Menemukan Ketepatan Koordinat Maiyah di dalam Diri
Di Maiyah kita belajar bahwa kehidupan merupakan sebuah ruangan yang besar yang terdiri dari banyak pintu. Cara berpikir seperti ini memungkinkan bagi kita untuk memasuki ruangan tersebut dari pintu mana saja yang kita kehendaki, sehingga cara pandang kita pun tidak berlaku secara fakultatif semata. Lebih jauh dari itu, di Maiyah kita sudah belajar tentang cara pandang, sudut pandang, resolusi pandang, dan jarak pandang yang secara tidak langsung melatih kepekaan kita dalam berpikir dan dalam merespon persoalan yang kita hadapi saat ini.
Kenduri Cinta edisi Desember 2016 kali ini mengangkat tema Koordinat Maiyah. Apa yang dicari dari Tema ini? Tentu bukan hanya sekedar untuk memastikan dan meneguhkan di mana letak dan posisi Maiyah dalam konstelasi besar pergolakan kondisi dunia dan Indonesia hari ini, tetapi justru lebih mendalam lagi, bagaimana Orang Maiyah menemukan ketepatan dalam memosisikan Maiyah dalam dirinya masing-masing. Ketepatan Orang Maiyah memosisikan Maiyah dalam dirinya harus diteguhkan, mengingat Maiyah bukanlah sebuah Organisasi yang padat seperti Pergerakan kebanyakan, melainkan Maiyah merupakan sebuah Organisme yang sangat cair.
Evolusi cara berpikir yang diajarkan di Maiyah yang tidak hanya Linier, tetapi juga Siklikal, Spiral, Zig-Zag, terbukti semakin mendewasakan Orang Maiyah untuk tidak mudah terbawa arus mainstream saat ini. Dengan cara berpikir yang komprehensif inilah yang kemudian melatih kepekaan Orang Maiyah untuk menyikapi isu-isu yang berkembang di masyarakat dalam batas kewajaran. Mungkin bagi sebagian orang kemudian bertanya-tanya mengapa Maiyah tidak turut ambil bagian dalam aksi massa besar-besaran yang dilakukan oleh Ummat Islam di Indonesia akhir-akhir ini. Apakah kemudian dengan tidak terlibatnya Maiyah secara langsung dalam aksi massa tersebut menjadi bukti bahwa Maiyah tidak memiliki kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini, utamanya Ummat Islam? Tentu tidak.
Orang Maiyah belajar bahwa tidak semua pasukan harus turun dalam medan perang yang sama, bahkan dalam sebuah medan pertempuran, ada pembagian tugas dari masing-masing pasukan yang ada. Ada Pasukan Infantri, ada Pasukan Kavaleri, dan ada Pasukan Artileri. Karena jika dikiaskan dalam persoalan “menabuh genderang perang”, maka sebenarnya Maiyah sudah sejak lama melakukan hal tersebut. Persoalannya adalah bahwa jalur yang dipilih oleh Maiyah tidak sama dengan jalur yang dipilih oleh orang kebanyakan saat ini.
Maiyah secara Istiqomah, terus menerus meneguhkan kembali nilai-nilai kehidupan yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. Cinta dan kasih sayang Orang Maiyah kepada Indonesia diwujudkan dalam Maiyahan yang berlangsung hampir setiap malam di beberapa daerah di Indonesia, mulai dari skala yang kecil hingga skala yang besar. Cairnya Organisme Maiyah ini yang ternyata justru terbukti mampu menampung semua orang dari berbagai kalangan, suku, ras, dan agama. Sehingga, sangat aneh jika ada orang yang mencoba mengajari Orang Maiyah tentang Pluralitas dan Toleransi. Apa yang dialami oleh Orang Maiyah hari ini merupakan akumulasi dari proses pembelajaran yang sudah berlangsung sejak lama.
