CakNun.com

Menjaga dan Mempersaksikan Maiyah

Redaksi
Waktu baca ± 9 menit

Menjaga maiyah, menjaga dari ancaman apa? Dari siapa?  Apa Maiyah sedang menghadapi ancaman? Sedang dalam bahaya? Siapa yang tega-teganya berniat jahat pada Maiyah? Sedang Maiyah sendiri sibuk menyambung tali sillaturrohim, merangkul dan mempersaudarakan segala yang bertentangan tanpa harus juga menyamakan yang memang berbeda. Siapa selain yang bergelar laknatullah yang bisa-bisanya menyimpan kesumat pada mereka yang terus meniti jalan mencari, menggali, memahami kemurnian dan kesejatian? Siapa? Apa? Kenapa? Bagaimana

Adakah ancaman itu?

Inilah persaksianku, saksikanlah persaksianku. Sahaya menuliskannya dengan segala keterbatasan sudut, jarak, dan sisi pandang sahaya sendiri.

A’udzu billahi minassyaithonirrojim.

Bismillahirrohmanirrohim.

Bahwa sesungguhnya Maiyah menyimpan daya potensi yang sungguh luar biasa besar. Besar tak terkira. Pada tataran ini saya bukan sedang meyakini, sahaya menyaksikan sendiri daya itu dan daya besar itu sungguh tetap dan terus berkembang tumbuh hingga sahaya tak tahu lagi bagaimana menggambarkannya.

Maka selebihnya hanya takbir pula yang sanggup mendengung-kumandang-gema dalam hati. Tak ada lagi kata selain takbir yang mampu menampungnya.

Ini bukan seperti para politisi membesar-besarkan partai dan kuda tunggangan politiknya supaya mereka juga tampak besar, sungguh semoga saya terjauh dari kemunafikan dasamuka macam itu.

***

“Aku lihat Maiyah sekarang sudah semakin menjadi populer,” kata seorang Edo Pradana, sahabat saya yang saya tidak minta izin mencatut namanya, namun dalam persahabatan yakinlah bahwa dia tentu tak keberatan. Hal tersebut saya amini, beberapa bulan lau saya berkesempatan ‘kembali’ ke dunia kampus untuk melatih adik-adik angkatan yang ingin berproses dalam sebuah pementasan teater.

Dalam persentuhan dengan mereka yang masih muda-muda, sahaya melihat bahwa Maiyah sudah dianggap kegiatan yang sama populernya dengan hang-out, nongkrong di café dan lain jenis sebagainya kegiatan yang populer-populer itu. Di sinikah letak kekhawatiran? Rasanya tidak juga, atau apakah ini dimaknai sebagai bagian dari kebesaran Maiyah yang tadi kita bahas? Tentu jauh panggang dari api, sebab sesungguhnya Maiyah tak ada kepentingan dan urusan dengan jumlah. Dianya bukanlah satu perkumpulan haus pengikut. Maiyah, kebesarannya das ding an sich. Besar dengan sendirinya, mereka yang ber-Maiah karena mereka butuh Maiyah.

Laiknya para musafir mendatangi oase, para musafirlah yang sungguh-sungguh membutuhkan oase tersebut bukan? Perihal oase menjadi ramai, ditumbuhi beragam tanaman, berkembang lagi menjadi sumber pergaulan manusia-manusia di dalamnya, oase itu tetap di situ. Memberi, terus memancar, mengalir. Dan hay, persaksikan jualah pada satu masa yang tersebutkan dalam hikayat-hikayat, seorang bayi di pangkuan ibunya memancarkan oase tersebut, dari kakinya yang menggali-gali dan jadilah sumber peradaban yang kelak mengubah wajah dunia. Duhai, putra-putri peradaban.

