Mencalonkan Diri untuk Dhalim dan Bodoh
TahqiqJarak itulah asal-usul demokrasi, di mana Tuhan melemparkan manusia di dalam rentang kemerdekaan untuk memilih. Malaikat dan alam berada di dalam kesatuan, sementara manusia dipersilakan untuk mengambil keputusan : menyatu atau menyempal atau bahkan menjauh dan keluar dari skala entitas Tuhan”
Brakodin meneruskan.
Setiap manusia adalah gumpalan yang dihasilkan oleh himpunan tunggal-tunggal itu. Dan di antara gumpalan-gumpalan yang bernama manusia, terdapat sejumlah gumpalan yang tidak sama jumlahnya, kelengkapannya, dimensinya, kualitasnya, dengan gumpalan-gumpalan lainnya yang umum dan rata-rata seperti kita.
Sejumlah gumpalan yang istimewa, yang kelengkapan dan jenis komposisi maupun aransemennya juga istimewa, itulah yang mungkin disebut Nabi dan Rasul. Kelengkapan dan keistimewaan beliau-beliau itu dipahami sebagai pemenuhan semacam syarat rukun untuk memperoleh akses terhadap wahyu.
Demikian berabad-abad manusia memahaminya. Pada saat yang sama ternyata Tuhan menginformasikan: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”.
Kalau lebah saja setiap langkah dan perbuatannya dipandu oleh wahyu Allah, maka tidak ada apapun di antara benda-benda alam dan jagat raya yang berlangsung di luar kendali wahyu-Nya. Tidak ada embun yang menetes tanpa pewahyuan. Tidak ada angin menyapu, tidak ada awan bergerak, tidak ada seserpihan waktu dari perputaran matahari, rembulan dan benda-benda langit lainnya, yang berlangsung tanpa pewahyuan.
Juga tidak ada faktor alamiah yang manapun pada diri manusia yang keberlangsungannya berada di luar peristiwa wahyu. Detak jantung, darah mengalir, keluar masuknya napas, tumbuhnya bulu-bulu, berhentinya perkembangan jasad, memanjangnya kuku, apapun saja pada tubuh manusia, tidak ada yang berjarak dari prosedur wahyu. Tak ada apapun pada benda alam, yang diam dan beku, yang memuai, yang mengalir, dari batu hingga tetumbuhan dan hayawan, yang terlepas dari tali wahyu Allah.
Alam semesta atau jagat raya adalah manifestasi paling luar dan paling sederhana dari Tuhan. Ia bukan sekadar ciptaan Tuhan. Ia adalah bagian langsung yang tanpa jarak dari Tuhan. Ia ekspresi Tuhan yang paling otentik dan bersahaja. Jangan sebut alam adalah Tuhan, karena terlalu sederhana untuk merupakan Tuhan. Tapi juga jangan sangka ia bukan Tuhan, karena tidak ada apapun selain Ia. Segala yang dikenali sebagai “ada”, semata-mata adalah Ia sendiri. Tuhan tidak menciptakan apapun dengan ‘kulakan bahan’ dari siapa atau apapun selain dari diri-Nya sendiri.
Adapun apa dan siapa gerangan makhluk gaduh, riuh rendah, dan ribut yang bernama manusia?
Sang Maha Pencipta menginformasikan bahwa manusia adalah ciptaan-Nya yang terbaik. Ahsanu taqwim. Yang terbaik di antara semua yang Ia pernah ciptakan. Apa gerangan tanda-tanda bahwa ia “ahsan”? Sejauh ilmu di antara manusia sendiri pernah merumuskan, tanda ahsan-nya adalah anugerah al’aql, akal, yang alam tidak menerima anugerah itu. Serta kelengkapan-kelengkapan, terutama gelombang nafsu, yang para Malaikat dipelihara oleh-Nya untuk tidak mengandungnya di dalam kehidupan mereka.
Brakodin ingat yang dulu sekali pernah dikemukakan oleh Markesot, bahwa keistimewaan manusia, faktor “ahsan” padanya yang dianugerahkan oleh Tuhan, sesungguhnya sekaligus merupakan lubang hitam yang sangat potensial untuk mencelakakannya. Atau semacam jalanan sangat licin yang amat mengancam manusia untuk terpeleset perjalanannya.
Kalau Malaikat dan alam berada secara tak terpisahkan atau berposisi inheren dengan entitas Tuhan, manusia dilepaskan pada wilayah jarak. Allah menentukan akal manusia berfungsi dengan pengambilan jarak sebagai prasyarat. Jarak antara manusia dengan Tuhan itu yang dipandang oleh manusia sebagai lubang hitam atau jalanan yang sangat licin di atas.
Jarak itu tidak berlaku pada Malaikat dan alam. Iblis yang semula berada pada kesatuan dengan Tuhan tanpa jarak, oleh Tuhan dilemparkan berdenyar-denyar di wilayah jarak. Setan merupakan aplikasi dinamis dari denyar-denyar itu. Sementara Jin dan manusia, dilemparkan untuk melakukan pengembaraan, berputar-putar, jatuh bangun, hilang dan ketemu, gelap dan terang, samar dan nyata – meskipun skala yang ditempuh oleh Jin berbeda dengan manusia.
Jarak itulah asal-usul demokrasi, di mana Tuhan melemparkan manusia di dalam rentang kemerdekaan untuk memilih. Malaikat dan alam berada di dalam kesatuan, sementara manusia dipersilakan untuk mengambil keputusan : menyatu atau menyempal atau bahkan menjauh dan keluar dari skala entitas Tuhan.
Manusia umumnya berbesar kepala dan bermental angkuh, karena menyangka “ahsanu taqwim” adalah penghormatan dan pengistimewaan. Padahal sesungguhnya ia lebih merupakan ujian, yang untuk kasus pilihan manusia tertentu berlaku sebagai hukuman atau kutukan. Manusia menyombongkan dirinya di dalam dirinya sendiri dengan merasa bahkan meyakini bahwa ia lebih hebat dari alam, lebih beruntung dari Malaikat.