Memahami “Tumbu Ketemu Tutup” Agar Tidak 3C
Semenjak sejarah Islam bergulir ke Mataram yang tak lagi dalam panduan Walisongo ketika itu melainkan Nyi Roro Kidul, berlangsunglah satu kondisi yang ditandai dengan 3C, yaitu cendhak, ciut, dan cethek. Pendek, sempit, dan dangkal. Karena wabah tiga C itulah masyarakat gampang tersulut untuk bertengkar dan bertikai, sebab yang tersusun dalam pikirannya adalah sesuatu yang sumbu pendek. “Wong kene ojo nganti 3C. Berpikirnya harus panjang. Membaca dan mempelajari Mbah Kyai Kormen harus ke belakang dan jauh ke depan. Supaya panjang rentang pengetahuannya,” pesan Cak Nun kepada masyarakat desa Sumberarum.
Dalam frame tiga C itu, pembahasan kemudian sampai pada keluasan Islam. Disampaikan kepada masyarakat bahwa Jawa dan Islam itu bagaikan tumbu ketemu tutup. Islam itu luas. Wasi’un ghoniyyun. Luas dan kaya. Ibu dan bapak yang hadir diminta menyebutkan ungkapan-ungkapan orang Jawa yang dalam nilainya. Ada “wong Jowo dowo ususe”, “lilo legowo”, dan lain-lain yang secara esensial terdapat keseuaiannya dengan ajaran Islam. Yang membedakan adalah, bahwa ada hal-hal yang tak mungkin diketahui atau dicapai oleh pengembaraan pikiran dan batin manusia, dan di situlah Allah melalui agama menginformasikan jawabannya.
Sehingga, bagi Cak Nun dengan sifatnya yang tumbu ketemu tutup, pada dasarnya Jawa ketemu Islam itu akan merupakan kekuatan yang tak bisa dikalahkan. Di situ, orang Islam tak mau dijajah dan tak akan menjajah siapapun. Jika mereka memimpin, mereka memimpin dengan pengayoman dan keadilan. Dengan kesadaran tumbu ketemu tutup itu pula, mereka mengerti bahwa menjadi orang Jawa atau orang itu merupakan syariat atau perintah Allah. Sebagaimana rumput menjadi rumput adalah takdir Allah. Jawa, Indonesia, atau NKRI adalah wilayah kekhalifahan mereka. Oleh karena itu, Cak Nun berpesan agar tanah air di wilayah mereka benar-benar dijaga jangan sampai dijajah siapa-siapa.
Satu hal lagi yang diterangkan Cak Nun mengenai “prediksi” leluhur Wong Jowo Gari Separo, Cina gari Sejodo, Londo gari separo. Selain tafsir dan sikap atas prediksi ini yang sudah disampaikan dalam beberapa Maiyahan terakhir, Cak Nun menggambarkan bahwa wong Jowo gari Separo juga dapat diartikan kondisi di mana orang Jawa tidak lagi jangkep atau utuh sikap dan pemikirannya. Maka pengajian siang itu oleh Cak Nun diangkat niatnya sebagai upaya untuk mengutuhkan diri kembali. Supaya benar-benar dalam alam dan situasi ‘tumbu ketemu tutup’. Mereka diajak kembali menjadi manusia-manusia sejati.
Waktu yang tak banyak menyebabkan pula nomor-nomor yang dihadirkan tak sebanyak seperti saat Maiyahan di malam hari. Di samping Pujian Allah Wujud Qidam Baqa, KiaiKanjeng diminta membawakan Ing Dunyo Piro Suwene, Pak Tani Koes Plus untuk menyambut kedatangan Pak Bupati, Sewu Kutho kolaborasi dengan Pak Bupati yang disambung Gelandangan serta Doa dan Perjuangan kolaborasi Mas Imam Fatawi dan Pak Bupati serta Kapolres. Dan sebagaimana perlu dan semestinya di penghujung acara jamaah diajak khusyuk berdoa melalui rangkaian shalawat yang dipimpin langsung oleh Cak Nun.
Usai acara, tatkala semua jamaah berdiri dan mengantri bersalaman dengan Cak Nun dan Bapak-Bapak lainnya, terlihat bahwa tanah benar-benar becek, lengket, dan licin. Tetapi semua itu tak sedikit pun mengurangi kesungguhan mereka untuk mengikuti Ngaji Bareng ini hingga selesai. Saat salaman berlangsung, bisa dilihat dengan jelas jalur tanah mereka berjalan satu per satu menyalami Cak Nun dan yang lain pun seperti itu. Harus hati-hati dan pelan-pelan supaya tidak terpleset. Tapi alhamdulillah, cinta, kesetiaan, dan kebersamaan membuat proses salaman itu berjalan lancar. Sungguh mengagumkan kegigihan mereka. Sebagian di antara mereka sampai ada yang lepas sandal dan belepotan kakinya. Mereka berjuang untuk menggapai barokah Allah melalui Ngaji Bareng atau Tadabburan ini. (hm/adn)