Sampai pada pragraf di atas tadi, tulisan ini sempat sahaya tunda. Anak-anak tetangga pada berdatangan mengajak bermain, memamerkan wajah mereka yang masih ber-make-up menor “habis Kartinian” kata mereka. Mulai mereka mencari-cari tumpukan buku, minta didongengin. Sempat sahaya bacakan kisah Don Quixote, kisah seorang yang terlalu meyakini dirinya seorang ksatria dan hanya berakhir menjadi bahan tertawaan. Aduh Don Quixote. Di tengah mendongeng, anak-anak minta diputarkan lagu dari laptop pink ini. Agak sulit menemukan lagu yang pas untuk anak seusia mereka sampai akhirnya menemukan lagu soundtrack Sound of Music “Do! a deer a female deer… Re! a drop of golden sun… Mi! a name I call myself….” dst dst.

Anak-anak tertawa, bergoyang sekenanya, kadang mengikuti gerakanku, sedikit-sedikit macam njathil. Tak begitu aneh ada anak-anak yang datang, sedikit aneh justru kenapa sahaya harus menuliskannya di sini. Adakah mereka mengganggu? Tidak, menghibur malah. Dari Maiyah kita belajar, menerima, dan menikmati hal-hal kecil yang sederhana. Tawa para bocah itu.

Lagu selesai, bocah-bocah minta lagi, kali ini sahaya perdengarkan Perahu Layar nya Manthous, mereka nyanyi-nyanyi lagi. Lalu anak-anak kucing yang biasa ada di rumah pulang; Nietzsche, Ponty, dan Minke. Para bocah bermain bersama mereka, sampai lelah. Akhirnya bocah-bocah bubar. Entah nyari hiburan kemana lagi. Duhay, anak zaman.

***

Lanjut….

Inilah sahaya memaknai, untuk mengapa mencatat segala perihal Maiyah. Itu yang kita lakukan di tim riset dan penelitian. Menjaga Maiyah. Maka kembali pada pertanyaan awal, dari apa? Dari siapa? Dari yang di luar? Dari dalam diri sendiri? Entah, yang penting menjaga! Dengan apa? Memagari? Tidak! Justru dengan membuka pintu-pintu.

“Akulah kota peradaban ilmu, dan Ali adalah pintunya.” Walau biasanya hanya diartikan sebagai ‘kotanya ilmu pengetahuan’, saya memilih mengambil makna ‘kota peradaban ilmu’ sebab kata yang dipilih adalah madinatul ilmi. Kalau Ali pintunya, kenapa tak ada pula yang bertanya dimana kuncinya? Nomor pinnya? Password-nya? Sebab bila begitu berharga apa yang terkandung di dalam peradaban ilmu itu, tentu dia mesti dijaga. Tapi tidak, Kanjeng Rosul justru membuka, melalui sahabat-sahabatnya. Dari segala sisi kehidupan Baginda Rosul kita belajar, kita maknai terus, terus tanpa pernah berakhir. Kehidupan Rosul dikisahkan, dicatat dan jadilah sunnah, hadits dengan periwayatan dan pemaknaan yang terus menembus zaman. Qur’an dan Assunnah, dua hal yang selama dipegang dan dijaga terus akan selamatlah dunia akhirat.

Rosul Muhammad kota peradaban ilmu, Ali pintunya. Kuncinya dimana? Coba tengok ke tataran negeri khatulistiwa ini, yang negerinya ijo royo-royo. Apa yang ditanam tumbuh, sayang generasi kita dididik dengan lagu anak-anak yang mungkin tidak diciptakan oleh petani sehingga menjadi lirik “cangkul, cangkul… cangkul yang dalam….” Apa yang perlu di ‘cangkul yang dalam’ di tanah subur ini? Kita hanya perlu gali sedikit, letakkan benih, tumbuh dia! Tak begitu banyak tumbuhan di negeri ini yang perlu dicangkul dalam-dalam. Mungkinkah kunci kota peradaban ilmu itu ada di sini? Di daya urip-urup manusia-manusianya? Yang menyala berdaya tak bisa ditaklukkan.

