CakNun.com
Reportase Sinau Bareng Cak Nun KiaiKanjeng Bersama Kajari dan Forum Lintas Pelaku Purwodadi

Meretas Budaya Korupsi

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit
Kebahagiaan dalam rajutan ilmu.
Kebahagiaan dalam rajutan ilmu. Foto Adin.

Malam ini, di bulan Februari yang diliputi hujan yang hampir setiap hari datang merata, Cak Nun dan KiaiKanjeng telah berada di alun-alun Purwodadi Grobogan. Curahan berkah hujan itu mengiringi perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng menuju kabupaten yang berada di wilayah tengah Jawa Tengah. Sampai saat ini, tatkala Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada di atas panggung bersama Bapak-bapak pemuka masyarakat dan pemerintahan dan tengah merajut jalinan sambungan hati dengan masyarakat yang hadir di sini, hujan yang lembut tetap menyertai.

Mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh dan berkumpul di sini sebagian mengenakan jas hujannya, payung-payungnya, dan sebagian besar lain tanpa mengenakan keduanya. Duduk di atas rumput yang juga basah. “Anda orang pilihan. Saya berkhusnudldlon bahwa Anda yang hadir malam ini lebih bersungguh-sungguh. Lebih bersungguh-sungguh untuk membangun anti korupsi. Sampeyan dipilih Allah untuk nanti memperbaiki Indonesia,” tutur Cak Nun.

Setiba di kantor Kajari sebelum acara utama dimulai tadi, Cak Nun disambut Kepala Kejaksaan Negeri Purwodadi, Bapak Abdullah SH, M.Hum, Bupati Grobogan yang akan segera berakhir masa jabatannya, Bambang Pujiono, Bupati yang baru saja terpilih Ibu Sri Sumaryono, dan jajaran-jajaran lainnya. Penuh ta’dhim mereka menyambut kedatangan Kiai yang mereka nantikan. Pak Kajari sendiri mengenakan peci Maiyah. Dan di ruangan kerjanya, Cak Nun disambut dengan ramah tamah, makan malam, dan obrolan-obrolan yang ternyata lebih banyak menggali informasi-informasi dari Cak Nun. Rupanya Pak Kajari ini pengagum Cak Nun sejak masa kuliah. Di atas meja kerjanya, di atas beberapa tumpukan buku-buku hukum sesuai bidangnya, terdapat buku-buku Cak Nun seperti Slilit Sang Kiai dan Catatan Dari Pojok Sejarah.

Beriringan berjalan dari kantor menuju lokasi acara, Cak Nun melewati jalanan yang sebagian masih basah, dan di area lapangan yang sedikit berlumpur. Seraya penuh kecintaan kepada masyarakat, Cak Nun menyambut jabat tangan orang-orang yang berebut ingin bersalaman. Semua dilayani dengan baik. Seorang pria bahkan tiba-tiba memeluk Cak Nun dan mencium histeris sembari sesenggukan sambil menyebut nama Cak Nun penuh “kegembiraan” meski terlihat seperti sebuah pelepasan dari dalam jiwanya. Cak Nun terus berjalan dengan tenang menuju panggung, dan dalam proses itu Cak Nun menyerap suasana, membaca segala sesuatu.

Selepas menyimak sambutan ketua Forum Lintas Pelaku (FLP Grobogan) yang mengungkapkan kebahagiaannya atas kesediaan Cak Nun dan KiaiKanjeng datang ke Purwodadi, dan mengajak semua hadirin untuk Sinau kepada Cak Nun sebagai guru rakyat, Cak Nun menyapa hati masyarakat ini dengan membesarkan hati mereka, meyakinkan mereka bahwa hujan adalah rahmat Allah, dan dalam kondisi hujan orang yang datang lebih terseleksi dan terkondisikan untuk lebih mencurahkan perhatian. “Nah begini, kita belajar yang dekat-dekat dulu aja supaya nanti sampai ke yang jauh. Kalau sudah jauh jangan lupa untuk kembali ke yang dekat. Jika sudah sampai ke langit, turun lagu ke bumi. Dari kecil ke besar, ke kecil lagi, dari mikro ke makro, dan ke mikro lagi dan seterusnya. Itulah salah satu prinsip belajar. Yang rumahnya jauhnya lebih dari sepeluh kilometer dari sini angkat tangan….,” ujar Cak Nun memberikan metode dan contoh langsung yang membuat hubungan hati antar hati segera terbangun dan terasa.

