknologi Informasi. Bangsamu merasa sedang melaju di jalan raya kemajuan dan kehebatan.

Bangsamu meyakini sedang menguasai informasi dan menguasai dunia. Padahal bangsamu sedang dijadikan narapidana, sandera, konsumen total, disetir, dikendalikan, dianiaya dengan halusinasi, dibutakan melalui lampu-lampu yang menyilaukan kesadaran. Untuk akhirnya menjadi bodoh, tidak mengerti dirinya sendiri, kemudian dijajah, dirampok hartanya, disirnakan kepercayaan dirinya.

Tapi bangsamu bangga dianiaya. Bangga diperbodoh. Merasa sukses padahal diperbudak. Yakin sedang menjalani puncak peradaban, padahal mereka adalah pelengkap penderita.

Bangsamu kehilangan ukuran tentang hampir segala sesuatu. Bangsamu bangga ketika seharusnya malu, dan malu ketika semestinya bangga. Bangsamu melawan hal-hal yang sejatinya perlu ditaati, dan taat kepada sesuatu yang sewajibnya dilawan.

Bangsamu adalah bangsa Muqallidin, pembebek yang menjijikkan. Bangsamu disembelih, tapi tidak sebagai Ismail.

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version