Ijo royo-royo, ya hijau. Apa lagi yang hijau? Batu Kryptonite, yang datang dari planet Krypton tempat kelahiran Clark Kent atau Kal-El. Sumber asal namun juga sumber kelemahan Superman. Manusia kuat segala-gala, otot kawat balung besi, bisa terbang pula. Berkostum merah biru dengan jubah berkibar-kibar heroik namun selama puluhan tahun lupa bahwa celana dalam harusnya dipakai di dalam bukannya di luar. Itu! si merah biru itu, begitu di dekatkan pada batu planet kelahirannya yang hijau berpendaran, Kryptonite, akan langsung lemah tak berdaya. Hilang sirna kekuatannya. Maka jangan lagi ada yang hijau-hijau itu, selain di markasnya sendiri. Musuhnya, Lex Luthor (Lutherian?), dengan selera Eropa abad aufklarung itu selalu mencari-cari di mana batu Krypton, tapi dia selalu gagal sebab niatnya sekadar untuk menaklukkan si merah biru. Si ijo royo-royo Kryptonite terlalu murni, tak sudi sekadar dipakai untuk mengalah-ngalahkan, tidak! Peradaban ummat manusia mesti dibangun di atas kebersamaan dan cinta kasih yang saling menyapa bukan lagi saling mengalahkan dan menyalahkan.

Demikian otak-atik gathuk soal ijo royo-royo batu Krypton yang serpihannya bertebaran di darat maupun lautan, yang bisa dipadatkan, bisa dicairkan dan juga mampu jadi uap. Ijo yang siap tidak menjadi apa-apa, siap menjadi apa saja dan siap untuk tidak apa-apa.

Bagaimana bila kukatakan, adakah kemungkinan kuncinya itu di garis hijau khatulistiwa? Lebih khusus Nusantara, namun apakah Nusantara telah menjadi Nusantara dalam segala aspek? Apakah Indonesia raya yang sekarang ini cukup representatif untuk mengaku sebagai anak kandung ke-Nusantara-an? Sayang sekali, dan memang sungguh patut disayangkan bahwa bocah bernama Indonesia rupanya telah menjadi anak durhaka bagi ibu Nusantaranya. Sahaya yang tak berdaya apa ini ingin katakan satu kemungkinan kunci aktivasi “kota peradaban ilmu” itu ada di Nusantara namun di mana sekarang mencari Nusantara?

Nusantara, sungguh satu kata yang membuat pusing para ahli dalam berbagai keilmuan.  Tiga ratus lima puluh tahun, menjejakkan kaki, berkoalisi sesama perusahaan dagang dari negeri-negeri mereka, mencoba mencari cara menguasai negeri ini. Tak pernah ketemu metode yang pas. Dibeginikan mental, disuntikkan ini, bukannya keracunan malah racunnya yang jadi njawani. Disuntikkan ideologi, disuntikkan ragam bentuk perpecahan tidak bisa. Pola pranata masyarakatnya tak terumuskan, segala-gala menemukan anomali di sini. Tiga ratus lima puluh tahun, terlalu singkat dan tak cukup. Akhirnya hengkang. Tampaknya sahaya mulai terdengar men-simplifikasi sejarah, namun baiknya hal-hal tadi diurai dalam pikiran dan diolah dalam batin masing-masing sahaja.

