CakNun.com
Catatan Tadabburan STAIN Pekalongan

Memahami Kedudukan Akal dalam Islam

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 7 menit

Bertempat di halaman parkir kampus STAIN Pekalongan, tadi malam Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng digelar. STAIN Pekalongan yang sebentar lagi akan menjadi IAIN mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk memberikan atmosfer cerdas, kreatif, dan berpikir mendasar bagi seluruh civitas akademikanya, khususnya para mahasiswannya.

Tema yang diusung adalah Dialog Seni, Budaya, dan Agama. Dengan tema ini, pimpinan STAIN berharap agar Cak Nun menyampaikan keutuhan dan proposionalitas pemahaman mengenai seni, budaya, dan agama, yang selama ini banyak tidak tepat dipahami pemetaaannya oleh kebanyakan masyarakat. Berdasarkan permintaan itulah, saat pertama kali naik ke panggung Cak Nun meminta KiaiKanjeng jangan membunyikan alat musik apapun, sebelum semuanya siap mendengarkan bunyi. Siap dalam arti memahami mengapa bunyi musik dihadirkan, bagaimana tempatnya di dalam pikiran dan hati manusia, serta di mana letaknya dalam kosmos agama.

Foto: Adin.
Foto: Adin.

Para pimpinan STAIN dan beberapa perwakilan mahasiswa diajak naik ke panggung. Semua dilibatkan secara aktif. Panggung bukan milik Cak Nun dan KiaiKanjeng, melainkan milik bersama. Merupakan sarana bersama untuk menggali dan mengolah segala sesuatu menjadi ilmu, kegembiraan, dan hikmah. Itu sebabnya, awal kali Cak Nun memohon kepada Allah agar semua hadirin diberikan ekstra pancaindra oleh Allah. Kemudian dijelaskan bahwa jangan mengira suatu kejadian itu terletak pada kejadian objektifnya, melainkan pada komunikasi antara pikiran dan hati dalam melihat kejadian itu.

Hampir semua yang hadir adalah generasi muda mahasiswa STAIN Pekalongan. Mereka mayoritas asli dari kota-kota di Pantura di sekitar Pekalongan dan juga berasal dari kabupaten Pekalongan sendiri. Mereka menimba ilmu di empat jurusan, dan malam ini mereka kuliah di “universitas Tadabburan” yang mengajak mereka belajar kembali berpikir melingkar, membulat, dan mendasar.

Suasana di kampus yang terletak di pinggir Jalan Kusuma Bangsa Pekalongan ini sejak sore cukup ramai, dan diwarnai persiapan-persiapan acara. KiaiKanjeng tiba sore hari dan segera melakukan sound check. Sementara itu panita menyiapkan segala sesuatu mulai dari penyambutan tamu dan hadirin, penataan parkir, hingga persiapan dua kelompok mahasiswa yang di awal sesi akan menghadirkan musik dan tari. Kelompok musik El Fata dan teater Zenith.

Komplek halaman parkir yang berada di samping auditorium STAIN sepertinya memang tak mampu menampung banyaknya mahasiswa dan jamaah yang datang, sehingga sebagian lain harus berdiri sisi-sisi panggung dan di luar pagar di tepi jalan. Suasana malam hari itu penuh antusiasme para generasi muda. Untuk itu, gelombang ini disambut Cak Nun dengan menghadirkan Mas Doni sesudah lima belas menit pertama Cak Nun mengajak mereka mendapatkan dasar-dasar pemahaman. Sebagaimana sebelumnya, nomor yang dibawakan adalah One More Night Maroon 5. “Tolong temukan di dalam nomor yang dibawakan Mas Doni ini, mana yang agama, mana yang budaya, dan mana yang seni,” antar Cak Nun.

