CakNun.com
Pengantar Buku TKIT Alhamdulillah

Merabuki Tanaman Masa Depan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

(1)

Isi buku ini adalah gambaran suatu tahap di mana anak-anak kita dibimbing oleh para Malaikat Allah, untuk mengenali dan mempelajari kehidupan. Anak-anak menerima bimbingan itu melalui naluri batinnya, kecerdasan akal dan rasa komunikasinya dengan Tuhan, meskipun belum sanggup secara utuh merumuskannya.

Pertama-tama, yang wajib kita ketahui adalah bahwa anak bukan titipan, melainkan pinjaman, dari Allah kepada kita.

Kalau titipan, yang butuh adalah yang menitipkan. Kalau pinjaman, yang butuh adalah yang meminjam. Allah tidak butuh apa-apa, juga tidak butuh meminjamkan apapun kepada siapapun. Kita yang butuh dipinjami.

Apa saja yang wajib atau sunnah atau mubah atau makruh atau haram untuk dilakukan kepada sesuatu yang dipinjamkan, ditentukan oleh yang meminjamkan, bukan oleh yang dipinjami. Apalagi sesuatu itu adalah anak, yang adalah manusia, bukan barang atau apa-apa lainnya.

Sesungguhnya manusia, keluarga, masyarakat, Negara dan lembaga-lembaga, satuan-satuan dan perkumpulan apapun di mana manusia berhimpun — akan melakukan apapun: harus terutama memperhatikan dan mematuhi ketentuan dari Yang Maha Meminjamkan.

(2)

Itulah landasan utama dari prinsip hakiki keluarga dan pendidikan. Mendidik anak bukanlah memprosesnya menjadi seperti yang kita maui, melainkan menemaninya berproses agar menemukan apa yang Allah kehendaki atas hidupnya.

Maka kedua orang tua dan para Guru harus lebih rajin belajar dibanding anak. Yang wajib dipelajari adalah apa kehendak ‘Yang Maha Meminjamkan’ atas anak yang Ia pinjamkan kepada kita. Dan salah satu jalan utama untuk itu adalah ketekunan, kesabaran dan ketelitian untuk memahami anak, mendengarkannya, serta menyelaminya.

Tugas orangtua dan Guru kelihatannya seperti mengajari mereka sesuatu, tapi sesungguhnya dan seharusnya ‘mengajari sesuatu’ itu hakekatnya adalah proses untuk memahami anak. Keluarga dan Sekolah itu sendiri sangat harus belajar kepada anak, karena yang diekspressikan oleh anak adalah tanda-tanda kemauan Tuhan atas anak itu.

(3)

Mendidik, dalam keluarga maupun Sekolah – sekali lagi — bukanlah mencetak anak sesuai dengan kehendak kita, meskipun menurut kita program dan kurikulum pendidikan yang kita susun itu sangat baik.

Mendidik anak adalah berproses bersama anak agar secara bertahap memahami kemauan Allah atas anak kita, dan dengan bekal itu kita mengawal perkembangan kehidupan anak-anak.

Anak-anak itu sendiri tumbuh dengan naluri untuk meneliti dirinya sendiri, menghimpun pengenalan atas dirinya, ‘niteni’ dialektika sebab-akibat dengan pengenalan atas lingkungannya, atas alam dan masyarakat manusia. Tingginya rasa ingin tahu setiap anak adalah tanda bahwa mereka berproses mencari diri mereka sendiri di tengah lingkungan hidupnya. Para Malaikat sangat setia mendorong dan menuntun anak dalam proses mencari dirinya di dalam kehendak Allah.

Sebab sebelum dilahirkan lewat rahim Ibunya, anak-anak mengalami perjanjian dengan Allah untuk mengakui dan mengabdi kepada-Nya. Begitu ia lahir, ia memulai dari kefitrian, kosong dan suci seperti kertas putih. Kemudian selama belum ‘aqil baligh ia dipandu oleh Malaikat Allah untuk meniti ilmu dan pengetahuan agar kemudian memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya kepada Allah.

(4)

Maka anak-anak berkembang tidak atas dasar kemauan atau cita-cita orangtuanya atau dirinya sendiri, melainkan berdasarkan rancangan Allah atasnya. Sebab sebagus apapun, setinggi dan sehebat apapun konsep kita tentang dan terhadap anak kita, pasti jauh lebih baik dan lebih indah rencana Allah atasnya.

Rencana Allah atas anak kita itulah mata pelajaran terpenting bagi orangtua dan Guru. Rencana Allah itu perlahan-lahan dan secara bertahap bisa kita raba dan ketahui dari dua bahan.

Pertama, prinsip-prinsip nilai tentang fitrah manusia yang diinformasikan oleh Allah melalui Kitab dan Nabi-Nya. Misalnya, aqidah atau iman, dan akhlaqul-karimah: itu mutlak dan paling primer dalam pendidikan, berlaku untuk semua dan setiap anak, apapun kecenderungan dan bakatnya.

Kelak anak kita akan diminta kembali oleh Allah, dan jalan satu-satunya untuk Ia terima adalah kalau ia membawa iman kepada-Nya serta akhlaqul-karimah.

Kedua, melalui kenyataan pada anak itu sendiri: seluruh faktor alamiahnya, kondisi jasmani rohaninya, bakatnya, kecenderungan kepribadiannya, jenis mentalitasnya, sifat hatinya, teksture perasaannya, kadar akal pikirannya, seleranya, serta segala macam sisi dan detail dari keutuhan diri anak-anak kita.

(5)

Dan, karena anak adalah ciptaan Allah, maka mereka adalah milik-Nya, bukan milik kita.

Allah menciptakan anak kita, kemudian meminjamkannya kepada kita. Pada suatu hari nanti akan diambil kembali oleh-Nya. Jangan sampai kelak Allah tidak menerimanya, karena ciptaan-Nya itu sudah kita ubah menjadi seseorang yang lain, sesuai dengan ego dan nafsu kita.

Maka selama kita mengawal perkembangan anak, tidak boleh ada satu tahapanpun di mana orangtua dan Guru tidak ‘melibatkan’ Allah, tidak memelihara suasana kependidikan agar senantiasa berada dalam bimbingan Allah.

Orangtua dan Guru sama sekali bukan penguasa atas anak-anak. Mereka hanya punya hak untuk dihormati, dita’dhimi dan dijunjung secara kemanusiaan dan kebudayaan. Tetapi tidak berhak untuk menguasai anak-anak dalam arti memaksakan kehendak-kehendaknya.

(6)

Ungkapan diri anak-anak kita di Buku ini nomer satu tidak untuk kita nilai hebat tidaknya, bagus atau buruknya, pandai atau tidak pandainya.

Tidak untuk kita banggakan apalagi kita sombongkan. Tidak untuk diperbandingkan antara satu anak dengan lainnya melalui parameter ilmu dan prasangka kebudayaan.

Allah menciptakan hamba-hamba-Nya dengan masing-masing dianugerahi kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda satu sama lain. Setiap ciptaan Allah, terutama manusia, itu unik dan spesifik. Membanding-bandingkan atau merangking-rangkingkan di antara anak-anak tidak sepenuhnya salah untuk kenikmatan berproses, sepanjang hal itu tidak dipahami sebagai prinsip yang mendasar dan primer.

Ungkapan anak-anak di Buku ini untuk disyukuri bersama, untuk diapresiasi secara jernih, serta untuk memperkaya permohonan kita semua kepada Allah agar terus berkenan membimbing para orangtua dan Guru-guru di Sekolah. Sebab mereka berkewajiban merabuki tanaman-tanaman masa depan yang masih tersembunyi di lubuk jiwa anak-anak itu.

Buku ini adalah kitab pembelajaran yang sangat diperlukan oleh para orangtua dan Guru-guru, jauh lebih dari keperluan anak-anak itu sendiri atas terbitnya buku ini.

14 April 2016
Emha Ainun Nadjib

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib