Minallahi fi Innalillahi
Ta’qid“Orang yang tanpa pangkat, tanpa jabatan, tanpa kewajiban dan hak, tanpa kekayaan dan kemiskinan, tanpa ketinggian dan kerendahan, kecuali yang dipinjamkan langsung oleh Allah”
Paduka Harun tidak mau tampak seperti seorang pemarah, yang tidak memiliki kepemimpinan yang arif dan santun. Maka beliau justru melangkah mundur, duduk di singgasana, dengan wajah tenang seolah tak ada apa-apa.
Beliau memanggil salah seorang stafnya, membisikinya agar bertanya kepada Markesot dengan sehalus mungkin.
“Sekali lagi ya, namamu siapa?”, kata Staf.
“Markesot”, jawab Markesot.
“Kok Mar… Nama apa itu?”
“Nama saya”
“Kamu siapa?”
“Markesot”
Staf menarik nafas agak panjang.
“Lha ya kamu ini siapa”
“Markesot”
“Markesot itu siapa”
“Saya”
“Baiklah”, Staf mencoba menenangkan diri dan mengulur kesabarannya, “kamu dari mana?”
Markesot tidak menjawab. Karena tidak mudah menentukan jawabannya.
“Kamu dari mana?”, Staf mengulang.
Kalau Markesot menjawab “dari Patangpuluhan” tidak tepat, karena Patangpuluhan bukan asal-usulnya, melainkan tempat persinggahannya.
“Saya ulang pertanyaan saya terakhir kali”, suara Staf agak mengeras, “kamu dari mana?”
Akhirnya Markesot berterus terang: “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…”, tapi suaranya agak gemetar karena khawatir.
Staf memukul jidatnya. Spontan ia mundur, menghadap Paduka Harun dan melaporkan: “Paduka yang hamba patuhi, hamba kira tamu kita ini orang tidak lengkap…”
Paduka bertanya balik, “Tidak lengkap bagaimana?”
“Kurang waras”, jawab Staf.
Akhirnya Paduka turun tangan lagi.
“Ulangi sekali lagi jawabanmu”, Paduka agak membentak.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…”, Markesot semakin gemetar.
“Kalau ditanya dari mana lantas menjawab dari Allah, itu bukan inna lillahi tapi inna minallahi”
Markesot memberani-beranikan diri menjawab, “Minallahi itu terkandung di dalam lillahi, Paduka”
Paduka mengernyitkan dahinya. Bibirnya setengah dipaksakan untuk tersenyum.
“Apakah kamu bisa berbahasa Arab?”, Tanya Paduka.
“Tidak, Paduka”, jawab Markesot.
“Kenapa kamu menjawab pakai Bahasa Arab?”
“Itu bahasa Allah, Paduka, hamba tidak mengerti yang lainnya”
“Kamu temannya Abu Nawas?”
“Tidak kenal, Paduka”
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Hamba menjaga martabat Paduka, seorang Khalifah yang adil, Imam ummat yang penuh keteladanan, pemimpin rakyat yang penuh kasih sayang”
“Kamu jaga martabatku dari apa?”
“Paduka tidak perlu merendahkan diri melayani Maulana Abu Nawas. Hamba menawarkan diri untuk meladeninya, karena kami sama-sama wong cilik”
“Wong… apa itu?”
“Orang yang tanpa pangkat, tanpa jabatan, tanpa kewajiban dan hak, tanpa kekayaan dan kemiskinan, tanpa ketinggian dan kerendahan, kecuali yang dipinjamkan langsung oleh Allah”
Kali ini Paduka lepas senyumnya. “Kamu pasti temannya Abu Nawas…”
“Hamba berbeda pendapat dengan beliau, Paduka”.