Sebelum itu, salah seorang perwakilan mahasiswa ini pertama-tama ditanya oleh Cak Nun melalui simulasi ringkas dan cepat, “Coba lihat lampu itu, bisakah anda mengidentifikasi apa itu listrik, apa itu bohlam, dan apa itu cahaya, serta bagaimana hubungan di antara ketiganya?” Dia menjawab dengan tepat, identifikasi dan hubungan antara ketiganya. Bahwa listrik adalah yang bergerak melalui kabel dan sampai kepada bohlam, dan kemudian bohlam itu yang menjadikannya cahaya atau sinar terang. Modal dasar inilah yang dijadikan keberangkatan dan analogi Cak Nun dalam menguraikan tema seni, budaya, dan agama.

Selanjutnya menukik ke Islam, sebagai sumber, Cak Nun menggali kepada mereka, jika Islam adalah sebuah bulatan, maka apa faktor-faktor primer yang ada di dalamnya. Yakni apa-apa saja yang itu semua menjadi bulatan itu bernama Islam. Ada yang menjawab rukun Islam, ada yang menyebut dulu Syariah, dan lain-lain. Tetapi kemudian Cak Nun membimbing mereka untuk sampai pada Allah sebagai yang paling primer di dalam bulatan Islam. Dialah yang memperkenalkan diri sehingga hamba-Nya mengenal diri-Nya, serta Dialah yang sejatinya menurunkan agama. “Ketika Allah memerintahkan menutup aurat, itu adalah agama. Tetapi ketika orang memotong kain untuk bikin pakaian dan lain-lainnya, itu adalah budaya, ada pertimbangan-pertimbangan budaya di dalamnya,” Cak Nun mulai nyicil menggambarkan posisi dan relasi agama dan budaya. Bahwa karena itu pada dasarnya budaya itu bersifat tak terelakkan.

Agama Syar’i dan Agama Hakiki

Cak Nun kemudian memperkenalkan pemetaan sederhana. Di dalam agama ada dua hal, pertama yang syar’i dan yang kedua yang hakiki. Yang syar’i tercermin pada adanya peribadatan, ekspresi, cara, waktu, dan lain-lain yang sudah ditentukan oleh Allah. Adapun yang hakiki adalah perbuatan-perbuatan baik. Secara hakiki ia adalah bagian dari agama, karena Allah memerintahkan berbuat baik. Meskipun ada perdebatan menyangkut identitas pelakunya. Intinya ada yang bersifat syar’i dan hakiki. Di dalam budaya pun demikian, ada yang bersifat “syar’i” dan hakiki. Bahkan seni pun demikian. Ada lagu-lagu yang secara formal dianggap mewakili atau merupakan lagu suatu agama, kelompok, atau satuan yang lain. Tetapi, ada seni yang secara substansial ada di mana-mana.

Foto: Adin.
Foto: Adin.

Untuk membahas seni, budaya, dan agama ini, sejak awal Cak Nun mengingatkan bahwa subjek-nya adalah hati dan akal (pikiran). Hati punya kehendak, dan akal meregulasinya. Dalam konteks negara, pemerintah adalah pikiran, dan rakyat adalah hati, meskipun yang berlangsung saat ini adalah pemerintahan tanpa hati. Hati dan pikiran diangkat di awal untuk menunjukkan bahwa di situlah masalah terletak. Hati dan pikiran kitalah yang bermasalah. Termasuk dalam kaitannya dengan seni, budaya, dan agama.

Rasakan Keluasan Hidup

Para mahasiswa diajak menikmati lagu-lagu KiaiKanjeng, juga kolaborasi-kolaborasi di antara partisipan dengan KiaiKanjeng. Tujuannya adalah agar mereka merasakan keluasan hidup. Sementara itu Cak Nun mengolah semuanya dengan taktis, memetikkan kunci-kunci, sehingga setiap yang berlangsung menjadi maksimal perolehannya bagi proses pembelajaraan pada Tadabburan tadi malam. Beberapa lagu sudah dibawakan, di antaranya lagu Melayu Beban Kasih Asmara oleh Mas Imam Fatawi, Sebelum Cahaya dan Ruang Rindu oleh Ketua Dema STAIN, lagu Rasa Cinta kolaborasi salah seorang jamaah dengan dosen, dan eksposisi-eksposisi musikal lainnya. “Hidup ini berapa segi sih? Tidak bersegi, tapi bulatan. Bukan sekadar lingkaran. Jadi kalau hanya mengandalkan sudut pandang dan cara pandang, nggak akan sampai. Maka ada yang namanya thowaf. Sebenarnya sesuatu itu bisa ‘fil Islam’ (di dalam Islam) kalau kita tepat memahami proporsi dan tempat segala sesuatu.”

Sampai pada titik ini, para hadirin telah diajak menemukan tempat seni dan budaya di dalam agama. Bahwa tidak relevan berpikir seni atau budaya versus agama. Kecuali seni dijalankan dengan melawan nilai-nilai agama. Lebih jauh, mereka diajak menggunakan ‘seni’ untuk melihat agama. Sebagai contoh, ketepatan dalam waktu shalat itu indah. Dari situ, bisa didapat pemahaman bahwa seni pun harus tepat. Dengan kata lain, ketepatan itu juga tuntutan budaya dan seni. Tuntutan agama banyak yang sama dengan tuntutan budaya dan seni. Kekhusyukan adalah wujud keindahan, yang selama ini tidak dipahami demikian, sebab sudah berabad-abad kita berpikir terbelah-belah fragmentaris.

Foto: Adin.
Foto: Adin.

Anak-anak generasi muda ini diharapkan penuh oleh Cak Nun. Karenanya mereka dianjurkan tidak saja mengenal ta’lim, tadris, tarbiyah, tafhim, tetapi juga takdib. Secara terminologis, takdib berarti pemberadaban. Takdib inilah yang tidak dikenal di diknas. “Dengan ta’dib, Anda akan mampu menghadapi tantangan masa depan yang kita belum tahu persis seperti apa pada tahun 2017, 2024, hingga 2040. Kalian harus wal tandhur nafsum ma qaddamat lighod. Kalianlah yang akan memegang peranan di masa mendatang. Karena itu, secara spiritual kalian harus dekat dengan Allah, secara intelektual harus lantip, hati harus sudah selesai sehingga tak punya iri hati dan dendam, dan secara mental harus tangguh,” pesan Cak Nun.

Anak-anak muda itu juga diberi kesempatan bertanya atau mengemukakan pikirannya. Dengan gaya masing-masing, ada yang bertanya tentang pencarian dan mengenal Allah, ada yang bertanya tentang hukum musik, tentang persatuan agama, budaya, dan seni, dan satu dua pertanyaan lainnya. Ada juga yang maju bertanya bukan karena memang ingin bertanya, namun karena ingin bersalaman dan memeluk Cak Nun.

Dengan penuh sabar, tapi juga sangat aktif karena didorong kepedulian kepada anak-anak muda, Cak Nun merespons satu per satu pertanyaan itu. Pertama, Cak Nun berpesan agar kita semua berusaha sejauh mungkin untuk tidak mendekat kepada prasangka (ijtanibu katsiron minadh dhonni), karena itulah ilmu dibutuhkan. Terlebih, karena hukum sesuatu itu ada kalanya tidak terletak pada sesuatu itu tetapi terletak pada bagaimana cara kita memandang atau menyikapi serta untuk apa kita menggunakan sesuatu itu.

Kemudian meneruskan penjelasan seni, budaya, dan agama, Cak Nun bertanya, “Kalau bunyi terdengar, masak engkau tak ingat Allah?,” tanya Cak Nun menyentuh sensibilitas hati para mahasiswa terhadap keutuhan dan rentangan asal-usul gejala yang dialami manusia. Cak Nun juga merespons pertanyaan tentang mendengar lagu tapi tak tahu artinya. “Jangan sok suka cari kata dan arti po’o rek. Kalau tak tahu arti pun, itu tidak mengurangi hubunganmu dengan Allah. Seperti engkau tak selalu bisa menggambarkan cinta dengan kata-kata. Jangan terlalu kognitif dan ilmiah, nanti bisa kehilangan keluasan hidup.” Selebihnya Cak Nun mengilustrasikan, “Kalau anda senang dan bersyukur, begitu mendengar musik, anda juga mencari slendro pelog-nya pada musik atau lagu itu.”

