Mengapa Tidak Belajar dari Hidup yang Pertama
Selepas semalam hingga menjelang subuh tadi hadir di Kenduri Cinta Jakarta, dan tanpa istirahat langsung terbang ke Jogja, pagi tadi pukul 09.00, Cak Nun sudah berada di kawasan Yogya selatan untuk menghadiri acara pertemuan alumni SMA Muhi Yogyakarta angkatan 71 plus, di mana Cak Nun adalah salah satu dari alumni tersebut. Pertemuan diadakan di rumah Pak Muhammad Room Farchan tepatnya di jalan Bantul 87 A Yogyakarta.
Walaupun sudah terjalin jauh sebelumnya, tetapi dua tahun terakhir, khususnya sejak Cak Nun menjadi tuan rumah reuni pertama alumni Muhi angkatan 69 plus pada 2015 lalu dan bertempat di Rumah Maiyah Kadipiro, kawan-kawan Beliau semakin intensif bersilaturahmi dan menggelar pertemuan rutin. Salah satunya pagi-hingga siang hari ini di rumah Pak Room. Cak Nun sendiri pun memberikan perhatian khusus kepada tersambung dan hidupnya kembali silaturahmi dan persaudaraan di antara teman-teman semasa SMA-nya sesudah bertahun-tahun tidak tersambung secara lebih komplit.
Itulah sebabnya, Cak Nun mensyukuri dan menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya dalam pertemuan yang dipenuhi suasana keakraban pagi tadi bahwa orang-orang yang bukan saudara tetapi mau bersaudara (nyedulur), adalah orang yang akan tergabung ke dalam rombongan orang-orang yang pertama kali masuk surga, hal yang bahkan membuat para wali cemburu kepada mereka.
Jika di Kenduri Cinta tadi malam, bersama Cak Fuad, Cak Nun lebih banyak berbicara dan memperkenalkan kepada masyarakat urban ibukota akan pentingnya tadabbur al-Quran dengan kebaruan pemahaman dan paradigma, dalam pertemuan pagi tadi Cak Nun lebih banyak mengajak teman-temannya untuk memahami kembali hakikat hidup di dunia, kematian-kehidupan, surga, dan keabadian. Sebuah tema yang dalam bahasa orang-orang desa disebut dengan ‘ngaji tuwo’.
Tetapi di samping menghadirkan konseptualisasi atau pemahaman baru yang mencerminkan refleksi yang terus berjalan dan tak pernah berhenti, Cak Nun mengemukakan muatan-muatan ngaji tuwo itu dalam bahasa sederhana dan clear logikanya sehingga mudah dipahami siapapun saja, dan tidak terasa bahwa sesungguhnya itu adalah ngaji tuwo. Dan tema yang sama itu ternyata disampaikan juga oleh Cak Nun kepada siapa saja di dalam beberapa Maiyahan terakhir. Tak peduli muda atau tua. Seakan mengatakan bahwa memahami pandangan mengenai hakikat hidup di dunia, hidup-mati, surga, dan keabadian adalah tema untuk siapa pun manusia. Bukan monopoli khusus orang-orang yang sudah tua, atau khusus kaum filsuf akademis saja. Siapapun perlu menyadari dan mempelajarinya. Bahkan yang muda harus lebih awal mempelajarinya agar bisa lebih mempersiapkan diri.
Duduk didampingi Pak Djafnan Tsan Affandi dan Pak Munichi Bahron Eidris, Cak Nun mengingatkan bahwa sesudah menjalani hidup, manusia akan mengalami mati, dan sesudah itu dihidupkan lagi, kemudian mati, dan dihidupkan lagi di surga. “Mengapa kita tidak belajar dari hidup yang pertama ini untuk bekal memasuki hidup yang kedua,” ajak Cak Nun. Kemudian Beliau menjelaskan bahwa sesudah meninggal dunia tidaklah lalu selesai semuanya. Masih akan ada hidup lagi, dan di hidup yang baru itu nanti, manusia bisa melihat hidup yang ini.
Dengan bahasa yang berbeda dari umumnya penggambaran akan hidup di dunia ini, Cak Nun mendeskripsikan bahwa dunia bukanlah tempat membangun, melainkan tempat mengumpulkan batu bata dan bahan-bahan yang dibutuhkan, dan membangunnya nanti di surga. Menarik bahwa dari yang dipaparkan Cak Nun, rekan-rekan sebayanya ini kemudian terdorong untuk mendalaminya melalui tanya-jawab.
Selain Cak Nun, Pak Munichi yang tak tak lain adalah cicit KH Ahmad Dahlan, ketua Ikatan Arsitek Indonesia, ustadz, dan pernah hadir di Mocopat Syafaat juga memberikan sejumlah wawasan khususnya terkait pesan-pesan KH Ahmad Dahlan dan pelajaran dari hidup sehari-hari Beliau. Sementara itu Pak Djafnan adalah sosok yang penting dalam terhimpunnya kembali sahabat-sahabatnya ini sejak sebelum reuni 2015 lalu. “Kita bisa berkumpul semua ini karena jasa Djafnan sehingga kita bisa sambung lagi,” ujar Cak Nun mengapresiasi peran Pak Djafnan, yang tak lain adalah seorang ilmuwan nuklir dan penekun al-Quran yang sangat mendalam, dan juga pernah berbagi ilmu di Mocopat Syafaat.