Jika kita gambarkan medan perang seperti sebuah pertandingan sepak bola misalnya, Orang Maiyah memahami bahwa yang bertanding bukan hanya 11 orang yang berada di lapangan sepak bola saja. Dari 11 orang yang terjun di lapangan sepak bola itu saja sudah jelas bahwa mereka memiliki pembagian tugasnya masing-masing berdasarkan kemampuan dan posisi yang ia pilih; mulai dari penjaga gawang hingga penyerang. Bahkan lebih luas dari itu, bahwa sebenarnya yang berjuang dalam sebuah pertandingan sepakbola bukan hanya 11 pemain yang berada di lapangan sepak bola itu, ada staf pelatih yang berada di pinggir lapangan yang juga sebenarnya memiliki peran yang tidak kalah penting dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Belum lagi dukungan supporter yang selama 90 menit terus menerus meneriakkan yel-yel untuk menyemangati 11 pemain yang sedang bertanding di lapangan. Dan bahkan, bisa jadi para penonton yang hanya menyaksikan dari layar kaca televisi pun merupakan bagian lain dari pasukan sebuah kesebelasan sepakbola yang sedang bertanding. Bahkan juga bisa jadi orang tua dari pemain sepakbola yang sedang bertanding. Selama 90 menit pertandingan sepakbola ia lebih memilih untuk duduk khusyuk bermunajat di atas sajadah, mendoakan yang terbaik bagi putranya yang sedang bertanding.
Dari gambaran ini saja, kita bisa memahami bahwa peran yang diambil oleh setiap pasukan memiliki bagian yang berbeda. Maiyah mencoba memahami lebih dalam bahwa pembagian tugas dalam sebuah perjuangan yang panjang merupakan hal yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipikirkan. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah, bahwa kita tidak bisa memaksakan sebuah peran untuk diperankan oleh orang lain, karena setiap orang memiliki kedaulatannya masing-masing untuk menentukan di mana peran yang harus ia ambil.
Maka, jika kita berbicara tentang Koordinat Maiyah dalam diri kita, lebih dahulu kita harus pertanyakan sejauh mana Maiyah berperan dalam kehidupan kita. Jika diibaratkan dengan anggota tubuh, di manakah letak Maiyah dalam kehidupan kita; kepalan tangan, ayunan langkah, sentuhan jari, kepekaan pendengaran, kejernihan penglihatan, detakan jantung, hembusan nafas, atau aliran darah? Ketepatan posisi ini, masing-masing individu Orang Maiyah harus mampu menakar, mengukur dan berhitung. Apalagi Maiyah merupakan sebuah Perjuangan Panjang dengan nafas panjang, ia seperti perlombaan lari marathon bukan sprint. Maka, sudah sepatutnya setiap individu Orang Maiyah mempertanyakan terlebih dahulu di mana letak dan peran Maiyah dalam dirinya masing-masing, sebelum berbicara di mana letak Maiyah bagi lingkungan terluar dari dalam dirinya itu.
Sabrang menjelaskan, jika diibaratkan seorang yang sedang nyetir mobil, maka titik koordinat yang ia ambil adalah sebagai seorang supir. Ketika ia menjadi seorang supir, ia akan melihat ke beberapa sisi dari mobil yang ia kendarai, sesekali ia melihat kaca spion, ia harus paham kapan harus menginjak pedal rem dan gas, dan lain sebagainya. Dari contoh ini juga bisa dipahami bahwa titik koordinat seorang manusia tidak hanya berada dalam satu rentang sumbu saja, ada banyak sumbu.