Adapun mengenai mencari dan mengenal Allah, Cak Nun merespons dengan tiga pemahaman. Yang paling elementer, merujuk pada ungkapan yang sudah dipahami bersama, jangan memikirkan Allah tapi pikikanlah ciptaan-Nya. Kedua, jangan mencari Allah dengan konsep materi. Lalu Cak Nun ingatkan mereka pada kejadian Nabi Musa yang pingsan di Jabal Tursina saat Allah mau menampakkan wajah-Nya. Padahal baru gunung yang dilihatnya. Ketiga, anda tidak bisa menemukan Allah. Allah-lah yang datang kepada Anda. Dan memang demikian yang terjadi.

Foto: Adin.
Foto: Adin.

Masih soal musik. Cak Nun menanggapi salah satu pertanyaan yang mengeluhkan bagaimana jika musik itu melupakan seseorang dari Allah. “Lho yang lupa kamu, kok musik yang disalahkan. Kan anda yang lemah, kok menyalahkan musiknya. Mestinya anda kuat terlebih dahulu,” respons Cak Nun dengan cara berpikir yang jarang dipakai orang.

Alat Utama Bernama Akal

Terakhir, Cak Nun berpesan bahwa alat utama untuk menjadi orang Islam adalah digunakannya akal dan pikiran. Al-Quran, Hadist, dan lain-lain adalah bahan-bahan yang digunakan untuk mencari dan mendapatkan petunjuk dari Allah. Sehingga, pelajaran pertama untuk kita semua adalah bagaimana kita belajar mendayagunakan akal kita. Hal ini Cak Nun ungkapkan karena keprihatinannya atas banyak hal, pertanyaan, atau peristiwa yang mencerminkan tidak dimaksimalkan penggunaan akal pikiran. Banyak yang tidak menggunakan akal untuk mengolah informasi, untuk mencari kebenaran, untuk memahami relasi-relasi, dan untuk menemukan hakikat dari suatu peristiwa. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an sangat banyak ayat-ayat Allah yang menanyakan atau mempertanyakan kepada manusia “afala yatafakkarun, afala ya’qilun, tidakkah kalian berpikir, tidakkah kalian menggunakan akal.”

***

Pukul 00.30, Cak Nun segera memuncaki acara dengan satu rangkaian shalawatan dalam suasana yang khusyuk. Para mahasiswa sudah diajak olah pikir, dirangsang untuk merasakan luasnya hidup, serta dibekali dengan pemahaman yang baru. Kemudian di puncaknya, shalawat ‘indal qiyam bersama-sama sembari berdiri. Cak Nun mendoakan para mahasiswa dan seluruh civitas akademika STAIN. Saat berdoa ini, entah apa dirasakannya, terlihat salah seorang dosen menangis ngguguk-ngguguk. Usai berdoa, jabat tangan para hadirin dan mahasiswa dengan Cak Nun dan jajaran pimpinan STAIN berjalan dengan sangat rapi, teratur, dan banyak wajah-wajah yang memancarkan kepuasan dan kebahagiaan karena telah ikut Tadabburan. Ketua STAIN sendiri kepada Cak Nun mengatakan, “Saya benar-benar mendapat multiple energy malam ini.” STAIN Pekolangan yang secara umum sedang berada pada masa perjuangan, malam tadi mendapatkan energi baru bagi perjuangannya yang panjang dalam mendidik generasi-generasi muda mahasiswa STAIN, juga perjuangannya dalam membangun dan mengembangkan diri sebagai salah satu institusi pendidikan di tengah masyarakat.

Lainnya

Exit mobile version