Nusantara, dan bila kita coba padatkan sebagai bangsa Jawa. Memiliki karakter yang unik. Ini bukan bermaksud sebagai tulisan pembangkit-pembangkit rasa kebangsaan untuk bangsa terjajah, tidak! Itu sudah pernah dilakukan di zaman pergerakan. Namun bila kita mau jujur, sesungguhnya kapan bangsa ini benar-benar dijajah? Kapan? Kapan? Sesekali coba cari mbah-mbah londo yang masih ikut dalam kolonialisme di masa lampau, anda akan temukan cerita betapa mumet ndase ketika (disebut) berkuasa di tanah Jawa. Sesekali juga, coba cari mbah-mbah Jowo yang pernah mengalami masa Belanda. Yang ini saya pernah melakukan ketika ngobrol dengan almarhum Mbah-nya istri saya. “Jaman londo penak koq le, ilang sapi siji digolekki tenanan rung mesti ketemu ning yo digolekki. Jaman saiki, ilang sapi siji, lapor polisi malah ilang siji meneh nggo mbayar polisine. Ning yo lakone jaman pancen kudune mesti merdeka nek ora merdeka yo ra apiklah.” Simplifikasi sejarah lagi? Bukan itu maksud saya, tapi masyarakat kita sungguh memiliki cara yang khas untuk menemukan kenikmatan dalam kondisi paling sulit bahkan ketika sedang terjajah sekalipun, ini tentu berbeda dengan menikmati keterjajahan. Sayangnya, yang terakhir inilah yang mulai berlaku belakangan.

Nusantara, Jawa. Coba dirumuskan tak ketemu-ketemu. Polanya apa? Pembagiannya gimana? Raja-rajanya dibuat berperang, anda akan mudah sekali menemukan fakta bahwa ketika raja-raja diadu domba (devide et impera), rakyatnya terkena wajib militer untuk mendukung rajanya, disuruh perang. Dibangkitkan kebenciannya terhadap kerajaan sebelah, dikasih senjata dan pakaian perang. Matahari terbit, berangkat, sampai di medan laga, ketemuan, malah duduk-duduk, ngerokok klobot, ngobrol ngalor-ngidul, hahahihi. Matahari terbenam, pulang! Blas! Gak ada korban jiwa. Matahari terbenam memang tidak boleh ada kegiatan peperangan, itu sudah adat yang diadopsi dari kisah-kisah pewayangan. Hal-hal macam ini tidak terjadi sekali dua kali, sering. Literasinya masih bisa dicari.

Anda bisa ngobrol dengan ahli-ahli ilmu sosial manapun dan cobalah ajukan pertanyaan “apa itu Jawa? Apa itu Nusantara?” Dan jawaban-jawaban yang muncul akan berbeda-beda, njelimet dengan sedemikian banyak rujukan yang saling bertentangan satu sama lain dan hasilnya malah; mbundhet!

Jawa-Nusantara memang tak bisa dipelajari hanya dari literasi dan bukti bebendaan. Dianya hanya bisa dihayati, dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang lumrah dan wajar. Sebab ada di situlah warisan peradaban itu. Pintu mempelajari Jawa justru sebegitu banyaknya, namun bangsa Eropa selalu gagal memahaminya. Kenapa? Justru karena pintu-pintu itu sedemikian banyak. Mau masuk lewat mana? Manusianya? Anda akan ketemu banyak sekali macamnya, pola komunikasi? Seorang kawan yang sangat serius mempelajari antropologi berkata, ada temuan bahwa pola komunikasi Jawa yang mampu dirumuskan oleh ahli antropologi ada empat lapisan dan konsep Derrida tentang bahasa yang dianggap sangat revolusioner di abad pascamodern ini baru mencapai lapis kedua saja. Soal ini karena menyangkut teori, baiknya saya tidak panjang-panjangkan karena saya lemah dalam mengingat teori-teori macam begini, ya pokoknya gitu itulah.

Ada pula seorang sesepuh yang mengajukan satu pintu lagi dalam memahami Jawa: Sungai. Dengan menelusuri arus, lika-liku, aliran hulu hingga hilir, sungainya mampu menggambarkan juga muatan batin wong Jowo. Banyak sekali pintu, namun yang utama adalah ini: hiduplah di dalamnya. Bila Jawa adalah alir, ikutlah dalam alirannya. Namun memang sesekali kita mesti keluar aliran dulu untuk bisa mengagumi alir itu. Saya sendiri bukan orang Jawa dalam pengertian Jawa yang pulau lambung kapal ini -istilah saya sendiri saja- saya berasal dari Sulawesi sehingga tak begitu sulit buat saya untuk sering mengagumi Jawa, walaupun juga darah orang Sulawesi memiliki khasnya sendiri yang kadang sulit beradaptasi dalam komunitas Jawa, Jogja khususnya.

Nusantara-Maiyah

Rosul sebagai kota peradaban ilmu, Ali pintunya. Satu kemungkinan: Nusantara-Jawa kuncinya. Kembali kita, di mana Nusantara? Anda sudah ketemu jawabannya? Pada manusia-manusia anomali zaman yang tangguh tak terkalahkan, bersopan santun tinggi namun menyimpan hulu ledak maha dahsyat, mereka yang bisa dan sungguh tanpa kepentingan apa-apa duduk berjam-jam mengatasi malam, kantuk, lapar, kebelet eek dlsb. Sahaya kenal betul wajah-wajah ini, mereka yang tertawa-tawa bahagia walau melarat, mereka yang memanggul beban peradaban namun pundaknya tetap terasa enteng, mereka yang menggali dan terus menggali, memetakan pikiran, meletakkan segala sesuatu sesuai empan papan, mewaspadai pikiran sendiri, mereka yang berdaulat merdeka tanpa perlu proklamasi kemerdekaan yang ingar-bingar, mereka yang merayakan kebesaran Gustinya dengan kemesraan cinta kasih, bukan dengan teriakan takbir yang galak dan jargonistik, mereka yang…. Ah sudahlah, mereka itu Jamaah Maiyah.

Maka konklusi pertama dari runtutan tulisan yang entah mengapa sahaya tuliskan ini adalah, Maiyah sebagai kunci aktivasi sang ijo royo-royo. Disingkat saja: kunci peradaban.

Maka perlu dijaga, dengan membuka segala pintunya. Seperti yang dicontohkan oleh Kanjeng Baginda Rosul Muhammad shollallahu alayhi wasallam. Sahaya mengagumi para sedulur Maiyah karena mereka menemukan diri mereka sendiri menjadi otentik, berguru tapi tidak men-copy-paste sang guru. Sebagaimana Nusantara dan manusianya yang sulit sekali didefinisikan, begitupun Maiyah dan segala macam makhluk di dalamnya. Disadari atau tidak, apa yang dijalani oleh sedulur-sedulur Maiyah bertahun-tahun ini telah menjadi laku pambukaning gapuro dari peradaban di masa hadapan. Maka, kembali lagi, harus dijaga. Bagi saya, bergabung dalam tim riset penulisan ini adalah proses penjagaan walaupun saya koq agak pekewuh untuk bilang begitu. Memangnya sahaya ini siapa? Koq bisa-bisanya ngaku menjaga Maiyah? Tapi sekadar untuk meyakin-yakinkan diri tentu tak salah bukan?

Bahwa zaman adalah proses, mengalir. Tengok apa-apa yang lahir diawal-awal abad modern ini, tak bisa kita memungkiri bahwa organisasi-organisasi yang lahir selalu dengan niat dan maksud baik. Tengok NU dan Muhammadiyah, dua ormas ini yang konon terbesar, bagaimanapun berdiri dengan niatan yang suci dengan konteks kesucian yang cocok dan sesuai dengan zaman dan tempat kelahirannya. Namun — dengan segala hormat — tak bisa dipungkiri, pada perkembangannya dua ormas ini lama-lama menjadi tunggangan oleh banyak pihak. Apakah Maiyah harus waspada untuk ditunggangi? Jawabnya bisa iya, namun untuk masa sekarang saya masih pede untuk dapat berkata tak ada yang mampu menunggangi Maiyah. Untuk menjadi kendaraan tunggangan, sesuatu harus dijinakkan terlebih dahulu, dibuat tergantung pada si penunggang tapi Maiyah terlalu liar, lajunya terlalu cepat dan lebih-lebih lagi, tak bergantung pada apa-apa selain Gusti Allah yang memang tempat segala sesuatu bergantung.

Thus! Melintas zaman!

Untuk menunggangi Buroq, mestilah manusia sekaliber Muhammad sang khatamal anbiya, dengan tour guide-nya Maulana Jibril. Maka ifrit terpental! Jangan! Jangan mencoba bila masih membawa api ifrit dalam hati.

Saya boleh dong berbangga-bangga diri sedikit, bahwa semoga apa yang dilakukan oleh para sedulur dalam tim riset dan penulisan ini sesungguhnya juga adalah salah satu upaya pembuka pintu-pintu Maiyah yang karena ruangannya seluas semesta, pintunya juga tak berbilang jumlahnya. Begitu pintu-pintu terbuka, semoga ya ketemu kunci ijo royo-royo Kryptonite itu, bisa jadi begitu.

Selalu saya membayangkan dan juga selalu teriring doa bahwa pada seratus tahunnya Maiyah nanti, Maiyah masih dan masih terus menggali dan mencari. Terus menanam benih kesejatian, mungkin sesekali memang ada buah yang perlu dipetik,mungkin seratus tahun cukup untuk panen raya, tapi habis panen tetap harus menanam. Bukan karena harusnya itu diharuskan, tapi karena sudah sewajarnya menanam.

Maiyah membangkitkan kembali rasio murni, ‘bayi laki-laki’ yang dibunuhi oleh kekuasaan Firaunisme berabad-abad lalu. Rasio murni yang mempertanyakan kekuasaan, menganalisis kepantasan penguasa, mendefinisikan dengan akal sehat, memetakan silang-sengkarut pereselingkuhan Firaun politik dengan kapitalis Qorun dan tukang sihir media informasi pesanan istana. Bayi laki-laki dibantai, sebagai simbol matinya rasio murni di zaman itu, menandakan lahirnya era penguasa berdasarkan imagology, citra yang dibuat berlebih-lebihan. Hal yang dibongkar kembali oleh Rosul Muhammad -dengan cara tak ingin wajah agungnya digambar dan dipatungkan- namun dihidupkan kembali di era pascamodern ini dengan perselingkuhan yang tak tentu jenis kelamin ideologinya sebagaimana kaum Nabi Luth. Sahaya saksikan, sebagaimana Muhammad lahir di masa jahilliyah, Maiyah lahir di era pertemuan kubu-kubu konspirasi munafiqin dari berbagai zaman bersatu padu dalam barisan kekuatan Dajjal-isme.

Dan Maiyah atas kuasa Allah Robbil alamin dengan berbekal cinta pada Nabi junjungan Muhammad, bertahan!

Dajjal tak bisa memasuki Makkah awal mula format syariat, juga tak mampu menembus Madinah fondasi peradaban.

Karena rasio dan kekuasaan memang  harus beriringan. Tapi Maiyah juga memekakan rasa seperti denting-denting gamelan mempertajam kepekaan batin penyimaknya.

Sebagaimana selalu teriring doa untuk kesehatan, umur panjang, dan segala yang terbaik bagi Mbah Nun, bagi bapak-bapak Kyai Kanjeng, bagi para sedulur Maiyah begitu jua selalu teriring doa untuk Maiyah yang sahaya saksikan kedahsyatannya sebagai kunci peradaban. Seratus tahun, seribu tahun ah… Masih terlalu belia usia segitu untuk ukuran satu peradaban.

Sejauh mana membuka rahasia sejarah masa lalu, sejauh itulah visi ke zaman hadapan.

Luaskan jangkauan isro’, meninggi pula mi’roj yang digapai.

Pantaskah sahaya mengaku mempersaksikan Maiyah? Sangat mungkin tidak utuh, namun inilah kekagumanku. Sehingga hanya takbir yang mampu terucap.

Allahu akbar.

Wallahu a’lam bisshawab
Yogyakarta, 27 April 2016

Lainnya