Menggerhanai Allah
Ta’qid“Sebab dunia, sejarah, politik, kebudayaan, teknologi, ilmu, peta bisnis, lalu lintas keuangan, dan apapun, selalu menciptakan kemiringan-kemiringan dari titik adil”
Jadi siapakah sosok tua remang di bilik Markesot itu? Mungkin saja Kiai Sudrun, tapi pasti bukan Saimon, Sapron atau Brakodin. Atau magnet penyerap dari gelombang di dalam diri Markesot menyerap kehadiran entah siapapun: Kanjeng Sunan, Ki Ageng, atau malah Pendeta Dorna, bahkan siapa tahu malah resonansi Iblis.
Yang paling mendekati, ia adalah bagian dari kosmos kesadaran dan aspirasi Markesot sendiri. Allah mengambil secuilan dzat dari diri-Nya sendiri, melemparkannya menjadi jagat raya dengan segala muatannya. Malaikat, Jin, Iblis, Setan, manusia, hewan, pepohonan dan batu-batu. Kemudian dengan ekosistem kewajiban dan hak yang ditawarkan oleh Allah, lahirlah peradaban demi peradaban — dan Markesot terselip, terjepit, ketelingsut di salah satu petak, di suatu tikungan atau lipatan.
Itu membuat Markesot terpojok dalam kegelapan yang amat sunyi, ia berkedap-kedip menatap seluruh arah dan bertanya kepada dirinya sendiri: “Kenapa saya di sini? Apakah memang seharusnya saya ada di sini? Apakah memang Tuhan yang mencampakkan saya ke sini, ataukah terjadi semacam salah kelola pada kehidupan manusia, sehingga saya terbuang ke tempat ini? Atau saya sendirikah yang salah kelola atas diri saya sendiri sehingga tersesat ke maqam yang rasanya bukan maqam saya ini?”
Markesot tidak punya kebiasaan untuk mengurusi nasib pribadinya atau memperjuangkan letak sosialnya di tengah kehidupan manusia. Markesot tidak pernah memikirkan eksistensinya, tidak menempuh karier pribadi, tidak memperjuangkan kepentingan dirinya. Di berbagai kurun kehidupan ia hanya merespons, mengabdi, melayani, dan sejak tadi malam ia merasa hilang di tengah hutan belantara pengabdian yang tidak ada ujung pangkalnya itu. Maka keluar dan hadirlah sosok atau gumpalan yang tertua dari ekosistem kejiwaannya.
Markesot tidak mencari tempat di dunia, tidak memperjuangkan apapun untuk keperluan pribadinya. Tidak masalah ia bertempat atau ditempatkan di bagian manapun di dunia, sebab yang utama padanya adalah tak pernah bergeser posisi dirinya dan pilihan nilai-nilainya dari garis lurus tauhid, gravitatif, tengah antara dua kaki, membelah badannya hingga ke ubun-ubun dan menjulur lurus ke pusat arasy. Begitulah perspektif nilainya, pola berpikirnya, sangkan-paran perjalanannya, keputusan langkah-langkahnya, siang malam budayanya, serta gawang belakang dan depan iman kehidupannya.
Tetapi tadi malam ia gerah oleh posisi universalitasnya serta maqam rahmatan lil’alaminnya. Secara sangat mendasar dan mengakar Markesot menggugat dirinya sendiri: “Kamu berada di sini ini karena dikirim oleh Tuhan atau ditindas oleh manusia?”
Markesot dikepung oleh manusia-manusia madzhab, manusia aliran, manusia golongan, manusia kotak-kotak. Sebenarnya tidak ada masalah dengan madzhab, karena setiap orang harus berbagi jalanan untuk dilewati. Asalkan jiwanya tauhid dan pola berfikirnya gravitatif, cara memandang hidupnya dari titik tengah keadilan, di poros antara pusat arasy dengan pusat bumi, di hablun minallah.
Sayangnya hablun minallah dipahami dan diumumkan berposisi bersilangan dengan hablun minannas. Yang pertama diasosiasikan vertikal, yang kedua horisontal. Alangkah jasadiyah dan materialistiknya cara pandang manusia atas kehidupan dan atas dirinya sendiri. Tidak akan ada apapun selain kehancuran yang akan terjadi pada perjalanan hidup manusia dan peradaban ummatnya yang bersilangan dengan sabilillah.
Jika posisi berdiri tubuhmu, sistem nilai sosialmu, mekanisme Negara dan demokrasimu, tatanan akhlak kemanusiaanmu, bangunan kebudayaanmu dan keseluruhan ekosistem peradabanmu – berada pada kemiringan satu derajat saja, maka harus ada upaya dari dalam jiwamu, akal pikiran dan ilmumu, untuk menemukan ketegakan dirimu pada garis arasy dan poros tauhid.
Terus-menerus harus engkau usahakan penyeimbangan semacam itu. Sebab dunia, sejarah, politik, kebudayaan, teknologi, ilmu, peta bisnis, lalu lintas keuangan, dan apapun, selalu menciptakan kemiringan-kemiringan dari titik adil. Engkau harus senantiasa bersiap siaga dengan mesin iman dan ilmu di dalam dirimu untuk mengantisipasi kemiringan-kemiringan yang terjadi.
Sebab kalau tidak, untuk menggaris-lurus kepadamu, Allah digerhanai oleh tatanan sosial, oleh kekuasaan politik, oleh bias-bias ilmu, oleh tafsir-kutub atas Kitab Suci, oleh institusi Agama dan lembaga-lembaga kebudayaan, oleh mesin teknologi, oleh produksi-produksi industri, bahkan oleh Ulama, Kiai, Ustadz, pandangan-pandangan madzhabiyah, oleh versi-versi yang kau pahami sebagai garis-garis lurus kepada Allah.
Percintaanmu dengan Allah menjadi hampir tidak pernah otentik.