Masih Rungon-Rungonen Suara Bunda
Vokalis Donni KiaiKanjeng adalah satu di antara orang-orang KiaiKanjeng yang sangat terkesan dengan Bunda Cammana. Sudah dua hari sejak tiba di Jogja dari perjalanan ke Mandar itu, Donni masih rungon-rungonen atau terngiang-ngiang akan suara Bunda Cammana yang siang itu ia dengarkan langsung dari jarak satu setengah meter saja.
Donni sangat kagum. Pada usia sudah lebih dari sembilan puluh tahun, suara Bunda masih full of power. Sudah begitu, beliau bernyanyi atau melantunkan shalawat sambil memukul rebana, dan tidak kacau sama sekali. Mungkin di Indonesia tidak ada pemain perkusi yang bisa sekalian bernyanyi seperti beliau, katanya.
Sudah tiga kali ini Donni bertemu Bunda Cammana. Paling membekas dalam benak dia memang adalah suaranya. Maklumlah, soal suara memang dunia Donni yang dulu lama berkecimpung di dunia band dan musik pop. Bersama KiaiKanjeng, ia sudah mau tak mau harus belajar mengembara ke pelbagai eksplorasi bunyi. Bahkan belakangan mungkin ia akan belajar cengkok ngaji atau cengkok Timur Tengah. Baginya, warna vokal Bunda Cammana sangat khas sekali, sampai itu tadi dia masih terngiang-ngiang, masih nempel suara itu. Lebih jauh ia mengatakan, suara Bunda Cammana adalah vokal yang cuma bisa didapat di Mandar, dan hanya Bunda Cammana yang punya.
Sebuah jenis, warna, dan kekhasan suara yang tidak relevan bila ditanyakan butuh berapa lama waktu untuk berlatih mendapatkan suara seperti itu. Sebab, suara Beliau adalah karakter. Adalah anugerah, yang tak bisa dilatihkan. Kalaulah harus latihan, mungkin seumur hidup latihannya. Itu bukan cuma teknik bernyanyi, tetapi melibatkan perjalanan hidup. Beliau menep dan sepertinya sudah tidak butuh dunia, ujar Donni.
Berduet atau berkolaborasi antara dua orang vokalis dalam membawakan lagu-lagu adalah hal biasa dalam dunia musik. Tetapi jangan pernah iseng tanya kepada Donni berani nggak dia membayangkan duet bersama Bunda Cammana. Mending menggantikan Mick Jagger nyanyi di Rolling Stone, dan sepertinya lebih mudah dibanding duet sama Bunda Cammana, kata Donni tahu diri. Itu sebabnya, dia juga memuji enam perempuan “penerbang” yang mendampingi dan mengiringi Bunda Cammana. Mereka jauh lebih kendel (berani) daripada saya, dan rasanya hampir sama: mereka juga menep dan adem.
Selain itu Donni punya pandangan tersendiri selama menyimak dan menyaksikan pertemuan Cak Nun dengan Bunda Cammana. Menurutnya, Cak Nun belajar banyak dari Beliau tetapi tanpa bertanya, melainkan melalui cara melihat, merasakan, dan menghayati. Pada momen-momen tertentu juga terasa bahwa pertemuan itu laiknya pertemuan seorang anak dengan ibunya. Donni pun senang, Rihlah Cammanallah memberinya banyak pengalaman, dan sepulang dari sana ia bersyukur sedulurnya bertambah banyak.