Menikmati Kebobrokan
Ta’qid“Tapi ternyata sampai setengah abad kemudian keadaan masyarakat tidak menjadi lebih baik, bahkan semakin bertumpuk kerusakan-kerusakan, kebobrokan dan kehancuran...”
Semangat baru pembicaraan tentang kuda-kuda Sapu Jagat menjadi redup dan melankolik, ketika muncul ketidaktegaan perasaan Sundusin terhadap hal-hal pribadi pada Markesot.
“Kalau saya amat-amati”, katanya, sejak Sapron meninggal di usianya yang masih sangat muda, Cak Sot seperti orang yang melayang. Bersamaan dengan proses kekecewaannya yang mendalam terhadap keadaan-keadaan masyarakat dan lingkungan”
“Memang Sapron adalah penggemar Cak Sot”, Tarmihim menyahut, “terutama kalau sore-sore dia mengaji nderes murottal rengeng-rengeng lirih, Sapron sering diam-diam mendengarkan dari balik pintu”
“Cak Sot sangat menyayangi Sapron karena sudah seperti anaknya sendiri. Cuma saya tidak menyangka bahwa sedemikian mendalam rasa kehilangan Cak Sot oleh kepergian Sapron”, Sundusin menambahkan.
Di masa kanak-kanaknya Sapron adalah anak yatim yang diambil anak oleh Bapaknya Markesot, bersama dengan berpuluh-puluh anak lain yang ditampung, disekolahkan, dicarikan pekerjaan, dinikahkan, bahkan disediakan tempat tinggal. Kemudian banyak di antara mereka yang berkhianat, kacang lupa lanjaran, bukan hanya tidak bersyukur dan bersikap terima kasih, lebih dari itu: menghapus sejarah, menyakiti dan menganiaya orang yang dulu menyayangi dan membiayai hidup mereka.
Keluarga Markesot adalah keluarga aneh: kaya raya untuk ukuran masyarakat desa. Tetapi kehidupan sehari-harinya sangat mepet, bahkan sejak kecil Markesot tampak seakan-akan ia fakir miskin, bukan sekadar sederhana. Kekayaan orangtuanya dipakai untuk mengongkosi kasih sayangnya kepada masyarakat di sekitarnya: membangun sekolah-sekolah, menyediakan banyak fasilitas umum, mem-backup kegiatan-kegiatan olahraga, kesenian, kebudayaan dan keagamaan, membangun koperasi untuk stabilitas sembako bagi para penduduk — seolah-olah keluarga Markesot adalah Pemerintah.
Padahal Markesot sendiri sepengetahuan semua teman-temannya, selama ia berhijrah ke Patangpuluhan dan Sapron mengikutinya: hidup sebagai semacam fakir miskin. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa ia berasal dari latar belakang keluarga pentraktir masyarakat. Rumah kontrakannya yang sangat murah, cara hidup sehari-harinya, pakaian dan makannya, bukan hanya sangat sederhana, tapi memang benar-benar pas-pasan.
Tidak ada bekas-bekas dari latar belakang di mana Bapaknya Markesot dulu bahkan punya tradisi kenduri besar untuk penduduk desa. Kalau tiba 17 Agustus, menyembelih beberapa ekor sapi, kemudian makan bersama warga beramai-ramai. Kalau datang hari peringatan Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj, dan hari-hari penting lainnya, selalu ada saja ide Bapaknya Markesot untuk menggembirakan hati orang banyak. Termasuk menyewa sekian Bus, diajak beramai-ramai ke tempat rekreasi, pemandian, pantai, dan lain-lain.
Rumahnya seperti pesantren besar yang gratis. Berpuluh-puluh kamar, berpuluh-puluh tempat mandi, guru-guru dibikinkan kamar sendiri-sendiri, Masjid sudah pasti, kandang-kandang ternak, serta berbagai fasilitas lain yang semuanya memanjakan masyarakat dan melalaikan anak-anaknya sendiri, termasuk Markesot.
Masyarakat sangat penting dan utama, tapi keluarganya sendiri hidup prihatin dan seadanya. Ulang tahun Negara atau Nabi itu yang harus diingat, sementara Markesot dan semua anggota keluarga Bapaknya tidak pernah merasakan momentum ulang tahunnya. Bahkan makan dan pakaian mereka sangat seadanya, dan itu menjadi tradisi gaya hidup Markesot sampai hari tuanya sekarang ini.
Pengurus desa sangat beruntung punya Bapaknya Markesot, meskipun seringkali hal itu justru membuat Pak Lurah dan sejumlah pejabat desa merasa dengki. Dan karena itu suka menyebarkan fitnah, meng-gethok–tular-kan provokasi, bahkan berkali-kali melemparkan santet yang serius ke Bapaknya Markesot.
“Mungkin latar belakang kehidupan seperti itu yang membuat Cak Sot bersikap agak aneh di hari tuanya”, kata Tarmihim.
“Saya juga merasakan hal yang sama”, sahut Sundusin, “Sejak Buyut Kakek dan Bapaknya Cak Sot, sudah selalu menomorsatukan masyarakat. Tapi ternyata sampai setengah abad kemudian keadaan masyarakat tidak menjadi lebih baik, bahkan semakin bertumpuk kerusakan-kerusakan, kebobrokan dan kehancuran. Cak Sot ditenggelamkan oleh kesedihan yang sangat mendalam. Dan akhir-akhir ini kesedihan itu sangat tercermin di wajah Cak Sot, proses penuaannya sangat cepat, kerut merut wajahnya tak tega saya melihatnya, muatan di balik sorot matanya tak bisa saya bayangkan. Sangat redup dan selalu menunduk, tapi sesekali sangat nanar menatap ke depan seakan-akan meluncurkan anak-anak panah api yang mengerikan…”
“Jadi bagaimana dengan Sapu Jagat?”
Sundusin tertawa pahit. “Kita semua ini disapu habis oleh keadaan jagat”
“Banyak adik-adik kita di Patangpuluhan naik ke panggung nasional. Menjadi tokoh. Pejabat. Pengusaha besar. Profesor Doktor. Komisaris perusahaan. Menteri. Gubernur. Walikota. Bupati. Ada yang selamat sebagai manusia, ada yang menikmati arus kebobrokan dan menikmati kekayaan dan kejayaan dari keterpurukan rakyat banyak. Dan kita bagian angkringan, petani Lombok, makelar jual beli motor, Guru di pelosok…”
“Dan yang paling tidak kunjung kita pahami adalah Cak Sot tidak pernah mau memasuki pintu-pintu kebesaran dunia yang sejak dulu terbuka lebar baginya. Tidak mau mendaki ke puncak kejayaan sebagaimana normalnya orang hidup. Menolak kendaraan-kendaraan sejarah yang berseliweran di depannya. Tidak tertarik untuk menduduki kursi besar di tempat sangat tinggi yang sudah menanti-nantinya. Cak Sot terus berpuasa, hidup dalam kepapaan di tingkat yang paling rendah….”