Ketika ditanya tentang apa yang sebenarnya menjadi musuh utama Bangsa Indonesia, Sabrang menjelaskan bahwa pada akarnya manusia dilahirkan dalam kondisi memiliki naluri untuk berkompetisi, manusia memiliki kecenderungan untuk berkeinginan menjadi lebih baik dari yang lainnya. Sabrang mencontohkan, pada era Majapahit yang dikompetisikan adalah soal kesaktian, maka yang terjadi pada era itu adalah adu kesaktian antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti halnya dalam sepak bola, maka kompetisinya adalah siapa yang mencetak gol paling banyak, dialah yang akan dinyatakan sebagai pemenang. Kompetisi-kompetisi seperti ini terjadi di segala bidang, dan hari ini yang tampak paling nyata adalah terjadinya kompetisi untuk menentukan siapa yang paling kaya secara harta benda. Dan itu berlangsung di segala lini kehidupan, tidak hanya di level elit politik, pengusaha, tetapi juga hingga masyarakat akar rumput yang ada di level terbawah.
Pada dasarnya, keinginan manusia untuk menjadi yang paling kaya, untuk menjadi yang paling sejahtera dari yang lainnya bukanlah sebuah persoalan. Keinginan itu menjadi sebuah masalah manakala dalam mewujudkan keinginan tersebut, pada saat memperkaya diri dan menyejahterakan diri, pada saat yang bersamaan justru menindas orang lain, menginjak martabat orang lain, merebut harta orang lain, merendahkan harga diri orang lain. Di sinilah kemudian kompetisi untuk menjadi yang paling kaya menemui titik persoalan yang sangat besar.
Salah satu jenis kompetisi diwujudkan dalam praktek penjajahan dan peperangan. Sebuah Peperangan, pada intinya adalah proses penguasaan sumber daya di sebuah tempat. Dalam tanam paksa misalnya, yang dikuasai adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk menanam jenis-jenis tumbuhan tertentu yang menghasilkan keuntungan yang banyak bagi penjajah yang sedang menguasai suatu wilayah. Penjajah datang, kemudian menodongkan pistol kepada penduduk di wilayah tersebut, memaksa agar penduduk menanam tumbuhan-tumbuhan tertentu, jika tidak dituruti, maka akan dibunuh. Beberapa saat kemudian, proses penjajahan tersebut berevolusi dengan cara yang lebih halus; Politik Etis. Dan dari dulu hingga sekarang, peperangan yang dihadapi oleh manusia di muka bumi hingga hari ini memiliki akar yang sama; penguasaan sumber daya yang ada di suatu wilayah oleh bangsa lain.
Sabrang menjelaskan bahwa Islam sudah memiliki konsep bagaimana agar kesejahteraan dapat tersalurkan hingga ke seluruh lini Ummatnya, yaitu dengan konsep Zakat dan Sedekah. Dua konsep ini merupakan proses re-distribusi uang dari tempat berkumpulnya uang menuju tempat yang tidak dijangkau sebelumnya. Sehingga, dengan adanya konsep seperti ini cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat tidaklah sukar untuk diwujudkan. Tetapi pun pada akhirnya, metode pengumpulan Zakat dan Sedekah hari ini masih sangat sering ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, sehingga Zakat dan Sedekah tidak tepat sasaran, hanya berputar dalam satu lingkaran yang sama.
Menegaskan tentang Jurus Jalan Panjang, Sabrang menerangkan bahwa jangan dikira yang memiliki metode Jurus Jalan Panjang hanya Maiyah. Tetapi, sangat dimungkinkan bahwa para musuh-musuh yang sedang berusaha untuk menguasai Indonesia hari ini juga memiliki metode Jurus Jalan Panjang mereka sendiri, dengan konsep mereka, dengan metode mereka, dan dengan strategi mereka yang juga tersusun sangat rapi.
Maka, bukan saatnya lagi Ummat Islam dan Bangsa Indonesia secara luas untuk berkutat dalam melemahkan dirinya sendiri, saling bertabrakan, saling sikut, saling merasa paling benar sendiri. Karena hal tersebut tidak menjadikan posisi mereka menjadi semakin kuat. Justru hal tersebut menjadikan posisi mereka secara perlahan akan terus menjadi semakin lemah. Sementara musuh-musuh mereka tetap fokus menjalankan strategi mereka yang sudah mereka rencanakan.