Tema seputar antikorupsi ini bukan sekali dua kali dimintakan kepada Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk menjadi jembatan dan penyambung ke masyarakat dalam metode yang sangat unik, mungkin tak ada duanya di dunia dalam hal cara penyemaian gagasan antikorupsi ini sebagaimana yang dibantukan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam berbagai segi. Sejak 2008, hingga 2012 (baca reportase Reportase Sarasehan KPK dan Di Atas Hukum ada Akhlak, beberapa kali KPK meminta CNKK berkeliling untuk keperluan yang sama, bahkan pernah pula Cak Nun diminta untuk berdiskusi secara khusus dengan para pejabat KPK dan beliau tuliskan sebuah esai Korupsi Milik Kita Semua, pernah pula diminta bersama Kopassus mengisi pembekalan dan penguatan untuk para penyidik KPK. Pasalnya, para penyidik KPK ini relatif masih berusia muda, sementara di sisi lain para koruptor yang akan ditangkap adakalanya sudah tua atau jauh lebih tua dari mereka. Dalam budaya masyarakat Indonesia, tidak mudah yang muda menangkap yang tua. Dibutuhkan keberanian dan manajemen mental yang khusus dan tepat.

Hujan adalah rahmat Allah
Hujan adalah rahmat Allah. Foto Adin.

“Saya sangat senang, ini untuk pertama kalinya Kejaksaan mengundang saya dan KiaiKanjeng untuk tema yang apabila pengundangnya terlibat pasti tak akan berani mengundang saya dan KiaiKanjeng. Kalau beliau koruptor, pasti beliau akan salah tingkah berbicara di depan kita semua,” apresiasi Cak Nun setelah mendengarkan Pak kepala Kajari Purwodadi ini memberikan pengantar.

Menariknya pengantar Pak Kajari ini, hanya sedikit yang diuraikan mengenai tema korupsi, dan sebaliknya lebih banyak menggambarkan konsistensi dan keistiqamahan Cak Nun dalam perjalanan hidupnya. “Sejak mahasiswa saya kagum dengan pemikiran-pemikiran Cak Nun. Pemikiran-pemikiran yang memberikan inspirasi bagi mahasiswa. Cak Nun adalah lambang pemberontakan intelektual. Sampai dua puluh lima tahun kemudian, ketika saya menjadi Kajari, pemikiran-pemikiran Cak Nun saya jadikan pegangan. Di antaranya, prinsip Cak Nun adalah jika kita memegang sesuatu yang benar, kita harus berani melakukannya sekalipun melawan sistem. Beliau adalah orang bebas yang ditakdirkan oleh Allah berada di muka bumi. Jika beliau berbicara arsy, belum tentu kita semua paham, karena di atas pemahaman kita. Beliau berumur sudah berabad-abad. Saya tak berani melanjutkan lebih banyak lagi karena beliau adalah master kita semua,” kata Pak Kajari.

Maiyahan seperti malam ini bisa sekaligus berfungsi untuk banyak hal yang baik karena metodenya yang mempersambungkan setiap orang atau setiap hal. Di panggung ada Pak Bupati incumbent dan Bupati terpilih, dan Cak Nun memberikan kesempatan kepada beliau berdua untuk mengemukakan hal-hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat. Pak Bambang Pujiono pamitan dan menyampaikan permohonan maaf dan mendoakan Bupati yang baru bisa memimpin Grobogan dengan lebih baik. Keduanya diiringi KiaiKanjeng membawakan campursari Sewu Kutho.

Di sela-sela atau merupakan bagian dari mengalirnya Sinau Bareng Cak Nun, KiaiKanjeng salah satunya menghadirkan lagu Rampak Osing yang dibawakan oleh Mas Islamiyanto. Liriknya pas dengan soal korupsi. Menggambarkan orang yang uber-uberan entah mau nyari apa. Kondisi yang mungkin menyeret orang untuk melakukan korupsi.

Sebagian jamaah di sisi kanan panggung berjoget saat lagu dari Banyuwangi ini ditembangkan. Dan seperti dikatakan Cak Nun tadi, kalau kita ikhlas dan ridlo, sangat mungkin Allah menjadi tidak tega kepada kita. Hujan lembut itu, perlahan berhenti tak lama setelah Cak Nun mengungkapkan sikap syukur atas hujan yang diturunkan Allah sedari sore tadi di sini. Banyak rajutan fenomena berlangsung sekaligus dalam Maiyahan sehingga tak sempat kita pada saat bersamaan mengingat atau menyadari unsur per unsurnya, karena sudah terbangun menjadi satu kesatuan keindahan. Ya musik, ya kecerdasan komunikasi, kejujuran hati, dan terkemukakannya ilmu. Ilmu itu pun disimak tak hanya oleh audiens dan para narasumber, semua awak kru sound system pun tampak larut menyimak dengan sungguh-sungguh saat Cak Nun memaparkan suatu penjelasan.

