CakNun.com
Catatan Sinau Bareng Harlah LP Nurul Islam, Pongangan Manyar Gresik 8 Desember 2016

Mbok Sampeyan Ikut Mbantu Wong Islam

Redaksi
Waktu baca ± 3 menit

Tepuk tangan meriah dan hormat dari seluruh jamaah saat Mas Ahmad Nasrullah dari Yayasan Nurul Islam dalam sambutannya memperkenalkan tiga tokoh agama dari Kristen, Hindu, dan Konghucu. Ketiganya diundang untuk diminta turut memberikan pandangan mengenai tema pendidikan.

Foto: Adin.

Spontannya tepuk yang tanpa dikomando itu membuat Cak Nun merasa perlu menjelaskan sedikit hal penting dan mendasar. Bahwa selama ini Islam itu dituduh sebagai radikalisme di banyak media. “Mengapa mereka tak mau belajar ke desa-desa seperti ini. Rakyat kecil itu rukun-rukun saja. Kalian yang mayoritas, harus melindungi yang orang-orang pemeluk agama lain. Tapi, ingat kalian mayoritas membet, bukan mayoritas modal. Meskipun mungkin kita jengkel dengan yang terjadi di Jakarta, kita tidak anti-antian, tidak anti Cina atau siapapun,” kata Cak Nun kepada seluruh jamaah dan ketiga tamu non muslim.

“Sampeyan aman dengan umat Islam di Indonesia. Hanya di Indonesia, forum seperti ini ada, dan hanya di Indonesia semua bisa ajur-ajer dalam kebersamaan…,” lanjut Cak Nun. Bagi Cak Nun tepuk tangan tadi adalah ekspresi natural dan tulus dari jiwa para jamaah alias umat Islam. Kemudian ketiga tokoh nonmuslim ini merespons apa yang barusan dikatakan Cak Nun dan bagaimana Cak Nun menjelaskan kepada jamaah.

“Saya umat Hindu, umat minoritas di sini. Kami merasa tidak ada sedikit pun rasa tertekan. Saudara-saudara muslim sangat melindungi. Apalagi Cak Nun setiap hari Jum’at di JTV, saya selalu mengikuti. Saya merasa cocok, meskipun beda pemahaman keagamaan, tapi saya merasa aman, nyaman, dan tenteram,” kata Pak Satiman ketua Adat Hindu.

Demikian pula dengan Ko Chen dari agama Konghucu dan Pendeta Joko dari  GKI Gresik menyampaikan apa yang dialami dan dirasakannya. “Klenteng saya ada di depan kampung Arab yang notebene merupakan kampung orang-orang Islam, dan sampai saat ini nggak ada masalah,” tutur Ko Chen.

Cak Nun sangat ingin ihwal hubungan antara orang Islam dengan nonmuslim atau antar etnis benar-benar dipahami dengan jernih, jujur, dan dewasa justru supaya di tengah keadaan situasi politik saat ini yang rawan disalahpami untuk dibelokkan ke tuduhan rasisme, diktator mayoritas, dan lain-lain bisa dicegah. Sebab, yang dibutuhkan adalah sikap dan pandangan yang bertumpu pada keadilan, sehingga yang diteropong adalah tindakan menjajah atau tindakan antikemanusiaan, bukan identitasnya. Karena itu Cak Nun minta tolong juga kepada ketiga tokoh agama tadi ikut membantu menyeimbangkan persepsi orang tentang Islam.

Foto: Adin.

“Mbok sampeyan melok ngewangi wong Islam. Sampeyan ikut membantu umat Islam. Caranya ya kesaksian-kesaksian tadi diperluas. Kedua, sampeyan sapa dulur-dulurku wong Islam iki…,” ungkap Cak Nun lugas tapi penuh kehangatan. Para jamaah menyaksikan bagaimana Cak Nun berupaya bersikap seakurat mungkin. Ihwal kerukunan, keberagaman, dan hubungan antar umat beragama ini sendiri Cak Nun dan KiaiKanjeng jam terbangnya tinggi, tetapi dengan pemahaman yang mandiri dan berbeda dengan kebanyakan mainstream.

Cak Nun bercerita, khususnya kepada perwakilan GKI Pak Joko, bahwa KiaiKanjeng pernah mendapatkan undangan tur ke Belanda selama dua minggu oleh Persatuan Gereja-Gereja di Belanda. Di sana tak hanya bertemu orang-orang Belanda yang beragama Kristen, tetapi juga dengan orang Yahudi dan komunitas muslim sendiri. Di antaranya masuk ke Synanog di Zwolle dan bertukar pikiran dengan Rabbi Abraham Suttendrop.

Inti yang hendak disampaikan oleh Cak Nun kepada jamaah adalah jangan kita tidak bisa mengurai. Antara Yahudi dan Israel ada bedanya, antara Islam dan Arab ada proporsinya, sebagaimana di dalam Islam sendiri ada sebaran yang bermacam-macam berdasarkan madzhab dan pemikiran. Detail pemahaman dan pemetaan sosiologis itu jangan tidak dipahami agar analisis bisa akurat dan tidak mengasilkan klaim-klaim tak perlu. Hal pluralisme pun Cak Nun sempat katakan, “Bukan hidup harus ragam. Kita nggak ngarani. Pluralitas itu ciptaan atau kondisi dari Allah. Kita menerimanya.” (hm/adn)

Lainnya

Exit mobile version