CakNun.com

Mensyukuri Dauriyah Daur 01 – 309

Redaksi
Waktu baca ± 2 menit

Sesuai dengan nama rubriknya, Daur, yang dalam bahasa Arab berarti lingkaran atau putaran, maka dalam putaran tulisan di rubrik tersebut akan kembali pada titik awalnya. Titik itu berawal dari Daur (01) yang tayang pertama kali pada 1 Februari 2016 dengan judul Doaku Dosaku.

Pada Daur (309), 7 Desember 2016 kemarin, putaran tulisan yang ditulis Cak Nun dan tayang setiap hari dari hari pertama hingga hari ke tiga ratus sembilan telah sampai pada titik awalnya. Maka dengan itu, tulisan Daur telah sempurna pada bulatannya.

Mengapa 309? Jamaah Maiyah bisa mendapatkan kandungan maksudnya di Daur (309): Yang Sejodo dan Yang Separo itu sendiri.

Seperti yang pernah disampaikan pada tulisan Tajuk “Menyambut Daur”, bahwa yang berbeda dari tulisan-tulisan Cak Nun pada rubrik Daur ini adalah alur tulisannya yang tidak mengikuti pola redaksional yang dikenal umum. Sangat beda, bahkan bertentangan dengan tulisan-tulisan beliau yang biasa kita nikmati di media masa atau buku-buku sebelumnya. Dulu memang disuguhkan sebagai masakan yang sudah jadi, sehingga pembaca tinggal menikmatinya.

Tulisan-tulisan pada rubrik Daur tidak berdiri sendiri-sendiri, ia adalah sebuah alur sebagaimana ritme ilmu Maiyah, random, pencolotan, sengaja ditekateki di sejumlah terminal pikiran. Tujuannya adalah melatih Jamaah Maiyah untuk mencari, menemukan, dan merangkai sendiri keseluruhan yang disampaikan kepada mereka dengan kedaulatan masing-masing. Bahkan banyak tulisan harus bermuatan ‘tantangan untuk mencari’, bukan barang jadi. Dengan kata lain, Daur tidak menyuguhi kita nasi yang sudah siap santap, melainkan padi yang harus Jamaah Maiyah olah dan transformasikan terlebih dahulu. Daur adalah sesuatu untuk ditadabburi.

Tulisan dalam Daur tidak berupa daging mangga yang sudah dipetik, dikupas, diiris, dan disajikan di piring untuk siap makan. Namun ia merupakan biji (pelok) mangga yang harus ditanam, dirawat, tumbuh hingga berbuah nantinya. Dengan prinsip pelok ini, pijakannya adalah Jamaah Maiyah diajak untuk berproses. Proses dengan tahapan yang berbeda-beda pada setiap insan dan bisa jadi akan sangat panjang proses itu.

Membaca Daur juga tidak bisa seperti membaca skripsi, tesis, atau tulisan dengan struktur akademis yang runtut strukturnya dari latar belakang, rumusan, pembahasan, kesimpulan, dan penutup. Membacanya harus dengan membebaskan diri dari pretensi itu. Kita bisa menemukan apa saja dan akan berbeda-beda tiap orang, bisa pada kalimat di awal, tengah, akhir paragraf, atau di paragraf manapun. Juga harus lepas dari mencari benang merah antar tulisan.

Membaca Daur harus berangkat dari kosong. Bukan berangkat dari nafsu niatan mencari sesuatu yang kita inginkan. Tetapi membaca saja sampai kita menemukan apa di sana. Membaca Daur seperti memasuki hutan belantara dengan rasa syukur dan ilmu untuk menemukan manfaatnya, tanpa pamrih.

Maka dari itu, kita semua layaknya mensyukuri nikmat telah mendapat Daur di tahun 2016 ini. Tulisan-tulisan di Daur ibarat batu bongkahan besar. Kemudian dari bongkahan itu, Jamaah Maiyah mengambil potongan kecil yang bisa diproses menjadi batu akik. Untuk mengungkapkan rasa syukur itu, Jamaah Maiyah bisa mengirimkan padatan-padatan hikmah atau “batu akik” yang diperoleh dari Daur dan pengalaman selama membaca Daur. Jamaah Maiyah bisa mengirimkan minimal lima padatan hikmah melalui email ke redakturmaiyah@caknun.com.

Lainnya

Mensyukuri Seratus Daur

Tidak terasa, sejak edisi pertama #Daur pada tanggal 3 Februari 2016, pendaran ilmu dari Cak Nun melalui tulisan-tulisan anyar di website ini tidak terasa sudah berlangsung tiga bulan lebih.

Redaksi
Redaksi
Exit mobile version