CakNun.com

Mie Kocok Kanjeng Kiai

Seri Keajaiban (1)
Joko Umbaran
Waktu baca ± 4 menit

Di komunitas Kiai Kanjeng ada seorang Kanjeng Kiai.

Siapa namanya, sedang saya pertimbangkan untuk disebut atau tidak. Masalahnya nama beliau merupakan pusat dari tema keajaiban dalam tulisan seri ini. Khalayak ramai tidak mengenal namanya, itu satu hal. Ada berpuluh-puluh atau mungkin ratusan keajaiban lain yang bisa kita nikmati pada Kanjeng Kiai kita ini.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Beliau inilah yang paling mengalami ujian paling berat tatkala pergi umroh bersama semua sahabatnya di Kiai Kanjeng. Terasa berat dari detik ke detik. Ini tidak terlalu terkait dengan spiritualitas umroh, perjalanan rohani dan tirakat batin. Beratnya terasa di mulut. Luar biasa sukar dikendalikan rupanya dua bibir ini.

Karena di belakangnya terdapat mekanisme yang sudah mendarah-daging selama puluhan tahun. Pengendalian bibir jangan hanya dibayangkan sekedar pekerjaan mengatupkan keduanya sehingga bungkam. Dalam mekanisme itu banyak faktor yang terlibat: gejolak hati, kecepatan berpikir, kecerdasan refleksi memori, mata dan telinga yang tak berhenti menyerap data-data dari sekitar, kebiasaan sejak kanak-kanak dulu untuk selalu kreatif, ekspressif maupun impressif.

Kanjeng Kiai kita ini tidak bisa mendengar suara apapun kecuali spontan mulutnya merespon. Juga apapun yang diserap oleh penglihatan, yang diingat oleh pikiran, yang dirasakan oleh hati, selalu ditanggapi oleh dua bibir beliau. Bahkan kalau malam Kanjeng Kiai berangkat tidur dengan memeluk radio, penyiarnya bicara apa saja, lagu apapun yang berbunyi, bahkan kalau ada nyamuk berdengung lewat dekat kepalanya, Kanjeng Kiai senantiasa menanggapinya dengan ramah.

Padahal selama melakukan ibadah umroh, Kanjeng Kiai dikepung oleh batasan-batasan, etika, kepantasan, syarat rukun dan macam-macam, yang urusannya tidak hanya dengan makhluk kiri kanan, melainkan dengan Tuhan langsung serta Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Alangkah berat dan sengsaranya membungkam mulut. Andaikan pantas dilihat orang, Kanjeng Kiai ingin menutup kedua bibirnya dengan lakban. Itupun belum tentu beliau sanggup mengendalikan kata-kata yang lahir dari hati dan pikirannya, meskipun tak terdengar oleh siapapun.

Tapi bukankah Allah Maha Mendengar segala suara yang dibunyikan maupun yang dibisukan. Segala yang dinyatakan maupun yang disembunyikan. Segala yang diwujudkan maupun yang dirahasiakan. Jangankan Allah, para Malaikat, Kanjeng Nabi dan para Nabi lain, ditambah kaum Auliya dan orang-orang pinter lainnya, sangat mungkin mampu mendengar suara hati Kanjeng Kiai.

Jadi ya Allah Gusti Pengeran berilah Kanjeng Kiai kekuatan dan ketahanan untuk mengendalikan mulutnya. Sebab beberapa rekan Kiai Kanjeng sungguh biadab, berperan sebagai setan-setan penggoda. Menguntit tanpa henti. Membuntuti tanpa jeda. Membisik-bisikkan godaan tanpa lelah. Mereka sungguh “alladzi yuwaswisu fi shudurin-nas, minal jinnati wan-nas wa Kiai Kanjeng”.

Sejak ambil miqot di salah satu Masjid di luar kota Mekah, setan-setan sudah loading. Kanjeng Kiai dipaksa untuk download kemudian mengaplikasi. “Nggak apa-apa”, demikian setan berbisik, “pelesetan itu tidak dosa, yang penting niatnya mensyukuri ibadah dan menikmati umroh”

Pelesetan. Ya. Pelesetan.

Kanjeng Kiai kita ini jago pelesetan. Barang siapa hendak mengetahui dan menikmati pelesetan Kanjeng Kiai, hendaknya berupaya untuk berjumpa langsung dengan beliau. Pelesetan tidak bisa ditransfer ke huruf-huruf. Pelesetan butuh momentum, bunyi, nada, ketepatan waktu dan akurasi kontennya. Pelesetan bukan karya tulis. Bisa saja ditulis, tetapi produk estetikanya tak mungkin menandingi teaterikalisasi spontannya.

“Ayo, apa pelesetannya miqot…”, setan menggodanya terus.

Kanjeng Kiai alhamdulillah dijaga Malaikat untuk tidak tergoda oleh setan Kiai Kanjeng. Beliau melakukan shalat pra-umroh dua rakaat dengan wajah cemberut, mungkin karena geram kepada setan. Sepanjang naik kendaraan menuju Masjidil Haram beliau juga tidak menoleh, tidak meladeni pembicaraan apapun, sorot mata dan wajah beliau terfokus pada proses ibadah.

Sepanjang thawaf Kanjeng Kiai juga berjalan menghindari setan-setan. Tapi setan lebih lincah dan tak berhenti menggodanya. Selama thawaf tentu saja tidak ada godaan berupa kata-kata. Tapi dengan wajah setan berseliweran di kiri kanannya, sudah cukup untuk membuat Kanjeng Kiai berjuang mati-matian. Berjuang melawan setan dan melawan dirinya sendiri, meredakan amarah dan membangun kesabaran.

Tapi ketika Sa’i sudah hampir selesai, konsentrasi Kanjeng Kiai mengendor. Wajah beliau mulai melunak. Sesekali melirik ke arah setan-setan di kiri kanannya. Dan tatkala akhirnya Sa’i tiba pada hitungan menjelang terakhir, ternyata jebol mulut Kanjeng Kiai.

Begitu setan menggodanya lagi “Ayo, katanya nanti akan mengumrohkan almarhum Bapak, selesai ini miqot lagi, miqot, miqot….”

Terloncat dari mulut Kanjeng Kiai: “Mikocok…mikocok…mikocok”

Rombongan setan spontan tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan para pejalan Sa’i di sekitarnya. Mereka segera tutup mulut kembali. Tapi gembira dan sukses.

Sesudah potong helai-helai rambut, keluar Masjidil Haram, para setan mentraktir Kanjeng Kiai. Es krim kesukaan beliau. Dan singkat cerita, ketika beberapa jam kemudian Kanjeng Kiai pergi keluar Mekah lagi untuk mengambil miqot, kaki beliau dikocok oleh Malaikat utusan Tuhan. Kaki bagian bawahnya terlepas dari lengkung tulang di lutut beliau.

Langsung rombongan setan membawa Kanjeng Kiai ke Rumah Sakit. Kaki beliau direstrukturisasi. Keluar dari RS beliau pakai kayu penyangga untuk berjalan. Beliau mengumrohkan Bapak beliau almarhum dalam keadaan kaki pincang, berjalan dengan penyangga, alhamdulillah menjadi jauh lebih khusyu ibadah beliau.

Kayu penyangga ini beliau pakai dan bawa sampai pulang ke tanah air Indonesia. Beberapa minggu kemudian ketika Kanjeng Kiai sudah bisa berjalan tanpa penyangga meskipun masing terpincang-pincang, alhamdulillah juga kayu penyangga itu mengalami regenerasi.

Pimpinan rombongan setan mie kocok mengalami kecelakaan motor, kakinya juga dikocok oleh Malaikat, dengan maksud supaya kayu penyangga itu tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Apakah keajaiban yang dimaksud di sini terletak pada pelesetan mie kocok yang ditransfer ke kaki Kanjeng Kiai, lantas diregenerasikan ke kaki pimpinan rombongan setan? Mungkin ya. Tapi sedikit. Bukan yang utama.

Keajaiban utamanya terletak pada Kanjeng Kiai kita yang namanya tidak dikenal oleh publik bangsa Indonesia, tidak dikenal oleh para wartawan yang ngakunya berperan mencatat orang-orang yang berprestasi, serta tidak dicatat oleh lembaran buku-buku kreativitas.

Padahal karya Kanjeng Kiai sudah berkeliling dunia, ditampilkan di lebih dari 10 Negara dan 40 kota besar di permukaan bumi. Innovasi musikalnya mengalahkan bunyi dan aransemen apa saja dari belahan manapun di bumi yang sepanggung dengan musik Kanjeng Kiai.

Inilah salah satu keajaiban Indonesia dan dunia. Yakni buta matanya dan ketidakjujuran sikapnya.

Alhamdulillah Kanjeng Kiai tidak pernah tahu itu, apalagi memikirkannya, apalagi sakit hati oleh penggelapan yang menimpanya. Bahkan kelak ketika Malaikat Ridwan mempersilahkannya memasuki pintu sorga, Kanjeng Kiai menjawab: “Matur nuwun, nanti saja”.

Yogya 1 Maret 2016

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Dari Esei, Eseis, Manusia Hingga Warganegara

Dari Esei, Eseis, Manusia Hingga Warganegara

Esei

Esei bukan tulisan ilmiah yang dipersyarati oleh kaidah-kaidah keilmuan, kecerdasan dan kejernihan terhadap fakta, serta oleh teguh dan tajamnya logika.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib