CakNun.com
Daur-I234

Memimpin Para Kekasih

Tahqiq“Maka kata apapun yang pernah kau dengar yang dilawan oleh kebanyakan orang, misalnya ketidakadilan, penjajahan, penindasan, eksploitasi, diskriminasi, pembodohan, kriminalisasi, korupsi, dan deretlah hingga ratusan kata-kata yang sejarah mengutuknya: semua itu adalah musuhnya cinta....”

Akseptabilitas? Kadar untuk diterima. Diterima oleh siapa? Rakyat menerima darimu tiga hal: sogokan sebelum pemilihan, kebingungan oleh langkah-langkah kekuasaan, kemudian penderitaan yang tak menentu dan berkepanjangan.

Perbodohlah rakyatmu, agar mereka tidak mengerti perbedaan antara baik dan buruk kekuasaanmu, benar atau salah pelaksanaan tugas-tugasmu. Biasakanlah masyarakatmu untuk mengkonsumsi kejahatan-kejahatanmu, selalu jaga agar mereka mampu bertahan oleh tekanan kejahatanmu. Nanti akan lewat suatu jangka waktu, di mana mereka akan bukan hanya menerima kejahatanmu, bahkan berkesimpulan bahwa itu adalah kebaikanmu.

Jangan pernah membiarkan keadaan yang perkembangannya akan memperjelas apakah yang kau pimpin itu Kerajaan ataukah Republik, Khilafah, Persemakmuran, Keluarga, persaudaraan atau Rumah tangga. Toh tidak ada yang baku. Negara yang pengertiannya sangat tertentu saja bisa digeser pelan-pelan menjadi bukan lagi Negara. Bukankah di Negeri rakyatmu ini sendiri tak ada Negara, karena yang hadir adalah Pemerintahan di atas tanah air dan rakyat yang tak punya ra’iyah, tidak punya kedaulatan.

Sebarkan pengertian bahwa memang beginilah berkeluarga dan berumah tangga kalau jumlah orangnya ratusan juta. Tidak bisa sebagaimana keluarga-keluarga kecil di rumah-rumah. Kuncinya adalah akseptabilitas: titik beratnya tidak harus apakah kerjamu bisa diterima, tetapi pada rekayasa agar rakyatmu selalu menerima apapun saja yang kau suguhkan. Bukan jenis minuman apa yang kau tuangkan, tapi bagaimana gelasnya kau bikin bisa menerima jenis minuman apapun. Itulah kekuasaan.

Apalagi Khilafah. Masih sangat cair. Masih terbuka beribu kemungkinan untuk diaplikasi menjadi apa saja sesuai dengan keperluan kekuasaanmu. Masyarakatmu baru sibuk berdebat soal kemenyan bid`ah atau tidak, kuda lumping, telunjuk tahiyat, kenduri, dan kehalalan daging anjing. Masih terlalu jauh untuk memadat ke diskusi Khilafah.

Jaman dulu Cak Sot pernah menguraikan tentang empat skala pernikahan, rumah tangga dan keluarga. Allah dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Ummat manusia yang dikhalifahkan dengan alam semesta. Pemimpin suatu Negeri dengan rakyatnya. Serta lelaki dengan perempuan. Bagaimana ummat manusia, pemimpin Negeri dan lelaku berlaku sebagai ‘suami’, rujukan nilai dan tarikat manajemennya adalah perilaku Allah sendiri kepada makhluk-Nya.

Berbulan-bulan di Patangpuluhan dulu Markesot mentemakan hal itu dalam perbincangan dengan teman-teman. Dielaborasi dengan berbagai kelengkapannya hingga detail. Dengan asosiasi dan kontekstualisasi ke berbagai macam situasi dan keadaan. Bahkan hampir semua hal dalam kehidupan sesungguhnya adalah pernikahan dan kekeluargaan itu wacana dasarnya.

