Mereka Baca Buku Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Namanya Klub Baca Buku Jogja (KBBJ). Sudah terbentuk sejak hampir tiga tahun silam. Berisi sekumpulan anak-anak muda yang setiap kali berkumpul, mereka bareng-bareng membaca satu judul buku. Kemarin malam (Senin,29 Februari 2016) bertempat di Mooi Kitchen Café di kompleks Yap Square Yogyakarta, mereka membaca buku Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai karya Cak Nun. Salah satu karya Cak Nun yang di-republish oleh penerbit Bentang Pustaka.
Ciri khas KBBJ adalah setiap peserta atau siapa saja yang hadir akan kebagian giliran membaca bagian tertentu dari buku yang sedang dibaca. KBBJ tidak seperti diskusi buku pada umumnya. Diskusi buku umumnya tidak disertai aktivitas membaca buku saat buku itu didiskusikan, mungkin dengan asumsi pesertanya sudah membacanya sebelum datang ke acara, atau mungkin juga belum pada baca, atau membacanya sekilas-sekilas sambil menyimak diskusinya. Tetapi yang pasti mereka tidak menjadikan membaca buku sebagai agenda utamanya.
Sebaliknya, di KBBJ baik ia sudah membaca atau belum, setiap peserta diajak “mencicipi” membaca buku dan itu berarti peserta yang lain ikut mendengarkan atau menyimak. Ada satu dari mereka yang bertugas mendistribusikan bagian-bagian mana yang akan dibaca. Peserta yang sudah membaca diberi kesempatan untuk menyampaikan sedikit komentar atas apa yang telah dibacanya.
Demikian pula dengan saat baca buku Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Beberapa bagian atau beberapa judul esai yang terhimpun dalam buku setebal 428 halaman ini dibaca dengan dibagi ke semua yang hadir. Di antaranya esai Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Puasa: Menuju “Makan Sejati”, Terminal Cinta Terakhir, Suksesi, Ukhuwah Islamiyah, Santri Cendekiawan di Era Modern, dan Kiai Kantong Bolong. Mbak Mila sebagai petugas terlebih dahulu memberikan gambaran umum mengenai buku ini, khususnya ia menguraikan pemahamannya mengenai apa yang dimaksud anggukan ritmis kaki pak kiai.
Sebagaimana bergantian mereka membaca isi buku, bergantian pula mereka memberikan komentar atau petikan atas inti tulisan yang dibaca. Mas Hari, salah satu pembaca, mengemukakan kesan dan pendapatnya. “Bahasa Cak Nun sederhana, tetapi menyentuh ide-ide modern. Di situ kita melihat bagaimana Islam bersikap terhadap seni, sekalipun mungkin banyak aliran-aliran. Saya coba berpikir sistematis untuk memahami apakah Cak Nun itu sosok yang liberal, konservatif, atau yang lain, tetapi saya belum berhasil merumuskannya. Tetapi, apa yang ditulis Cak Nun adalah satu suara yang berusaha menerjemahkan atau menginterpretasikan Islam. Saya lalu ingat teman saya. Seorang dosen, yang ternyata suka ikut pengajian Maiyah. Dari situ saya melihat, mungkin dia suka mengikuti pengajian Maiyah karena Maiyah mempertemukan intelektual-intelektual muda dengan interpretasi-interpretasi moderat.”
Sementara itu Mbak Prapti yang membaca Terminal Cinta Terakhir menorehkan pesan, “Dari hal-hal sederhana saja ternyata kita sudah bisa bersyukur kepada Tuhan.” Ada yang baru kali pertama datang ke KBBJ dan ia membaca Santri Cendekiawan di Era Modern. Ia menyatakan, “Dari bagaimana Cak Nun menginterpretasikan santri, saya merasa sebenarnya tak mudah kita men-judge kelompok. Saya berasal dari Indonesia Timur, dan saat saya hijrah ke Jogja, saya tahu bahwa yang selama ini kita yakini (secara sosial-budaya) itu adalah satu jenis interpretasi saja. Artinya kita perlu mengambil kesadaran: hidup kita ini punya banyak segi, aspek, dan keragaman. Bukan sesuatu yang sempit.”
Pendapat-pendapat lain cukup ragam terlontarkan semisal: “Membaca tulisan Cak Nun ini saya jadi tersadar bahwa ternyata sering kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Sesuatu yang kadang sifatnya adalah kepalsuan.” “Kadangkala bahasa Cak Nun penuh satir. Tetapi yang terpenting, Cak Nun sangat pandai menyuguhkan sudut pandang-sudut pandang yang sederhana, sesuatu yang bikin kita lalu bilang: iya ya…!”.
Acara baca buku yang dimulai usai Maghrib itu berakhir menjelang pukul 21.00 WIB. Malam itu pun suasana atau muatan-muatan komentar dari pembaca terasa berbeda dari biasanya. Pembacaan mereka atas buku yang telah ditulis 23 tahun silam lebih ini turut memberikan gambaran relevansi dari gagasan-gagasan yang telah ditulis dan dipikirkan oleh Cak Nun jauh-jauh hari sebelumnya. Lewat buku ini pula mereka dapat melihat tema-tema pemikiran yang berlangsung pada tahun 80-an dan 90-an khususnya mengenai diskursus keummatan: apa saja yang menjadi pokok bahasan, perdebatan, atau wacana saat itu, dan mereka bisa melihat perkembangan maupun perbandingannya dengan saat ini. []