Mengalirnya Udara. Menetesnya Embun
Tahqiq“...Kenapa Tuhan tidak boleh menghadirkan sesuatu sesuai dengan kemauan-Nya? Kenapa Tuhan dipaksa untuk membatasi diri-Nya bersesuaian dengan kapasitas logis manusia?...”
“Mereka beristighotsah, mendayu-dayu memohon kehadiran Tuhan dari nun jauh di sana untuk hadir menolong mereka. Padahal Tuhan begitu karib di sekitar mereka, bahkan di dalam diri mereka. Mereka memohon-mohon, mengemis-ngemis agar Tuhan bekerja untuk membantu mereka mengatasi masalah-masalah. Padahal Tuhan tidak pernah tidur, tidak pernah tidak bekerja, tidak pernah pamit mengerjakan sangat banyak hal dalam kehidupan manusia. Padahal Tuhan sangat setia memastikan keberlangsungan hidup mereka. Mengalirnya darah mereka. Bekerjanya setiap sel-sel tubuh mereka. Keluar masuknya napas mereka. Berlangsungnya seluruh mekanisme dan metabolisme tubuh mereka. Bergeraknya kaki dan tangan mereka”.
Brakodin senyum-senyum lagi.
“Juga mekanisme dan metabolisme tubuh besar alam semesta. Tumbuhnya setiap tanaman, menghijaunya dedaunan, berputar dan beredarnya benda-benda bulat di seantero langit. Menetesnya embun. Mengalirnya udara. Pergerakan kelopak bunga. Melompat-lompatnya katak. Mengaumnya harimau. Bernyanyinya burung-burung. Berderiknya cengkerik. Mengantuknya mata manusia. Dibangunkannya kembali setiap makhluk dari tidurnya. Kenapa manusia membantah perilaku Tuhan yang menghadirkan seorang tua mendadak memasuki pertemuan mereka?”
Agak tegang juga guratan wajah Brakodin.
“Kenapa otak mereka melakukan demonstrasi dan somasi terhadap keseharian Tuhan untuk melakukan apapun saja yang dikehendaki-Nya? Kenapa manusia menjadi Jaksa yang menuntut kesemau-mauan Tuhan agar disesuaikan dengan terbatasnya pemahaman logis mereka? Kenapa Tuhan tidak boleh menghadirkan sesuatu sesuai dengan kemauan-Nya? Kenapa Tuhan dipaksa untuk membatasi diri-Nya bersesuaian dengan kapasitas logis manusia?”
Jengkel benar hati Brakodin.
“Kenapa manusia melarang Tuhan untuk memanifestasikan gagasan-Nya? Kenapa Tuhan diregulasi agar menyesuaikan diri terhadap kepentingan manusia? Kenapa keputusan Tuhan untuk meletuskan gunung atau meluapkan air laut ke daratan disimpulkan sebagai bencana oleh manusia? Apa gerangan itu kalau bukan fakta bahwa manusia punya ambisi untuk menjadi Pusat Semesta dan Sumber Segala Kehendak? Kenapa manusia membangun resistensi rasional untuk membantah ketika Tuhan mengirim orang tua, membawa lipatan kertas, menyuruh Malaikat-Nya mengisi bak kulah untuk mandinya orang tua itu, kemudian mengosongkannya kembali setelah dipakai mandi? Kenapa manusia menggugupkan diri untuk membantah kenyataan di mana Tuhan menggoreskan pena-Nya, segoresan sangat kecil, yang mewujud menjadi lintasan kedatangan dan kepergian sesosok yang manusia melihatnya sebagai orang tua?”
Lainnya terus berkonsentrasi memaknai kalimat-kalimat di surat Markesot.
“Siapa bilang itu surat Markesot? Kenapa manusia tidak mau mengakui kemungkinan bahwa itu hanya surat dengan jenis tulisan yang disimpulkan sebagai hasil goresan tangan Markesot? Kalau toh memang itu adalah pola estetika hasil jari-jemari Markesot, apakah kalian pikir Tuhan dan para Staf-Nya tidak bisa melakukan hal yang sama? Bahkan mampu menggoreskan tulisan tipe Markesot yang lebih persis tulisan Markesot dibanding jika Markesot sendiri yang menuliskannya? Bagaimana kalau ternyata surat itu sama sekali tidak terkait dengan Markesot, tapi diserupakan sedemikian rupa dengan gejala dan fakta Markesot?”
Brakodin hampir tak bisa menahan diri untuk membunyikan tertawa gelinya.
“Kenapa manusia menganggap tidak ada kemungkinan bahwa sebenarnya Markesot sendiri tidak tahu-menahu tentang surat itu, tentang isi dan bukan-bukan pikiran yang dituliskan. Bahwa Markesot juga tidak pernah tahu tentang orang tua itu. Tidak mengerti apa-apa tentang riuh rendah diskusi teman-teman dan cucu-cucunya. Tidak mengikuti alur tema dan kronologi konteksnya. Markesot mungkin sedang tidur nyenyak di atas dahan besar di sebatang pohon di dalam hutan rimba yang ada sungainya?”
Brakodin menikmati mengalirnya buah-buah pikiran di dalam memori otaknya, hasil asimilasi antara proses pengalaman hidupnya selama ini hingga tamu orang tua tadi, dengan berbagai macam ungkapan Markesot yang pernah diingatnya sesudah puluhan tahun bergaul.
Di ujungnya, Brakodin tertawa terpingkal-pingkal di dalam hatinya, mentertawakan dirinya sendiri. “Ya Allah, berdosa saya. Hanya duduk bersila, bersedakap dan diam, tapi ternyata yang saya lakukan adalah menghimpun dosa….”