Prinsip yang paling mendasar adalah cinta, percintaan, mencintai. Jagat hubungan Allah dengan semua makhluknya, manusia dengan alam huniannya, pemimpin dengan rakyatnya, serta suami dengan istrinya – hulu hilirnya adalah cinta, percintaan, mencintai. Apapun saja yang berlangsung di dalam peri-hubungan kekeluargaan dalam berbagai skala itu, pemenuhan kewajiban, dibukanya pintu hak, penyejahteraan dan keadilan, perasaan dan harta benda, politik dan kekuasaan, pembangunan dan perekonomian, ilmu dan teknologi, pengetahuan dan perdagangan, apapun saja – nyawanya adalah cinta, percintaan, dan mencintai.

Nabi Muhammad disuruh oleh Allah Swt agar menyampaikan kepada ummatnya: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 

Urusan utama kehidupan ini adalah cinta, percintaan, dan saling mencintai. Maka kata apapun yang pernah kau dengar yang dilawan oleh kebanyakan orang, misalnya ketidakadilan, penjajahan, penindasan, eksploitasi, diskriminasi, pembodohan, kriminalisasi, korupsi, dan deretlah hingga ratusan kata-kata yang sejarah mengutuknya: semua itu adalah musuhnya cinta, percintaan, dan saling mencintai.

Allah menciptakan dan memimpin makhluk-makhluk kekasih-Nya. Para pemimpin bangsa dan Negeri memimpin rakyat kekasih mereka. Ummat manusia memimpin alam kekasih yang sangat dibutuhkannya. Juga para suami memimpin istri kekasihnya. Dengan segala hubungan timbal balik sebab dan akibatnya, dialektika kewajiban dan haknya, kebutuhan dan kedermawanannya.

Alam semesta, Negeri dan Negara, keluarga dan rumah tangga adalah medan cinta, gelombang dinamis kegiatan saling mencintai. Ini adalah salah satu tema yang dulu membuat teman-teman sangat dekat dengan Markesot.

Ada era di mana Markesot mengeluh: “Tapi siapa yang mau mendengarkan semua ini. Sudah puluhan tahun saya menggambar kisah cinta alam semesta dan kehidupan ini, tetapi ia seperti tiupan angin yang berhembus dari ruang kosong ke ruang hampa. Tak seorang pun, tak sebuah institusi ilmu pun, tak sebuah aktivisme kemanusiaan dan kebudayaan pun pernah merasa tersentuh olehnya.”

Bahkan di abad ini ummat manusia sangat romantis setiap mendengar kata ‘kemanusiaan’, baik sebagai paham ilmu, ideologi, ataupun wujud karya-karya lainnya. Dan romantisme kemanusiaan itu batal begitu disebut kata ‘Tuhan’. Humanisme harus dipahami dengan mengandaikan tidak ada Tuhan. Sebab begitu Tuhan dilibatkan, ia bukanlah humanisme, melainkan teologi dan teosofi.

Di abad 20 dan 21 ini manusia meng-ada karena dirinya sendiri. Mewujud atas inisiatifnya sendiri. Memanifestasikan dirinya atas asal- usul ciptaannya sendiri. Manusia menciptakan dirinya sendiri, sehingga puncak pemahaman idenya adalah humanisme.

Kiai Sudrun pada suatu larut malam datang ke bilik Markesot. Bertolak pinggang dan berkata keras: “Baru berapa tahun kamu paparkan itu dan kamu mengeluh karena tak ada yang peduli? Sudah kamu hitung sejak berapa abad yang lalu Allah menghamparkan firman-Nya, secara jelas, terang benderang dan indah. Adakah yang benar-benar mempedulikannya?”

Lainnya

Anakku Yono, Sarang Angin Burdah

Anakku Yono, Sarang Angin Burdah

Si Preman itu selama tujuh tahun terakhir hidupnya diam-diam ‘bertapa’ di sebuah Padepokan dan atau Padepokan di sebelah timur utara Yogya.