Sudah banyak poin-poin pandangan terkait soal korupsi disampaikan Cak Nun sedari dulu, mulai dari posisi KPK sebagai lembaga ad hoc di dalam pelaksanaan penegakan hukum, supremasi keadilan, manusia akhlak, dan lain-lain. Malam ini Cak Nun memberikan butir-butir “pelok” saja, bukan “mangga yang sudah jadi”, untuk dijadikan prinsipnya. Pertama, apa alasan adanya antikorupsi. Hendaknya bukan karena eman harta/uang yang dikorupsi, melainkan karena rusak atau tidak benarnya perilaku korupsi. Kalau karena eman atau “milik” pada hartanya itu bernama materialisme, tetapi kalau karena prinsip atas perilakunya itu bernama akhlak. Kemudian hari antikorupsi sesungguhnya bukan hanya tanggal 9 Desember, tetapi setiap hari adalah hari antikorupsi.

Selain itu, tumbuhnya kesadaran antikorupsi sangat bergantung pada kekuatan mental, akhlak, dan hubungan batin seseorang kepada Allah. Sebab Allah “tersinggung” bila kita melakukan pencurian. Itulah sebabnya, korupsi berlangsung dan terjadi sebagai akibat dari ketidakjujuran dan ketidakpercayaan kepada kemurahan Allah.

Tetapi Maiyah bukan semata soal tema atau topik, sebab ilmu bisa berada dalam lipatan atau selipan. Sering Cak Nun mempraktikkan “ilmu memetik di udara” dalam arti mengolah, merespons, dan menjluntrungkan apa-apa yang dikemukakan jamaah atau masyarakat yang mengajukan pandangan. Sebab kadang persoalannya tak terusung lewat kata-kata, tetapi berada di dasar jiwanya, berupa sikap, apakah itu kekecewaan, kebingungan, kemandirian, dan kondisi-kondisi batin lain yang dibutuhkan kepekaan dan kematangan. Di situlah Cak Nun peka dan jeli mengurai ekpresi-ekspresi yang tak jarang berisi ketidaktersambungan dan belum kematangan atau juga sebagai cermin tak adanya kepemimpinan atas umat secara sungguh-sungguh.

Waktu benar-benar tak cukup tersedia seperti Maiyahan sebelum-sebelumnya. Cak Nun harus segera kembali ke Jogja, karena sebelum subuh harus sudah sampai Jogja untuk bersiap terbang ke Jakarta untuk ta’ziyah wafatnya Mas Agung Waskito. Mas Agung Waskito merupakan sahabat dan “anak didik” Cak Nun yang dulu berproses kreatif di Patangpuluhan dan menyutradrai pementasan naskah teater karya Cak Nun seperti Lautan Jilbab. Mas Agung wafat sore tadi di Bogor, pada hari di mana ia sebenarnya akan datang dan menjadi pembicara Diskusi Buku Sewelasan di Rumah Maiyah yang akan mengangkat sejarah pementasan Lautan Jilbab yang dulu disutradarainya pada malam ini.

Sinau Bareng Cak Nun Kajari Purwodadi
Sinau Bareng Cak Nun Kajari Purwodadi. Foto Adin.

Pukul 23.30 Cak Nun mengajak semua berdiri, berdoa, dan memuncaki acara. Acara yang dalam sudut Cak Nun dan KiaiKanjeng tak ada kepentingan apa-apa selain pelayanan, sebagaimana Maiyahan selama ini. Sementara dari sisi masyarakat, mereka dapat menyerap langsung ilmu, keindahan, fenomena, dan butir-butir lain yang tertaburkan dalam Maiyahan. Dan pulang dari Maiyahan, mereka membawa oleh-oleh yang bergizi bagi hidup mereka.

Saat berjalan dari panggung, menuju mobil, melewati tanah yang becek, jamaah merangsek mengejar tangan Cak Nun untuk dijabat dan dicium. Bahkan sampai pun saat sudah berada di mobil dan perlahan meninggalkan lapangan, terus saja orang-orang mengejar, menempel kaca mobil. Di antara mereka adalah anak-anak yang masih sangat muda, usia sekitar enam belas tahun. Entah dari mana berdatangan, Di panggung, saat berdoa, seseorang berjubah dan bersurban putih menyerahkan sebilah pedang dan tongkat kepada Cak Nun.

Semua orang-orang yang mengerubung dan berlomba meraih Cak Nun tadi memancarkan espresi ketulusan, keikhlasan, dan kesungguhan. Apa yang diberikan kepada Cak Nun tidak terutama terletak pada bendanya, tetapi pada aspirasi, gagasan, dan energi yang diungkapkannya. Dan itu ternyata, tak hanya di lokasi, bahkan sampai saat mobil Cak Nun mampir isi bbm di pom bensin, seorang jamaah mengetahui ada Cak Nun dan langsung meminta salaman, menyampaikan terima kasih, mendokan kelancaran perjalanan Cak Nun hingga ke Bogor besok pagi takziyah wafatnya Mas Agung Waskito. Selesai pamitan, dia segera bergegas, berlari dan menampakkan wajah senang, bahagia, syukur, dan ketawadhu’an.

Lainnya

Exit mobile version