Mengenang Pak Teguh dan Pak Slamet
Sekalipun seseorang telah pergi meninggalkan dunia ini, namun jejak langkahnya masih dapat dan perlu dikenang bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia. Karena itulah, majalah sastra Sabana berinisiatif mengundang sejumlah sahabat, kerabat, dan kolega untuk berkumpul di Rumah Maiyah Kadipiro pada Jumat malam 19 Agustus 2016 kemarin. Tidak lain dalam rangka menghormat dan mengenang dua orang punggawanya yang telah menghadap Allah Swt: Pak Teguh Ranu Sastra Asmara yang genap wafat 100 hari (meninggal pada 8 Mei 2016) dan Pak Slamet Riyadi Sabrawi yang baru saja wafat 7 hari silam (13 Agustus 2016).
Semasa hidupnya, Pak Teguh mendedikasikan hidupnya untuk kehidupan sastra: menulis puisi, esai, artikel, liputan, dan berita-berita. Bahkan hingga di masa sepuhnya, lewat akun media sosialnya, beliau aktif dan terus manayangkan kegiatan-kegiatan seni, budaya, dan sastra yang diliputnya. Di majalah sastra Sabana, beliau dipercaya sebagai salah satu anggota dewan redaksi.
Sementara itu, Pak Slamet yang notabene dokter hewan lebih banyak menghabiskan waktunnya untuk menekuni dunia jurnalistik, LSM, teater, dansastra. Terakhir beliau menjabat sebagai Asisten Direktur pada LP3Y yang dipimpin oleh Bang Ashadi Siregar. Beberapa tahun terakhir, beliau sangat rajin menulis puisi dan membukukannya. Di Sabana, beliau dipercaya sebagai Pemimpin Umum atau Penanggung Jawab.
Acara yang dihadiri oleh keluarga Sabana, sejumlah penyair, seniman, dan penggiat kebudayaan di Yogyakarta ini diawali dengan pembacaan surat Yasin, dilanjutkan dengan sambutan dan pembacaan puisi, dan dipuncaki dengan sesi mengenang kedua almarhum. Sambutan disampaikan oleh Pak Iman Budhi Santosa mewakili Sabana dengan menyampaikan kepada hadirin bahwa Sabana berinisiatif mengadakan acara ini untuk menghormati dan mengenang kedua almarhum. Acara ini juga dihadiri oleh istri alm. Pak Teguh (Ibu Hidayah) dan Istri alm. Pak Slamet (Ibu Gesit).
Rangkaian baca puisi dihadirkan oleh Umi Kulsum, Titi Suryati, Budhi Wiryawan, dan Ririn. Sedangkan pada sesi mengenang almarhum yang dipandu oleh Budi Sardjono, turut menyampaikan kenangan adalah Soeparno S. Adhi, Labibah Zain, Ons Untoro, dan Sutirman Eka Ardhana. Sementara itu Cak Nun diminta memberikan sambutan penutup.
Dalam sambutan penutup itu, Cak Nun menceritakan kehidupan masa Persada Studi Klub Malioboro tahun 70-an (di mana kedua almarhum termasuk eksponen di dalamnya) yang memiliki kondisinya sendiri dan berbeda dengan kondisi saat ini yang merupakan era milenial. Masing-masing era melahirkan generasinya tersendiri, dan kedua almarhum lahir dari era dan lingkungan di mana infrstruktur, fasilitas, dan teknologi masih serba terbatas alias berbeda dengan era sekarang, tetapi karenanya justru memiliki karakter yang unik dan berbeda.
Berdasarkan interaksi, pergaulan, dan kedekatanya dengan Pak Teguh dan Pak Slamet sedari dulu, serta dengan perspektif kemanusiaan, Cak Nun mengungkapkan bahwa kedua almarhum bukan hanya khusnul khotimah (baik akhir hidupnya), melainkan juga khoirul awaliyah (baik sejak masa awal) dan khoirul wasathiyah (baik masa-masa tengahnya). Keduanya adalah sosok-sosok yang tak hanya dedikatif, tetapi juga bersih hidupnya. Kini keduanya telah memasuki alam keabadian kholidina fiha abada dengan memanggul tugas yang baru.